Ushul Fiqh: Definisi dan Pengertian Nahi

Artikel Ushul Fiqh - Penggalian Hukum Islam dari Dalil-dalil
Artikel Ushul Fiqh – Penggalian Hukum Islam dari Dalil-dalil

Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang “amar yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang nahi (larangan). Hal ini pun berpengaruh dalam merumuskan definisi nahi tersebut.

Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi nahi sebagai tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Definisi yang lebih lengkap mengenai nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan tinggalkanlah atau yang sejenisnya.

Kata tuntutan meninggalkan menunjukkan bahwa nahi itu adalah suruhan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuar apa-apa. Sebagaimana definisi yang digunakannya tentang amar, definsi yang diberikan Ibnu Subki tentang nahyi juga lebih sempurna karena dapat mencakup dua bentuk perbuatan yaitu aktif dan pasif.

Ucapan “jangan diam” dari segi sighat yang digunakan adalah nahyi namun hasilnya sesuai dengan yang dikehendaki amar. Ucapan “jangan bergerak”, dari sighat yang digunakan adalah nahyi namun dari bentuk perbuatan memenuhi kehendak nahyi.

Bila pada amar seseorang yang disuruh dinyatakan telah melakukan amar dan telah berhak mendapat pahala atas perbuatan yang dilakukan, kapan seseorang dinyatakan telah meninggalkan larangan sehingga ia berhak atas pahala karena kepatuhannya meninggalkan larangan itu. Seseorang dinyatakan telah meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang dengan semata tidak melakukan perbuatan yang dilarang itu atau dengan semata tidak berbuat apa-apa.

Namun untuk dinyatakan seseorang berhak mendapatkan pahala atas tidak berbuat perbuatan yang terlarang itu, tidak mudah menjawabnya sebagaimana pembahasan pada amar sebelum ini. Alasannya adalah tidak berbuat sesuatu itu adalah merupakan prinsip asal dari kegiatannya sehari-hari setiap orang. Bila seseorang sedang tertidur tidak melakukan sesuatu dia sudah memenuhi prinsip asal untuk mematuhi larangan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang berhak mendapat pahala atas meninggalkan larangan itu terhitung semenjak ia sengaja dan niat untuk tidak melakukan perbuatan yang terlarang itu, bukan dari waktu dia telah meninggalkan perbuatan terlarang itu. Seseorang dapat dikatakan sengaja atau berniat meninggalkan suatu perbuatan bila ia mengetahuinya dan sanggup melakukannya, namun dengan kesadarannya dia meninggalkan perbuatan itu.

Bila sescorang tidak mengetahui, seperti dia sedang tidur atau tidak mungkin melakukannya seperti ia tidak punya tenaga, sehingga ia tidak melakukan pembunuhan, tidak dapat dikatakan berbuat mendapat pahala karena tidak melakukan pembunuhan yang terlarang itu.

Sebaliknya bila seseorang terangsang untuk berzina, terbuka pula kesempatan untuk melakukan zina itu, namun timbul kesadaran dan niatnya untuk tidak berzina, maka dalam bentuk inilah atau mulai saat berniat itu dia mendapat pahala untuk tidak berbuatnya itu. Dasar fikiran ini adalah bahwa tidak berbuat adalah “amal” dalam bentuk pasif sedangkan setiap amal itu tentukan oleh niatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta

 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *