Indonesia pada masa lampau merupakan wilayah yang luas dan terdiri dari puluhan kerajaan. Kehidupan keluarga kerajaan mempunyai pesan moral yang baik untuk direnungkan. Bersama blog The Jombang Taste, penulis mengajak Anda mengikuti cerita legenda Bondhan Kejawan dari Provinsi Jawa Timur. Di wilayah Jawa Timur terdapat kerajaan-kerajaan yang berkembang menjadi pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan. Salah satu kerajaan terbesar di Jawa Timur adalah Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit waktu itu sangat terkenal. Pengaruh Kerajaan Majapahit cukup luas meliputi seluruh wilayah Nusantara, bahkan juga banyak dikenal oleh mancanegara. Kerajaan Majapahit terletak di daerah kota Mojokerto sekarang ini. Mojokerto merupakan salah satu kota kabupaten dari Karesidenan Surabaya. Anda dapat mengikuti sejarah perkembangan Kerajaan Majapahit dari masa ke masa di Pusat Informasi Majapahit (PIM) atau lebih dikenal sebagai obyek wisata Museum Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Di antara raja-raja Majapahit yang terkenal adalah Prabu Brawijaya. Begitu terkenalnya sampai sekarang masih banyak lembaga dan organisasi yang menggunakan nama Brawijaya. Misalnya Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya, Universitas Brawijaya, dan lain-lain. Nama besar Prabu Brawijaya juga digunakan sebagai nama jalan utama di kota-kota besar di Indonesia. Berikut ini salah satu kisah legendaris keturunan Prabu Brawijaya yang bernama Bondhan Kejawan penulis bagikan untuk pembaca blog The Jombang Taste.
Cerita Rakyat Jawa Timur
Pada suatu hari Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan di balairung Kerajaan Majapahit. Patih Majapahit, para senopati serta anggota pemerintahan lengkap menghadap Sang Prabu. Bahkan di antara para hadirin terdapat banyak ahli nujum terkenal yang memang sengaja didatangkan untuk menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tampaknya ingin berunding dengan segenap tokoh-tokoh penting di Kerajaan Majapahit.
Saat itu Sang Prabu tampak murung sekali. Sehingga semua yang menghadap merasa takut. Tidak diketahui mengapa Sang Prabu murung. Tidak seperti biasanya yang selalu tampak cerah dan mengulum senyumnya. Sampai beberapa lama ditunggu-tunggu, belum juga beliau berbicara. Namun akhirnya Sang Prabu sadar bahwa beliau sedang ditunggu para penghadap. Bersabdalah Sang Prabu, “Hai Patih. Bagaimana para ahli nujum yang aku perintahkan untuk didatangkan? Apakah mereka semua sudah menghadap?”
“Daulat Tuanku, semua ahli nujum yang terkenal di seluruh Kerajaan Majapahit telah kami kumpulkan. Saat ini mereka telah menghadap semua, duli Tuanku,” demikian Sang Patih menyampaikan kehadiran para ahli nujum yang diinginkan Sang Prabu Brawijaya.
“Terima kasih Patih,” jawab Sang Prabu. “Memang ada sesuatu akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan hatiku. Sehingga aku memerlukan kehadiran para ahli nujum terkenal.”
Kemudian Sang Prabu bersabda kepada para ahli nujum, “Hai, para ahli nujum. Aku telah mendengar namamu yang terkenal di seluruh Nusantara. Oleh karena itu engkau semua kudatangkan. Aku ingin menanyakan kelak sepeninggalku siapakah yang akan menggantikanku. Selain itu apakah kelak ada orang yang berani merusak nama baikku?”
Setelah mendengar sabda raja, para ahli nujum mulai duduk bersemadi. Mereka menggunakan kemampuan masing-masing untuk mencoba mencari jawaban yang diinginkan oleh raja. Setelah cukup lama bersemadi, akhirnya terdapat jawaban yang sama. Bahwa yang akan menggantikan Sang Prabu Brawijaya sebagai raja Majapahit adalah orang Cempa, Wandhan, dan orang Cina. Sedang yang berani merusak nama baik Sang Prabu adalah juga ketiga bangsa itu, yang nantinya akan bersatu menjadi satu bangsa.
Cerita rakyat dari Jawa Timur masih berlanjut lebih seru. Sang Prabu Brawijaya sangat terperanjat mendengar jawaban para ahli anium. Sang Prabu yakin akan kebenaran jawaban itu mengingat mereka adalah para ahli nujum yang sangat terkenal. Hasil nujum mereka biasanya tidak meleset.
Pertemuan segera dibubarkan, hanya Ki Patih yang diperintahkan tetap tinggal. Setelah tinggal berdua dengan Ki Patih, bersabdalah Sang Prabu, “Ki Patih telah mendengar penjelasan para ahli nujum bukan?”
“Hamba Tuanku,” jawab Ki Patih.
“Oleh karena itu Ki Patih,” Sabda raja selanjutnya, “agar apa yang disampaikan oleh para ahli nujum tidak menjadi kenyataan, maka engkau kuperintahkan untuk membunuh semua orang Cempa, Wandhan, maupun orang Cina yang dibawa oleh Sang Permaisuri Dyah Dwarawati.”
Mendengar titah raja, Ki Patih terperanjat sekali. Namun sebagai abdi raja yang baik dan taat, maka perintah raja segera dilaksanakan. Selang beberapa lama setelah pertemuan di atas, tiba-tiba raja jatuh sakit. Kian hari sakit raja kian parah. Tidak diketahui apa sakitnya dan apa penyebabnya. Telah banyak ahli kesehatan yang mencoba mengobatinya namun gagal semua.
Cerita dongeng dari Kerajaan Majapahit menyatakan bahwa penyakit raja semakin menjadi parah. Semua penghuni istana dan para penggawa kerajaan kebingungan. Tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyembuhkan penyakit raja. Berbulan-bulan telah berlalu. Segala upaya telah dilakukan oleh keluarga kerajaan untuk menyebuhkan sang raja. Namun tidak ada satu pun ahli pengobatan yang dapat menyembuhkan sakitnya. Sang Prabu pun lebih banyak berdiam diri di dalam kamar sambil merenungi nasibnya.
Legenda Bondhan Kejawan
Pada suatu malam Sang Prabu memperoleh wangsit. Di antara tidur dan terjaga, Sang Prabu seperti mendengar suara. Jika Sang Prabu ingin sembuh, Sang Prabu harus kawin dengan orang Wandhan Kuning. Malam itu juga Ki Patih dititahkan menghadap Sang Prabu di pembaringan. Dengan tergopoh-gopoh Ki Patih datang menghadap. Secara singkat Sang Prabu menjelaskan wangsit yang baru raja diterimanya.
Selanjutnya malam itu juga raja memerintahkan Ki Patih mencari orang Wandhan Kuning untuk dijadikan permaisuri. Berangkatlah Ki Patih memenuhi perintah raja. Dari satu tempat ke lain tempat dijelajahinya seluruh wilayah negara. Akhirnya dapat ditemukan orang Wandhan Kuning yang diimpikan oleh rajanya. Dengan sukacita Ki Patih segera pulang memboyong orang Wandhan Kuning tersebut.
Bersukacitalah raja menerima kedatangan Ki Patih. Secara singkat Ki Patih menceritakan segala upaya yang telah dilakukan sehingga membawa hasil. “Terima kasih, Patih. Engkau telah melaksanakan perintahku dengan baik. Semoga wangsit yang aku terima itu benar,” demikian sabda raja. Sang Prabu segera dipertemukan dengan calon permaisurinya. Sang Prabu awalnya tidak memiliki rasa cinta sedikitpun kepada wanita yang baru dihadirkan di hadapnya.
Beberapa hari kemudian Putri Wandhan Kuning telah resmi menjadi permaisuri Prabu Brawijaya. Pesta pernikahan digelar secara meriah meskipun kesehatan Sang Prabu belum pulih sepenuhnya. Sementara itu setelah menikahi Putri Wandhan Kuning, secara berangsur-angsur kesehatan Sang Prabu pulih kembali sampai akhirnya Sang Prabu sembuh sama sekali. Sang Prabu sangat bergembira. Demikian juga keluarga istana dan segenap pengawal istana. Rakyat pun ikut bersukaria atas sembuhnya raja mereka.
Beberapa bulan kemudian Sang Permaisuri hamil. Kehamilan sang permaisuri menambah kegembiraan dan kebahagiaan Sang Prabu Brawijaya. Demikian juga kerabat istana, mereka bergembira semua. Akhirnya setelah tiba waktunya lahirlah seorang bayi laki-laki yang sehat. Parasnya sangat cakap, rambutnya hitam bak mayang mengurai. Matanya seperti bintang timur dan hidungnya mancung. Dengan kulit kuning liangsat semakin bertambahlah ketampanan sang bayi.
Dengan bangga dan penuh bahagia sang bayi digendong dan ditimangnya. Tiada kata yang dapat diungkapkan untuk menunjukkan kegembiraan. Raja mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, beliau dapat sembuh dari sakit. Bahkan Tuhan telah menganugerahi seorang putra yang sangat tampan. Kisah hidup dan asal-usul Raden Bondhan Kejawan dimulai dari sini.
Siapa gerangan yang tidak merasa bahagia karena memiliki keluarga yang lengkap. Setelah sejenak menikmati karunia Tuhan Yang Maha Esa, Sang Prabu ingat bahwa putranya perlu pengasuh. Segera Patih dititahkan untuk memanggil seorang kepercayaan, yaitu seorang juru sawah yang bernama Kyai Buyut Musahar. Berangkatlah Ki Patih melaksanakan titah raja.
Cerita rakat dari Tanah Jawa menyatakan Kyai Buyut Musahar terperanjat sekali melihat kedatangan Ki Patih yang secara tiba-tiba itu. Dengan hati berdebar didengarkanlah apa yang disampaikan oleh Ki Patih. Secara singkat Ki Patih menyampaikan titah raja. Maka Kyai Buyut Musahar segera berangkat mengikuti Ki Patih menghadap raja.
Cerita Dongeng Bondhan Kejawan
Setelah sampai di istana, Sang Prabu menitahkan Kyai Buyut Musahar untuk mengasuh sebaik-baiknya putra raja yang baru lahir itu. Namun setelah berusia delapan tahun, Kyai Buyut Musahar diminta untuk membunuh anak tersebut. Karena menurut Sang Prabu, anak inilah yang kemudian hari akan menjadi raja. Bahkan menurut para ahli nujum anak ini pula yang akan merusak nama baik Sang Prabu. Oleh karena itu Kyai Buyut Musahar yang sangat dipercaya oleh raja, dititahkan untuk melaksanakan rencana pembunuhan itu dengan sebaik-baiknya. Jika titah tersebut tidak dilaksanakan maka Kyai Buyut Musahar akan dihukum mati.
“Baik Sang Prabu, kami akan melaksanakan titah Paduka dengan sebaik-baiknya,” demikian kesanggupan Kyai Buyut Musahar. Namun dalam hati Kyai Buyut Musahar penuh tanda tanya, apakah dosa anak itu? Kyai Buyut tidak berani berkata apa-apa lagi. Setelah istirahat sejenak, Kyai Buyut Musahar mohon diri kepada Sang Prabu untuk kembali pulang.
Ia segera bergegas meninggalkan Kerajaan Majapahit. Tanpa pegawalan para prajurit, Kyai Buyut berjalan kaki menyusuri hutan untuk menuju ke rumahnya. Dengan menggendong bayi, Kyai Buyut Musahar berangkat pulang. Dalam perjalanan pulang Kyai Buyut masih selalu diliputi tanda tanya. Apa sebenarnya maksud Sang Prabu dan apa dosa si bayi yang baru lahir?
Tanpa disadari perjalanan Kyai Buyut Musahar telah jauh ke luar kota. Jalanan sekarang cukup sepi dan di muka telah membayang hutan lebat. Tiba-tiba muncullah seekor binatang bondhan. Bondhan adalah sejenis binatang melata yang cukup besar berwarna kehijau-hijauan. Anehnya bondhan tersebut mengikuti jalannya Kyai Buyut Musahar. Bahkan bekas telapak kaki dan bayangan Kyai Buyut Musahar dijilati.
Karena kaget akan keanehan itu, seketika itu juga Kyai Buyut Musahar menjadi ketakutan dan kakinya lumpuh tidak berdaya. Dalam ketakutan itu jatuhlah bayi yang digendongnya. Kyai Buyut Musahar hanya mampu melihat, namun tidak mampu berbuat sesuatu untuk menolong si bayi. Ia seakan kehilangan tenaga karena didera rasa takut yang hebat. Sekalipun ia sudah berusaha menggerakkan tangan dan kakinya, ia tetap tidak mampu melakukannya.
Ia pasrah kepada Tuhan apapun yang akan terjadi terhadap nasibnya dan diri si bayi yang baru lahir. Dengan putus asa Kyai Buyut Musahar memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh binatang bondhan itu. Aneh sekali binatang tersebut mendekati si bayi dengan langkah perlahan. Kemudian hewan tersebut dengan hati-hati menjilati tali pusat si bayi hingga bersih dan kering.
Aneh sekali, demikian pikir Kyai Buyut. Belum hilang keheranan Kyai Buyut, terdengarlah suara menggelegar akibat lepasnya ekor bondhan yang tersentuh tangan si bayi yang merasa geli dijilati. Seketika itu juga binatang bondhan pun hilang dari pandangan mata Kyai Buyut Musahar. Kyai Buyut terpaku atas kejadian yang baru saja dialaminya tersebut. Cerita legenda Raden Bondhan Kejawan berlanjut lebih menarik karena banyak dijumpai keanehan.
“Tuhan Maha Esa, Tuhan Maha Besar” begitu Kyai Buyut Musahar berkali-kali menyebut nama Tuhan. Usai berkata demikian, tiba-tiba badan Kyai Buyut Musahar yang lumpuh menjadi sehat kembali. Dengan serta-merta dipungutnya bayi yang tergeletak di tanah dan bergegas melanjutkan berjalan pulang. Ia tidak ingin terjebak malam di tengah hutan. Apalagi saat ini ia sedang membaya seorang bayi, ia ingin segera sampai di rumah dan berbagi kebahagiaan dengan istri tercinta.
Kisah Dongeng Bondhan Kejawan
Sebelum senja datang, Kyai Buyut telah tiba di rumah. Kyai Buyut menemui istrinya dan menceritakan awal mula ia mendapatkan seorang bayi. Tetangga mereka saling berdatangan menjenguk anak asuh Kyai Buyut. Alangkah tampannya, alangkah manisnya, kata mereka. Nyai Buyut segera mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Demikian juga Kyai Buyut, mereka berdua rasa-rasanya tidak mau pisah dengan si bayi.
Setelah berumur 35 hari atau selapan, si bayi diberi nama Raden Bondhan Kejawan. Dipilihnya nama Bondhan karena untuk mengingatkan kepada binatang aneh dan sakti yang ditemukan dalam perjalanan pulang. Sedangkan nama Kejawan dipilih karena mengingat bahwa ayah bayi tersebut adalah orang Jawa sedang ibunya orang Wandhan. Inilah alasan pemilihan nama Bondhan Kejawan yang menjadi salah satu anak dari Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tidak terasa telah tujuh tahun lewat. Raden Bondhan tumbuh semakin besar dan semakin tampan. Badannya padat berisi, mukanya bercahaya. Hubungannya dengan Nyai dan Kyai Buyut Musahar semakin dekat. Raden Bondhan beranggapan bahwa mereka berdua adalah orang tuanya sendiri. Memang Nyai dan Kyai Buyut Musahar tidak pernah menceritakan siapa sebenarnya Raden Bondhan itu.
Sesuai dengan pesan Sang Prabu Brawijaya, Raden Bondhan jika telah berusia 8 tahun harus dibunuh. Padahal sekarang sudah menjelang umur 8 tahun. Hal ini sangat merisaukan Nyai dan Kyai Buyut Musahar. Betapa tidak. Mereka berdua telah menganggap bahwa Raden Bondhan adalah anaknya sendiri. Namun bagaimanapun titah raja harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan, maka berarti hal itu merupakan kesalahan besar.
Berhari-hari Kyai Buyut memikirkan hal ini. Dilaksanakan atau tidakkah perintah raja itu? Tanpa terasa pada suatu hari Kyai Buyut mengambil keris. Setelah ditimang-timang dengan hati yang risau, dicabutlah keris itu dari werangkanya. Namun secara tiba-tiba terdengarlah jerit pilu Nyai Buyut. “Kyai! Jangan dibunuh Raden Bondhan. Jangan. Jangan dibunuh!” begitu ratap tangis Nyai Buyut.
“Bukankah ia telah menjadi anak kita?” demikian Nyai Buyut melanjutkan ucapannya.
“Tetapi bagaimana Nyai?” tanya Kyai Buyut. “Tidak melaksanakan titah raja berarti aku salah besar. Suatu kesalahan yang tidak bisa diampuni. Aku pasti akan dihukum gantung,” demikian penjelasan Kyai Buyut.
Nyai Buyut menyadari kesulitan Kyai Buyut. Namun apa boleh buat, mereka sudah terlanjur cinta kepada Raden Bondhan. Setelah ditimbang-timbang akhirnya Nyai Buyut berkata, “Begini saja Kyai, agar Kyai tidak menyalahi titah raja, laksanakan tugas tersebut. Namun sebelum membunuh Raden Bondhan, bunuhlah aku terlebih dahulu. Agar aku tidak melihat buah hatiku dibunuh.”
Mendengar kata-kata Nyai Buyut itu, semakin bingunglah hati Kyai Buyut. Setelah cukup lama merenung akhirnya diputuskan untuk tidak membunuh Raden Bondhan. Kyai Buyut sendiri merasa sangat berat terpisah dengan Raden Bondhan. Ia juga sangat menyayangi Raden Bondhan yang telah dianggap sebagai putranya sendiri. Cerita dongeng Bondhan Kejawan makin menarik karena antara Kyai Buyut dan Nyai Buyut terjadi perbedaan pendapat.
Dalam hal ini Nyai Buyut Musahar sering pingsan jika mengingat perintah Sang Prabu delapan tahun lalu untuk membunuh Raden Bondhan. Serta-merta Kyai Buyut berusaha menyadarkannya. Akhirnya usaha Kyai Buyut berhasil. Dengan hati pilu Nyai Buyut diberitahu bahwa Raden Bondhan tidak akan dibunuh. Mendengar ini meledaklah tangis Nyai Buyut karena girang dan bahagia. Segera Raden Bondhan dipeluknya erat-erat dan diciuminya dengan penuh kasih sayang.
Pagi harinya Kyai Buyut Musahar pergi menghadap Sang Prabu Brawijaya di Majapahit. Secara singkat disampaikan kepada Sang Prabu bahwa Raden Bondhan telah dibunuh sesuai dengan amanat Sang Prahu. Mendengar ini Sang Prabu girang sekali karena marabahaya dianggap telah lewat. Selain mengucap terima kasih Sang Prabu pun memberikan bermacam-macam hadiah kepada Kyai Buyut.
Kemudian Kyai Buyut mohon pamit kepada Sang Prabu. Segera Kyai Buyut pulang dengan cepat karena telah rindu kepada putranya, Raden Bondhan dan Nyai Buyut. Kyai Buyut merasa hidupnya akan aman dan bahagia karena telah terbebas dari hukuman Sang Prabu. Kyai Buyut pun dapat tinggal dengan nyaman bersama Nyai Buyut dan Raden Bondhan.
Dongeng Kerajaan Majapahit
Dongeng Kerajaan Majapahit berlanjut dan pada suatu hari Kyai Buyut berencana akan pergi menghadap Sang Prabu Brawijaya untuk menyampaikan upeti hasil panen seperti biasanya. Raden Bondhan menyatakan ingin ikut tapi Kyai Buyut tidak mengizinkannya. Nyai Buyut pun sependapat dengan Kyai Buyut. Namun tanpa setahu Kyai Buyut dan Nyai Buyut ternyata secara diam-diam Raden Bondhan mengikuti ayahnya pergi ke pusat Kerajaan Majapahit.
Kedatangan Kyai Buyut membuat Sang Prabu agak terperanjat. Namun setelah mengetahui maksud kedatangan Kyai Buyut, Sang Prabu mengucapkan banyak terima kasih. Hasil panen persembahan Kyai Buyut segera disimpan di tempat penyimpanan. Sang Prabu Brawijaya semakin merasa senang atas kesetiaan Kyai Buyut Musahar terhadapnya dan Kerajaan Majapahit.
Kyai Buyut tidak tahu bahwa saat itu Raden Bondhan Kejawan yang juga telah sampai di istana, namun ia tidak ikut Kyai Buyut menghadap Sang Prabu. Sejak awal Kyai Buyut memang tidak mengizinkannya ikut Kyai Buyut menghadap Sang Prabu. Dan sebagai anak yang baru pertama kali masuk istana bukan main takjubnya melihat barang-barang yang indah gemerlapan. Semuanya serba indah dan menyenangkan, pikir Raden Bondhan.
Selain melihat-lihat keindahan istana Kerajaan Majapahit, Raden Bondhan juga memegang-megang barang yang dijumpainya. Akhirnya sampailah Raden Bondhan ke tempat gamelan. Seperti terhadap barang-barang yang lain, Raden Bondhan sangat mengagumi gamelan tersebut. Tanpa sadar ditabuhlah gong secara keras. Bunyi gong menggema ke seluruh penjuru istana. Berkali-kali gong dipukulnya.
Sang Prabu terheran-heran mendengar bunyi gong. Demikian juga para nayaka dan Kyai Buyut Musahar. Sehingga seorang penggawa dititahkan oleh Sang Prabu untuk segera melihat siapakah yang memukul gong tersebut. Setelah beberapa lama ditunggu akhirnya sang penggawa datang beserta seorang anak. Sang Prabu menjadi semakin heran. Demikian juga para nayaka.
Tidak demikian bagi Kyai Buyut Musahar setelah tahu siapa anak tersebut. Pucatlah mukanya dan badannya gemetar bersimbah peluh dingin. Ia tidak habis berpikir bagaimana Raden Bondhan dapat sampai ke istana dan membuat onar demikian. Padahal sudah dipesan jangan pergi ke mana-mana. Kyai Buyut merasa bahwa nasib kehidupannya dan anaknya akan segera berakhir.
Kyai Buyut sadar bahwa Sang Prabu Brawijaya akan menghukum. Karena sudah tua, untuk ia sendiri tidak merupakan persoalan jika dihukum mati. Namun bagaimana jika putranya yang dihukum mati. Ia sangat mencintai putranya. Alangkah sial nasibnya, begitu pikirnya. Cerita dongeng kehidupan Raden Bondhan Kejawan menemui babak baru sesaat lagi.
Kyai Buyut mengakui kesalahannya. Oleh karena itu Kyai Buyut segera datang dan menyembah kepada Sang Prabu Brawijaya. Memberitahukan bahwa anak tersebut adalah anaknya. Namanya Raden Bondhan Kejawan. Dan tidak lupa Kyai Buyut memohonkan ampun kepada Sri Baginda atas kekurangajaran Raden Bondhan dengan memukul-mukul gong tanpa perintah dari Sang Prabu.
Sebagai orang yang merasa bersalah, Kyai Buyut menunggu hukuman apa yang akan dikenakan kepadanya asal bukan kepada putranya. Dengan badan gemetar dan muka menunduk, Kyai Buyut menunggu titah raja. Ia pasrah seandainya Sang Prabu akan memberikan hukuman mati karena telah mengkhianati tugas yang telah diberikan.
Kisah Hidup Bondhan Kejawan
Sementara itu Sang Prabu memperhatikan Raden Bondhan Kejawan. Tampan sekali anak ini, pikir Sang Prabu. Sang Prabu sangat terheran melihat Raden Bondhan yang berbeda dibanding anak-anak lain seusianya. Raden Bondhan terlihat sangat sehat, cekatan dan tangkas bergerak. Sehingga timbul keinginan dari dalam diri Sang Prabu untuk mengambil Raden Bondhan sebagai putranya.
Bersabdalah Sang Prabu, “Hai Kyai Buyut Musahar, aku percaya bahwa Raden Bondhan adalah anakmu. Mengingat perbuatannya yang lancang memukul-mukul gong tanpa seizinku seharusnya ia dihukum berat. Bahkan dapat dihukum mati. Juga untuk engkau Kyai Buyut.”
Mendengar sabda raja tersebut, semakin lemah lunglailah Kyai Buyut. Harapan memohon ampun nampaknya tidak berhasil. Dengan cucuran air mata, didekaplah Raden Bondhan. Pandangan mata Kyai Buyut berkunang-kunang. Lantai tempat duduk terasa bergetar-getar. Nampaknya beberapa saat lagi ia akan jatuh pingsan. Akhirnya ia sumarah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tiba-tiba secara sayup-sayup ia mendengar Sang Brawijaya bersabda lebih lanjut, “Namun demikian Kyai Buyut, hukuman tidak aku jatuhkan, baik kepada anakmu maupun kepadamu sendiri. Sebaliknya aku berkenan sekali untuk mengambil Raden Bondhan sebagai anak. Bagaimanakah Kyai Buyut keberatankah engkau?”
Seperti sudah mati hidup lagi, demikianlah keadaan Kyai Buyut setelah mendengar sabda raja. Dengan ucapan terima kasih dan rasa syukur, Kyai Buyut menyerahkan Raden Bondhan kepada raja. Mulailah saat itu Raden Bondhan secara resmi menjadi putra Sang Prabu Brawijaya. Selanjutnya, Sang Prabu menugaskan Kyai Buyut mengantarkan Raden Bondhan ke padepokan Ki Gedhe Tarub.
Cerita rakyat dari Jawa Timur ini berlanjut. Sang Prabu menitahkan Ki Gedhe Tarub untuk mendidik Raden Bondhan agar kelak menjadi orang yang mumpuni dan bermoral. Sebelum berangkat Raden Bondhan dianugerahi tiga buah pusaka Sang Prabu Brawijaya yaitu keris Ki Maesamili, keris Ki Malela dan tumbak Ki Pleret. Setelah mohon doa restu berangkatlah Kyai Buyut Musahar bersama-sama Raden Bondhan menuju ke padepokan Ki Gedhe Tarub.
Kesaktian Bondhan Kejawan
Di tengah perjalanan ternyata ada gangguan. Dua orang bersenjata meminta barang-barang yang dibawa oleh Kyai Buyut Musahar dan Raden Bondhan. Sudah barang tentu permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kyai Buyut Musahar dan Raden Bondhan, sehingga perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi. Kisah dongeng Raden Bondhan kembali memberikan pengalaman yang penuh keajaiban.
Walaupun masih anak-anak yang baru berumur delapan tahun, ternyata Raden Bondhan mampu melawan. Kedua penjahat dapat dibunuh oleh Raden Bondhan, namun keris Malela yang digunakan oleh Raden Bondhan mengalami sedikit patah ujungnya. Kyai Buyut Musahar segera mengajak Raden Bondhan meneruskan perjalanan.
Akhirnya sampailah mereka ke padepokan Ki Gedhe Tarub. Setelah mengetahui siapa tamunya dan apa maksudnya, dengan senang hati Ki Gedhe Tarub menerima Raden Bondhan sebagai muridnya. Beberapa hari kemudian, Kyai Buyut Musahar minta diri untuk pulang. Tidak lupa beberapa pesan dan petuah disampaikan kepada Raden Bondhan.
Sepeninggal Kyai Buyut Musahar, mulailah Ki Gedhe Tarub mendidik Raden Bondhan dengan sungguh-sungguh. Raden Bondhan sendiri belajar dengan tekun dan ulet. Segala petunjuk dan perintah Ki Gedhe Tarub diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik. Dengan bekal otak yang cerdas dan sungguh-sungguh maka dalam waktu singkat Raden Bondhan telah mengalami banyak kemajuan.
Tiada terasa beberapa tahun telah lampau. Sementara itu Raden Bondhan yang semakin dewasa semakin tampan menawan. Dewi Nawangsih putri Ki Gedhe Tarub yang cantik sekali, jatuh cinta kepada Raden Bondhan. Demikian juga sebaliknya. Mereka berdua telah bertahun-tahun bergaul. Satu sama lain telah mengenal sifat, hati dan keinginan masing-masing. Kisah percintaan Raden Bondhan dimulai disini.
Akhirnya atas kesepakatan orang tua masing-masing, Dewi Nawangsih secara resmi menjadi istri Raden Bondhan. Pernikahan keduanya dilaksanakan dengan meriah di Kerajaan Majapahit. Keduanya merasa sangat bahagia karena dikelilingi orang-orang yang penuh kasih sayang di sekitarnya. Demikian juga orang tua mereka bahagia karena anak mereka telah menikah.
Demikian asal-usul kehidupan Raden Bondhan Kejawan sebagai putra Prabu Brawijaya yang hampir saja terbunuh oleh ulah curang para ahli nujum yang berniat menyingkirkannya. Berkat pertolongan dan didikan Kyai Buyut dan Nyai Buyut, kini Raden Bondhan Kejawan dapat tumbuh menjadi manusia dewasa seutuhnya.
Pesan Moral
Pesan moral yang terkandung dalam cerita rakyat kisah legenda Raden Bondhan Kejawan adalah menyadari diri sebagai bagian dari seluruh umat manusia penting dilakukan oleh setiap manusia. Oleh karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain. Raja memerintahkan Ki Patih untuk membunuh orang Cempa, Wandhan maupun orang Cina, karena raja takut akan dikalahkan mereka. Perilaku raja ini termasuk perbuatan tercela.
Kyai Buyut Mushar telah diperintahkan raja untuk membunuh Raja Bondhan pada usia 8 tahun. Tetapi hal itu tidak dilaksanakan karena Kyai tahu bahwa Raden Bondhan tidak bersalah. Pesan moral yang dalam cerita rakyat dari Jawa Timur ini adalah mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia. Tidak dibenarkan pembunuhan terhadap sesama manusia, apalagi terhadap anak-anak dan bayi yang baru lahir.
Raden Bondhan memukul-mukul gong tanpa perintah dari raja. Raja bersabda bahwa seharusnya hukuman berat yang akan diberikan kepada Bondhan juga kepada Kyai Buyut. Mendengar hal ini Kyai Buyut langsung sumarah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pesan moral dalam cerita asal-usul Raden Bondhan Kejawan ini adalah percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Demikian penulis membagikan cerita kehidupan Raden Bondhan Kejawan dari Jawa Timur untuk para pembaca blog The Jombang Taste. Semoga artikel cerita rakyat Jawa Timur ini bisa menambah wawasan Anda. Sampai jumpa dalam artikel The Jombang Taste berikutnya.
Daftar Pustaka:
Tim Penyusun Cerita Rakyat Laboratorium Pancasila IKIP Malang. 2008. Cerita Rakyat Dalam Kaitan Butir-butir Pancasila. Malang: Balai Pustaka.
Tinggalkan Balasan