Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 2)

Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning
Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning

Baca cerita sebelumnya: Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 1)

Malam harinya Ulama Hasan tidak bisa tidur. la gelisah memikirkan tugas beratnya. Melihat keadaan demikian Bu Hasan merasa iba. “Pak, sebaiknya kau tidur dulu. Besok pagi kan kau pergi jauh! Istirahatlah sejenak agar badanmu tidak lelah,” isterinya menghibur pak Hasan.

Mendengar ucapan isterinya itu Ulama Hasan hanya diam saja. Kemudian menyambung: “Kau jangan risau, Bu. Kaulah yang harus tidur dan jangan gelisah. Aku akan segera tidur.” Dini hari Ulama Hasan cepat-cepat mengambil air untuk bersuci.

Kemudian ia sembahyang untuk mendapatkan ketenangan dan petunjuk dari Tuhan. Waktu semalam dihabiskan oleh Ulama Hasan untuk bertloa. Ia mohon pada Tuhan, semoga tugasnya itu bisa berhasil dengan baik.

Sayup-sayup adzan terdengar dari sebuah surau. Umat Islam bersiap-siap sembahyang subuh. Ulama Hasan segera mengenakan serban dan selanjutnya pergi ke surau. la melakukan sembahyang subuh dengan tekun.

Selesai sembahyang, Ulama Hasan minta diri dari isterinya sambil berpesan: “Bu, baik-baiklah kau di rumah. Janganlah memikirkan kepergianku selama bertugas. Tuhan akan selalu bersamaku.”

Kemudian ia berangkat. Ulama Hasan menempuh jalan yang cukup jauh. Padang tandus yang luas menyebabkan udara bertambah panas. Oleh karena itu badan Ulama Hasan cepat capai. Ia sudah berusia agak lanjut.

Tidak lama kemudian ia meletakkan bekalnya dan menyandarkan tongkatnya, tanpa menyapa anak gembala yang berada di dekatnya. Ulama Hasan ikut berteduh di bawah pohon yang rindang dekat mata air.

Pada wajahnya yang keriput itu terbayang suatu penderitaan. Sambil mengusap peluhnya, Ulama Hasan mengeluh: “Ah malang nasibku.” Gembala kecil yang sedang asyik meniup serulingnya itu menoleh. Ia meletakkan serulingnya lalu memandang Ulama Hasan.

“Rupanya bapak mendapat kesusahan. bukan? Dari mana dan hendak ke mana bapak pergi?” tanya gembala kecil itu sopan.

“Memang, nak. Aku ada kerisauan sedikit,” sahut Ulama Hasan. “Apakah yang Bapak risaukan?”

“Demikian, nak. Sebenarnya hidup di desa lebih tenteram dari pada di kota. Hidupmu nampak lebih tenteram dari pada hidupku. Saya asal dari kerajaan Syahiful Dasa. Nama saya Hasan,” jawab Ulama Hasan singkat.

“Kesulitan apakah yang bapak hadapi?” tanya gembala kecil.

“Begini, nak. Aku diperintah oleh Sri Baginda Raja untuk mencari seorang anak laki-laki. Anak itu akan dipungut sebagai putra mahkota. Oleh karena itu paras dan tabiatnya harus baik dan juga mempunyai sifat-sifat yang soleh. Apabila diperoleh, dia akan dijadikan raja sebagai pengganti Sri Baginda di kerajaan Syahiful Dasa,” sahut Ulama Hasan.

“Putra Mahkota?” tukas gembala kecil itu heran.

“Betul, nak!” sahut Ulama Hasan.

“Apakah Sri Baginda tidak berputera?”, tanya gembala kecil selanjutnya.

“Betul, nak. Sri Baginda tidak berputera seorang pun. Meskipun usaha sudah dilakukan, tetapi hasilnya tetap sia-sia. Kini Sri Baginda sudah putus asa. Sang Prabu mencari anak sebagai putera Mahkota.”

“Lalu , hubungannya dengan Bapak  ?”

“Begini, nak. Aku yang sudah setua ini diberi tugas untuk mencarinya. Bila tiba waktunya aku menghadap Sri Baginda tanpa membawa hasil, aku akan mendapat hukuman yang sangat berat,” sambung Ulama Hasan.

“Jadi  ke mana Bapak akan pergi mencari?” tanya gembala kecil pula.

Sementara itu Ulama Hasan diam sejenak. Ia hanya memandang ke arah bukit yang sudah agak dekat jaraknya.

Kemudian Ulama Hasan berkata: “Itu. Ke seberang sungai itu! Kalau anak tahu, tunjukkan di manakah terdapat sebuah surau di daerah Aku akan bermalam di sana, sebab hari sudah hampir malam.”

“O000, surau. Jauh, Pak! Dari sini jauh.” sahut gembala kecil.

“Kalau Bapak tidak keberatan, bolehlah bermalam di rumah saya.”

“Oo, begitu. Terima kasih, nak! Semoga kebaikanmu dapat dibalas oleh Tuhan,” ujar pak Hasan hormat.

Malam hari itu Ulama Hasan bermalam di rumah anak gembala. Mereka berbincang-bincang di sebuah pnndok yang sederhana. Antara Ulama dan gembala itu seperti dua sahabat lama saja. Pada esok harinya Ulama Hasan meneruskan perjalanan.

Tidak lupa anak muda itu diberinya uang sebagai pengganti jasa. Kemudian uang yang diberikan itu diterima oleh gembala kecil sambil mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Keduanya saling bersalaman lalu saling berpisah.

Tak lama Ulama itu berjalan, dia sampai pada sebuah hutan. Pada saat itu matahari hampir terbenam. Tiba-tiba hujan pun turun pula. Mula-mula hanya rintik-rintik, lama kelamaan menjadi deras. Oleh karena itu dengan cepat ia mencari tempat bermalam.

Untung juga bagi Ulama Hasan. Tidak jauh dari tempat itu dijumpai sebuah dusun. Di sana ia menginap di sebuah keluarga. Kebetulan saat itu yang ada hanya seorang ibu yang sedang menyalakan lampu. Melihat Ulama Hasan yang basah kuyup, ibu yang mempunyai rumah menaruh kasihan.

“Permisi, Bu!”

“Oh, mari. Mari Pak. Mari, Pak!” seru ibu pemilik rumah.

“Bolehkah saya bermalam di sini? Bila keberatan, perkenankan saya untuk berteduh saja,” ujar Ulama Hasan dengan sopan.

“Mari, Pak. Ayo, silakan masuk!” sahut ibu rumah.

“Mir, Amir! Bawakan teh panas ke mari. Cepat-cepatlah sedikit, Mir!”

“Baik, Bu! Memangnya ada apa, Bu? Tampaknya buru-buru sekali,” sahut anaknya yang bernama Amir.

Ia sedang di dapur, memasak. Kemudian Ulama Hasan meletakkan bebannya. Ia duduklah di atas balai-balai sambil berkata: “Sudahlah, jangan sibuk-sibuk!”

Tidak antara lama, Amir datang sambil membawa segelas air teh.

“Ini air teh, Pak. Mari, Pak. Minumlah sekedarnya agar badan bapak menjadi hangat,” ujar ibu rumah.

“Terima kasih, Bu. Janganlah ibu repot,” sahut Ulama Hasan sopan. Setelah beberapa lama duduk, kemudian Ulama Hasan minta air untuk wudu. Ia akan melakukan sembahyang magrib. Selesai sembahyang, lalu diambilnya sebagian dari bekalnya. Kemudian anak ibu rumah yang bernama Amir, diberinya beberapa makanan ringan dan uang.

“Terimalah untukmu, Nak!” katanya.

“Sudah, Pak. Tidak usahlah, Pak!” tukas ibu rumah dengan sopan.

“Biarlah, Bu. Ini sebagian dari bekalku dalam perjalanan.”

“Kalau begitu, terima kasih Pak!” sahut ibu Amir.

“Terima kasih, Pak!” sambung Amir sambil menerima pemberian Ulama Hasan.

Selama semalam Ulama Hasan menginap di pondok itu. Esok harinya pak Hasan melanjutkan perjalanannya. Pada hari itu ia berjalan diantar Amir, anak ibu rumah. Kebetulan ia akan mencari daun-daunan di seberang sungai untuk obat-obatan. Ibu Amir adalah salah seorang penjual obat-obatan asli di desanya.

Kira-kira tengah hari, mereka sampai di seberang sungai. Ulama Hasan dan Amir terpaksa berpisah untuk kepentingannya masing-masing. Yang satu berhenti di sebuah hutan, sedang yang lainnya terus ke arah Utara.

Sebelum berpisah, mereka saling memberi selamat. “Baik-baiklah di jalan, nak!” ujar Ulama Hasan sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan.

“Baik, Pak! Selamat jalan,” sahut Amir dengan sopan.

Bersambung ke: Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 3)

Referensi: Kasim, Umi dan Mar. 1977. Raja Arief Imam. Jakarta: CV. Kurnia Esa.


Comments

2 tanggapan untuk “Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 2)”

  1. […] Bersambung ke: Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 2) […]

  2. […] Baca cerita sebelumnya: Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 2) […]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *