Kedudukan Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam

Could principles of Islamic finance feed into a sustainable economic system
Could principles of Islamic finance feed into a sustainable economic system – Image taken from Pinterest.com

Apakah pengertian maqashid syariah? Bagaimanakah Kedudukan Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam? Bagaimana peran hukum-hukum Islam dalam mengatur aktifitas ekonomi?

Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa, maqashid[1] berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi)[2]. Sebagaimana firman Allah SWT: “Wa’alallahi Qashdussabili”, yang artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.

Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sama yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.

Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan. Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain).

Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqasid asy-syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari’ dalam setiap ketentuan hukum.[3]

Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid asy-syari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat, atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak.[4] Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan luhur yang ada di balik hukum.

Islamic Finance
Islamic Finance Logo – From Pinterest.com

Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari maqashid asy syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum yaitu antara lain :

Daruriyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta memelihara harta benda. Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.

Hajiyyat

Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.

Tahsiniyyat

Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.

Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang luas. Dalam sub kategori yang pertama, Syatibi membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik yang berkenaan dengan duniawi maupun agama). Sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsip dharuriyyah, hajiyah, takhsiniyyah. Dalam sub kategori yang kedua, Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat.

Dengan demikian syariat mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh dimengerti oleh kalangan tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang beriman dapat mengenali hukum Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh hukum itu, maka berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub kategori yang ketiga cenderung mudah dipahami, dan pada sebagian besar dari tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam menurunkan hukumnya menghendaki agar umat Islam mematuhi peraturannya secara menyeluruh.

Begitulah semestinya pelanggaran atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbuatan yang praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak bahwa kehendak manusia dalam wacana Syatibi sejauh ini dijelaskan dengan menjadikan sufi sebagai contoh. Namun disini dia melajutkan diskusi tentang siasat hukum (biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan keinginan manusia.

Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari kaum sufi kepada kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak berlebih-lebihan dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan kritikannya pada para ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama biyal adalah untuk mencegah berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan yang lain agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.

Pembahasannya pada perbuatan-perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak sama-sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya perbuatan-perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang masing-masing terbagi lagi menjadi dua sub-kategori.

Perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan empat sub kategori, yaitu:

  1. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi mandub.
  2. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
  3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi makruh.
  4. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat menjadi haram.

Jadi, garis yang membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan yang mandub dan makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering dilakukannya.

Syatibi kemudian menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menyebut norma ini sebagai sebuah konsep yang mewakili sesuatu yang belum atau tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis Nabi SAW: “orang yang paling bersalah adalah orang yang menanyakan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang setalah dinyatakan status hukumnya”.[5]

Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas, maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala ataupun dosa.

Dalam masalah-masalah dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa. Yang termasuk juga dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang dikenal dengan ‘azima dan rukhsah. Diperbolehkannya menggunakan rukhsah karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan.

[1] Ahsan Lihasanah, Al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi, Dar al-Salam: Mesir, 2008, hal. 11

[2] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz V, Dar al-Ma’arif: Mesir, hal. 3643

[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986, hal. 225

[4] Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Maqashid Syari’ah, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007, hal. 12

[5] Wael Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Grafindo: Jakarta, 2000, hal. 267

Daftar Pustaka:

Al-Syatibi. 2003. Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut

Huda, Nurul. 2003. Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Prenada Media: Jakarta

Hoetoro, Arief. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Bayumedia Publishing: Malang

Lihasanah, Ahsan. 2008. Al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi. Dar al-Salam: Mesir

Wahhab Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama: Semarang

Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Maqashid Syari’ah, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007


Comments

Satu tanggapan untuk “Kedudukan Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam”

  1. Syukron ya ustadz. Tulisan ini bisa membantu saya mengerjakan tugas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *