Cerita rakyat mengenai Kerajaan Pulau Majeti ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari buku Karajaan Pulo Majeti yang ditulis dalam bahasa Sunda. Meskipun buku ini merupakan hasil terjemahan Bahasa Sunda, isi cerita buku ini tidak terlalu banyak berubah. Akan tetapi, dalam penyajiannya sedikit agak dibedakan. Hal itu supaya tidak terlalu menjemukan pembaca. The Jombang Taste menyajikan untuk Anda dengan harapan dapat menambah wawasan terhadap sejarah Nusantara. Selamat membaca.
Baca cerita sebelumnya: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 6)
Mulai Berubah Pikir
Pulau Majeti seperti disulap. Betapa tidak. Wilayah itu yang semula tidak diperhatikan, apalagi dipelihara, kini henar-benar telah jauh berbeda. Keadaan di sana telah ramai pula karena memang telah berpenghuni. Tanahnya subur. Tak heran bila rakyatnya makmur.
Mereka patuh dan tunduk disertai perasaan segan terhadap pimpinan mereka, yang tiada lain yaitu Patih Selang Kuning. Penduduk menghargai dan menghormatinya sebagai Wakil Raja Raksabuana. Berkat kebijaksanaan Ki Selang Kuning, hidup masyarakat Pulau Majeti dalam keadaan tenang dan damai.
Hidup manusia selalu diliputi beragam perasaan di hati. Senang dan sedih, perasaan puas dan tidak puas, perasaan takut dan berani, dan seterusnya. Hal seperti di atas, tidak terkecuali terhadap diri, manusia yang bernama Ki Selang Kuning.
Akhir-akhir ini ia tampak murung. Gairah bekerjanya menurun. Untuk sementara perasaan yang menekan batinnya tidak pernah dikemukakan kepada masyarakat. Akan tetapi, yang lebih cepat mengetahui hal itu ialah keluarganya sendiri. Terutama istrinya, Gandawati.
Akhirnya kedua orang tuanya pun tahu perubahan sikap anak tunggalnya itu. Pada malam itu, Gandawati dengan kedua orang tua Ki Selang Kuning telah sepakat untuk menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Karena tiga orang itulah yang benar-benar memperhatikan keadaan diri Ki Selang Kuning.
“Ki Putra,” demikian kedua orang tua Ki Selang Kuning kini memanggil anaknya.
“Ama dan Ibu beserta Putri Gandawati, telah lama memperhatikan engkau. Tampaknya seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kalau boleh tahu, apakah gerangan hal yang mengganggu perasaanmu selama ini?”
Ki Selang Kuning yang sebenarnya tengah mengantar lamunan-lamunannya agak terkejut karenanya. Tapi, sebagai seorang patih yang bijaksana, segera mengalihkan perhatiannya kepada kedua orang tuanya, lalu kepada istrinya.
“Oh Ama dan Ibu, juga istriku Gandawati. Maafkanlah, saya benar-henar tidak memperhatikan kalian bertiga,” kata Ki Selang Kuning agak tersipu-sipu.
“Sudahlah, Ki Putra”, kata ayah Ki Selang Kuning lagi. “Jangan banyak melamun. Bagaimana bila keadaanmu makin murung. Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan. Dan akhirnya pikiran atau lamunan itu merusak pikiranmu.”
“Tidak, Ama. Saya hanya memikirkan rakyat Majeti yang sedang bekerja keras siang dan malam,” elak Ki Patih.
“Syukurlah bila engkau bukan hanya mengkhayal yang bukan-bukan. Ibu turut berdoa, bila pikiranmu itu tercurah untuk kemajuan Pulau Majeti dan Kerajaan Galuh. Semoga cepat berhasil,” kata Ibunda Selang Kuning turut bicara.
Tapi, istri Ki Selang Kuning pun turut menyelipkan sebuah pertanyaan kepada suaminya. “Apakah gerangan yang sedang Kakang pikirkan selama ini? Bolehkah kami bertiga mengetahuinya?”
Sambil tersenyum ramah, Ki Selang Kuning lalu menjawab, setelah menghela napas sejenak. Katanya, “Ama, Ibu, serta istriku yang setia. Memang beberapa hari terakhir ini saya sering berpikir-pikir. Yang saya pikirkan ini, bukan lamunan. Bukan saja kalian bertiga saja yang harus mengetahui persoalanku ini. Tapi, pada akhirnya semua masyarakat Pulau Majeti harus tahu.”
Ki Selang Kuning berhenti sejenak. Ia seakan berpikir, harus dari mana mulai menguraikan isi hati dan pikirannya. Pada saat itu pula ayah Ki Selang Kuning menyela seperti tidak sabar, “Sebaiknya, cepatlah katakan kepada kami!”
“Begini,” kata Ki Selang Kuning memulai lagi. “Seperti kita rasakan bersama, betapa enaknya hidup dan tinggal di Pulau Majeti ini. Sudah bertahun-tahun kita menjadi penduduk di sini. Mungkin tempat ini sudah menjadi milik kita bersama. Padahal sepuluh tahun ke belakang, daerah ini dapat dikatakan wilayah liar. Artinya, tidak diperhatikan. Baru setelah saya mengajukan pilihan untuk meluaskan wilayah Galuh, teringat bahwa ada wilayah yang bila telah dikelola akan menghasilkan. Pulau Majeti inilah yang menjadi pusat perhatian kita. Setelah mendapat doa restu Prabu , kita mulai membangun dan menghuni pulau ini. Selanjutnya kini kemajuan Pulau Majeti sudah jauh berbeda dibanding sebelumnya.”
“Tentu saja. Karena kita telah gotong royong serta bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita Gusti Prabu Galuh,” jawab ayah Ki Selang Kuning ikut menegaskan.
“Maaf, Ama,” Ki Selang Kuning menukas.
“Itu bukan cita-cita dan rencana Prabu Raksabuana. Tetapi, itu semua rencana dan cita-cita saya sendiri.” Ki Patih menjawab dengan tegas.
“Lalu sekarang, mau ke mana jalan pikiran Ki Putra?” tanya ayah Ki Selang Kuning lagi.
“Prabu Raksabuana tidak punya cita-cita dan rencana seperti saya. Beliau hanya memberi izin. Kita yang bersusah payah dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, akhirnya dari tahun ke tahun. Tapi, saya kini merasa iri. Kita akhirnya hanya menjadi sapi perah Prabu Raksabuana. Beliau enak-enak. Ia hanya mau menerima hasil jerih payah kita melulu. Berkunjung ke sini pun tidak. Kini terasa, mana kebijaksanaan seorang raja?” demikian pernyataan Ki Selang Kuning seperti bernafsu.
Tentu saja ketiga orang keluarga Ki Selang Kuning agak heran. Bahkan ibunya merasa terkejut dengan pernyataan putranya yang cukup berani itu. Tapi, ia tidak dapat mengatakan apa-apa karena cepat terdahului oleh ayah Ki Selang Kuning.
“Ki Putra,” katanya masih tenang-tenang saja. “Mungkin bukan Ama saja yang merasa tercengang karena pernyataanmu, Nak. Ibu dan istrimu mungkin seperasaan dengan Ama. Karena selama ini, baru sekarang kami melihat perubahan sikapmu terhadap Gusti Prabu Raksabuana. Sadarlah, Ki Putra. Kau harus tetap bersyukur. Kalau bukan karena anugerah Gusti Prabu Raksabuana, engkau belum tentu menjadi Patih seperti sekarang.”
Istri Ki Selang Kuning kini baru merasa tenang. Sebelum suaminya mengatakan sesuatu yang lain, ia segera berkata, “Kakang, bila Kakang masih ingat kata-katamu sendiri bahwa Kakang akan selalu mengingat nasihat saya, maka kini saya ingin menasihati Kakang. Janganlah banyak hal-hal yang dipikirkan. Apalagi hal yang di luar seperti yang baru saja Kakang katakan. Kita harus merasa puas dengan keadaan seperti ini.”
“Harus puas dengan keadaan seperti ini, Gandawati?” Ki Selang Kuning cepat menukas dengan pertanyaan balik.
“Bagiku, tidak pernah terlintas pikiran seperti begitu. Aku harus maju. Dan kemajuan itu hanya dapat terwujud dengan perjuangan yang gigih, Gandawati.”
“Lalu, bagaimana pikiran Kakang selanjutnya?” tanya Gandawati lagi.
“Aku harus jadi raja, Gandawati,” jawab Ki Selang Kuning singkat.
”Ya, aku harus meniti sampai menjadi pucuk pimpinan.”
Ketiga orang di hadapan Ki Selang Kuning semakin terkejut mendengar pernyataan Ki Selang Kuning itu. Beberapa saat ketiga orang itu tidak dapat mengatakan apa-apa. Mereka seperti susah bicara. Sebelum mereka mengatakan sesuatu lagi, Ki Selang Kuning telah memberi keputusan lagi.
“Lebih baik hal ini kita bicarakan lagi besok pagi di kepatihan bersama para pembantu kepatihan. Ama, Ibu, dan Gandavvati, hendaknya turut serta dalam pertemuan besok. Sekarang sudah malam. Kita semua perlu istirahat. Nah, kembalilah ke tempat masing-masing. Gandawati, Ama, dan Ibu, selamat tidur dengan tenang. Semoga impianku malam ini, berhasil esok hari.”
Bersamaan dengan itu, tanpa menunggu ucapan dari kedua orang tua dan istrinya, Ki Selang Kuning telah lebih dulu meninggalkan ruangan itu. Ia pun pergi ke kamar tidurnya.
Selangkah Menjadi Raja
Pada pagi hari itu, suasana amat cerah. Angin pagi sudah mulai menggoyang-goyangkan dedaunan. Embun pun berjatuhan bagaikan butir-butir mutiara. Di langit tak ada awan mendung. Matahari bersinar terang dan memancarkan sinarnya yang hangat. Burung berkicau di atas dahan, seperti bersiul menyanyikan pagi indah.
Ruang pertemuan di kepatihan telah dihadiri oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan. Ki Selang Kuning duduk didampingi oleh istrinya sendiri, Gandawati. Sedangkan di sebelah kanan kedua orang tuanya mendampingi pula.
Di hadapan mereka telah duduk bersimbah seorang laki-laki. Bila ia berdiri tentu tampak jangkung besar, tubuhnya kekar. Itulah Ki Kalindu, seorang asisten kepercayaan Patih Selang Kuning. Berderet pula para pegawai kepatihan lainnya. Mereka sengaja diundang datang pada pagi hari itu oleh Ki Selang Kuning.
“Hamba atas nama pribadi dan atas nama kawan-kawan lainnya, menghaturkan sembah ke hadapan jungjungan kami Patih Galuh,” kata Kalindu dengan penuh hormat. “Demikian pula kepada pangagung kepatihan.”
“Kuterima sembahmu, Kalindu. Demikian pula teman-temanmu.” jawab Ki Selang Kuning. “Begitu pula, aku atas nama keluarga kepatihan, menyampaikan terima kasih atas segala kebaikanmu, untuk memenuhi panggilanku.”
“Terima kasih, Kangjeng Patih Galuh,” jawab Kalindu lagi. “Selanjutnya kami sudah tidak sabar, mengapa Kangjeng Patih Galuh memanggil kami pada pagi hari ini. Tentu ada sesuatu hal yang sangat penting.”
“Benar, Kalindu,” ujar Ki Selang Kuning lagi. “Aku sengaja memanggil kalian karena ada urusan negara yang perlu disampaikan.”
“Silakan, Kanjeng Patih Galuh,” kata Kalindu.
“Tenanglah, Kalindu,” sahut Ki Selang Kuning. “Aku sengaja sepagi ini mengadakan pertemuan ini. Engkau dan kawan-kawanmu dapat kuajak bicara. Maksudku mengenai persetujuan yang sudah cukup lama menjadi buah pikiranku.”
Sekali lagi Ki Selang Kuning menghentikan ucapannya. Ia mengambil napas sesaat. Tak lama kemudian ia meneruskan lagi.
“Tidak perlu kupaparkan dari awal mengenai susah payah kita membuka dan membangun daerah ini. Kini kita semuanya telah mengenyam kenikmatannya. Tetapi, kupikir lebih dalam, sebenarnya yang paling enak adalah Raja Raksabuana. Tanpa susah payah, ia menerima upeti dari kita…”
Sebelum Ki Selang Kuning meneruskan pembicaraannya, Ki Kalindu mendahului memotong, “Bukankah sudah lima tahun ini, kita tidak mengirimkan upeti kepada beliau?”
“Itu pun benar, Ki Kalindu. Dan itu memang atas perintahku sendiri. Selain untuk mencukupi masyarakat Pulau Majeti sendiri, juga ada perasaan tidak puas atas tindakan yang pernah kita laksanakan. Terutama pemberian upeti itu sendiri. Sudah kukatakan, sekarang sudah tidak wajar lagi kita memberikan sumbangan terhadap pemerintah pusat Kerajaan Galuh. Sudah belasan tahun kita mendiami wilayah ini, tetapi tak ada timbal balik dari pemerintah pusat. Mereka tak perlu menyumbang kepada kita, tetapi mengapa kita dibiarkan begitu saja oleh pihak mereka? Seakan-akan kita hidup dalam buangan.”
Kata-kata tersebut bagi keluarga Ki Selang tidak menjadi heran lagi. Tetapi, bagi Ki Kalindu dan kawan-kawannya, Ki Patih Galuh berkata terang-terangan seperti itu, baru kali ini mereka mendengarnya. Oleh karena itu, Ki Kalindu dan kawan-kawannya menjadi heran. Seakan tidak menyadari, tiba-tiba meluncur sebuah kalimat tanya meluncur dari mulut Ki Kalindu.
“Mengapa Ki Patih Galuh berkata seperti itu?” tanyanya.
Ki Selang Kuning tersenyum dulu sebelum menjawab, “Pertanyaan seperti itu wajar disampaikan oleh kalian. Baru akhir-akhir ini aku menyesali bertindak bodoh dan mau diperas oleh mereka. Dan sekarang telah tiba saatnya Pulau Majeti memisahkan diri dari Kerajaan Galuh. Pulau ini harus mempunyai pemerintahan sendiri. Di sini layak berdiri sebuah kerajaan yang merdeka, tanpa menggantungkan diri kepada Kerajaan Galuh lagi.”
Semakin heran Ki Kalindu dan kawan-kawannya. Selain belum mengerti arah tujuan pikiran Ki Selang Kuning, juga masih beranggapan di pulau sesempit ini harus berdiri sebuah kerajaan baru. Dan siapa pula rajanya? Ki Kalindu terpaksa memberanikan diri mengajukan beberapa pertanyaan untuk mempertegas jalan pikiran Ki Selang Kuning.
“Jadi, bagaimana maksud dan tujuan Ki Patih sebenarnya?” tanya Ki Kalindu.
“Menurut penangkapan pikiran hamba yang bodoh, apakah Pulau Majeti ini akan dijadikan sebuah kerajaan baru? Siapa pula yang menjadi rajanya? Bukankah di sini tidak ada keturunan Raja Raksabuana?” Lagi-lagi Ki Selang Kuning tersenyum ketika menerima beberapa pertanyaan itu.
Tak lama kemudian ia berkata, “Ya, di sini, di Pulau Majeti ini harus segera berdiri sebuah kerajaan baru yang mandiri. Tidak perlu keturunan Galuh. Kita sudah memiliki syarat-syarat mendirikan sebuah kerajaan. Syarat pertama, harus sudah memiliki wilayah. Kedua, harus berpenghuni atau mempunyai rakyat. Dan ketiga, mengangkat seorang pimpinan sebagai rajanya.”
“Apakah dapat mengangkat seorang raja padahal bukan keturunan raja?” tanya Ki Kalindu.
“Dapat, Ki Kalindu,” jawab Ki Selang Kuning. “Asal ia sanggup untuk memegang tampuk pemerintahan tersebut dan mendapat dukungan dari rakyat. Terutama kesanggupan. Karena rakyat akan dapat dipaksa untuk mendukung niat orang yang telah menyatakan sanggup itu. Hanya saja pemerintahan yang dipaksakan demikian adalah sebuah kerajaan tangan besi. Di Pulau Majeti ini tidak boleh berdiri kerajaan tangan besi atau diktator.”
“Lalu?”
“Lalu, akulah yang menyatakan sanggup memegang pemerintahan di Pulau Majeti. Rasanya aku layak menjadi raja. Apakah kalian masih sangsi?”
Tentu saja bagi Ki Kalindu dan kawan-kawannya tidak akan ragu lagi atas keterampilan dan kebijaksanaan Ki Selang Kuning. Mereka telah belasan tahun bersama-sama Ki Selang Kuning.
Tapi, sebelum mengutarakan perasaannya, Ki Selang Kuning meneruskan lagi. “Baiklah, para pegawai kepatihan,” kata Ki Selang Kuning.
“Supaya dapat menghilangkan keraguan hati kalian, aku terpaksa akan membeberkan riwayat singkat diriku. Memang benar aku bukan anak seorang raja. Tapi, aku masih keturunan raja. Saksi kata-kataku ini, dapat kalian tanyakan kepada kedua orang tuaku sendiri. Ketahuilah bahwa semasa pemerintahan Tarumanagara dulu, pernah dibagi dua kerajaan yang mandiri, yaitu Kerajaan Sunda Sembawa dan Kerajaan Galuh. Aku masih keturunan dari Sunda Sembawa dari Eyang Prabu Linggawarman.
Eyang Prabu mempunyai seorang putri bernama Dewi Manasih. Beliau bersuamikan seorang satria bernama Terusbawa. Oleh karena Dewi Manasih seorang wanita, maka yang memegang pemerintahan adalah suaminya, yaitu Terusbawa. Dari Eyang Terusbawa, Eyang Manasih memperoleh seorang putra, yaitu ayahku sendiri.
Oleh karena ayah keturunan dari pihak wanita yaitu dari Eyang Dewi Manasih, maka ayahku tidak berhak menjadi raja. Kemudian akhirnya memilih menjadi seorang petani. Dari perkawinannya dengan ibuku sendiri, lahirlah aku, yang kini berada di hadapan kalian. Jadi, bila melihat garis keturunan, aku masih buyut Tarumanagara. Bukankah begitu Ama pernah bercerita?” tanya Ki Selang Kuning yang diajukan kepada ayahnya sendiri, seakan-akan minta dorongan dari kedua orang tuanya.
Ayah Ki Selang Kuning agak sedikit kecewa mendengar penuturan putranya. Ia tidak mengira bahwa putranya masih mengingat-ingat cerita lamanya. Kedua orang tua Ki Selang Kuning tidak menyangka kalau cerita itu menjadi latar belakang keinginannya.
Akhirnya ayah Ki Selang Kuning mengiakan pertanyaan anaknya, “Memang benar begitu, Ki Putra. Tapi, Anakku, itu adalah kisah lama, yang tak mungkin digugat lagi. Sebaiknya yang sudah lalu, biarlah berlalu. Sekarang lebih baik Ki Putra benar-benar mengabdikan diri kepada Gusti Prabu Galuh, tentu beliau akan semakin menyayangi engkau, Nak.”
“Saya bukan menggugat, Ama,” jawab Ki Selang Kuning tenang.
“Saya ingin meyakinkan kepada bawahan saya, sehingga mereka tidak ragu lagi menerima saya sebagai pemimpin pemerintahan. Nah, Ki Kalindu,” Ki Selang kembali kepada Ki Kalindu. “Begitulah riwayat singkat diriku.”
“Maaf, beribu maaf, Ki Patih,” seru Ki Kalindu semakin hormat kepada Ki Selang Kuning setelah mendengar kisah silsilah Ki Selang Kuning. “Kalau begitu memang tidak syak lagi, Ki Patih layak juga menjadi raja. Kami turut gembira dan mendukung. Tetapi, ada yang kami cemaskan.”
“Soal apa yang kau maksudkan, Ki Kalindu?” tanya Ki Selang Kuning. “Apakah Gusti Prabu Galuh tidak akan murka? Kemudian bagaimana pula bila mereka memerangi kita? Tentu kita semua akan musnah. Rasanya prajurit kita tidak sebanyak prajurit Galuh.”
Mendapat pertanyaan serupa itu, Ki Selang Kuning termenung. Apa yang dipertanyakan oleh Ki Kalindu, jawabannya dapat dibenarkan. Jumlah prajurit ditambah penduduk Pulau Majeti semua, tidak akan kuat melawan prajurit Galuh.
Ketika Ki Selang Kuning sedang keras berpikir, ayahnya segera ikut bicara lagi, “Daripada kira-kira merusak masyarakat atau rakyat kita sendiri, lebih baik pikiranmu kembali seperti semula saja, Nak. Engkau jangan membelakangi kebaikan Gusti Prabu Raksabuana.”
Mendapat peringatan seperti itu, Ki Selang Kuning menjawab lagi, “Saya rasa Gusti Prabu Raksabuana harus lebih dahulu menyadari bahwa Pulau Majeti dapat memisahkan diri dan berpemerintahan sendiri. Itu berarti balasan kepada dia. Karena dahulu ketika Tarumanagara dipegang oleh Eyang Buyut, Kerajaan Galuhlah yang mulai ingin memisahkan diri.”
“Seharusnya Ki Putra harus sadar diri, hal itu masih layak. Kedua-duanya masih putranya. Sedangkan kita, tidak ada hubungan pemerintahan secara garis darah langsung dengan Galuh. Oleh karena itu, rencana Ki Putra bisa dianggap tidak layak,” ujar ayahnya.
Ki Selang Kuning semakin panas hatinya. Tapi, tekadnya telah bulat. Ia harus tetap menjadi raja. Nasihat dari kedua orang tuanya sudah tidak dapat melumpuhkan semangatnya. Akhirnya ia menegaskan kepada yang hadir di sana. “Apapun yang akan terjadi dengan Kerajaan Pulau Majeti nanti biar saya yang bertanggung jawab,” demikian akhir kata Ki Selang Kuning.
Bersambung ke: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 8)
cerita rakyat memang harus dilestarikan untuk anak cucu kita di masa depan.
Orang pintar cenderung ngakalin orang lain.
Panjang sekali ceritanya .aku juga tidak mengerti ceritanya coba dringkas