Ushul Fiqh: Amar Yang Berkaitan Dengan Tuntutan Terhadap Orang Lain

Penegakan Hukum Syariah Islam di Aceh
Penegakan Hukum Syariah Islam di Aceh

Bila seorang ayah menyuruh salah seorang anaknya untuk menyuruh anak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan, apakah ini berarti perintah untuk berbuat kepada pihak pertama (anaknya), dan juga tertuju kepada pihak kedua (anak yang lain) untuk melakukannya. Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama. Supaya jelas, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bentuk kemungkinannya.

Pertama, orang yang disuruh pertama hanyalah sebagai penyampai suruhan dan perantara bagi yang menyuruh. Umpamanya seorang Kepala Negara menyuruh Perdana Menterinya untuk menyuruh rakyat agar melakukan suatu perbuatan. Amar dalam bentuk ini tidak diperselisihkan oleh ulama karena tidak seorang pun meragukan berlakunya kewajiban berbuat untuk pihak kedua.

Kedua, orang yang disuruh pertama tidak dalam kedudukan sebagai penyampai berita; bahkan ia disuruh secara mandiri untuk mengarahkan amar kepada pihak kedua. Umpamanya firman Allah yang ditujukan kepada Nabi: Suruhlah keluargamu untuk shalat. Contoh dalam sunah, umpamanya sabda Nabi kepada anak-anak, “Suruhlah anak-anak yang berumur tujuh tahun itu melakukan shalat.” Amar dalam bentuk inilah yang diperselisihkan oleh Ulama Ushul.

Kelompok ulama pertama dari jumhur ulama berpendapat bahwa amar tersebut bukanlah bagi pihak kedua untuk melakukan perbuatan tersebut. Alasannya adalah sebagai berikut.

Pertama, kalau amar tersebut adalah amar bagi pihak kedua untuk melakukan shalat, berarti suruhan dalam Hadis Nabi itu adalah perintah bagi anak-anak untuk melakukan shalat langsung dari Syari’ (Pembuat Hukum). Hal yang demikian tentu tidak tepat, karena berarti Syari’ menetapkan hukum kepada anak-anak; padahal anak-anak itu belum mampu memahami khitab Syari’.

Kedua, kalau amar itu adalah bagi anak-anak untuk shalat tidak terlepas dari dua kemungkinan: mungkin anak itu telah mampu memahami dalil taklif, atau anak itu sama sekali tidak mampu memahami dalil taklif. Kalau anak-anak itu mampu memahami dalil taklif tentu tidak perlu wali menyuruh mereka untuk shalat. Dan kalau anak-anak itu tidak mampu memahami dalil taklif tentu amar dan khithab di sini tidak ada artinya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa amar tersebut tidak menuntut yang dernikian.

Kelompok kedua, Ridha Mudhaffar dari Syi’ah berpendapat bahwa amar itu berlaku bagi pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan. la menjelaskan pendapatnya bahwa amar untuk menyuruh kepada pihak pertama yang kedudukannya bukan sebagai penyampai suruhan, terjadi dalam dua bentuk.

Bentuk pertama, tujuan dari yang menyuruh berhubungan dengan perbuatan pihak yang disuruh kedua. Suruhannya untuk menyuruh merupakan suatu cara agar sampai kepada tujuannya. Bila diketahui tujuannya dalam bentuk ini, maka amar untuk menyuruh itu adalah amar untuk berbuat itu sendiri.

Bentuk kedua, tujuan dari yang menyuruh hanya semata-tnata menyuruh pihak yang disuruh pertama tanpa menghubungkan kepada pihak yang disuruh kedua, maka asal dari keberadaan suruhan itu tidaklah ditujukan kepada pihak kedua.

Kalau ada qarinah yang memberikan penjelasan terhadap salah satu di antara dua pihak yang dikenai amar itu, maka persoalannya menjadi jelas. Tetapi kalau tidak ada qarinah, maka amar itu diperlakukanlah menurut kemutlakannya. Dengan demikian, amar untuk menyuruh secara mutlak menunjukkan wajib, kecuali ditetapkan bahwa amar itu diperuntukkan menurut yang ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *