Ushul Fiqh: Hakikat, Definisi dan Sighat Amar

Blue Islamic background image for designer
Blue Islamic background image for designer

Apakah hakikat amar? Apakah definisi amar? Apakah sighat amar? Artikel Catatan Motivasi Blogging Indonesia hari ini akan membahas ushul fiqh, yaitu metode penggalian hukum Islam yang didasarkan kepada Al-Quran dan Al-Hadist.

Hakikat Amar

Kata amar banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Ada kata amar yang mengandung arti “ucapan” atau “perkataan”. Contohnya firman Allah dalam surat Thaha ayat 132: Ucapkanlah kepada keluargamu, “Shalatlah kamu.” Banyak pula kata amar yang tidak mengandung anti ucapan, diantaranya seperti untuk arti “sesuatu” atau “urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti kata amar dapat dilihat dari contoh ayat-ayat berikut:

  1. Surat Asy-Syura ayat 38: “Urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka”. Amar dalam ayat ini mengandung arti urusan.
  2. Surat Ali Imran ayat 159: “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu hal.” Amar dalam ayat ini mengandung arti sesuatu.
  3. Surat Ath-Thalaaq ayat 9: “Akibat dari perbuatan mereka adalah kerusakan.” Amar dalam ayat ini mengandung arti perbuatan.

Karena terdapat beberapa arti dalam pernakaian kata amar maka menjadi perbincangan di kalangan ulama tentang untuk apa sebenarnya (hakikinya) digunakan kata amar itu. Para ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa kata amar secara hakiki digunakan untuk ucapan tertentu, yaitu kata yang se-wazan atau setimbang dengan kata “kerjakanlah” atau “hendaklah engkau kerjakan.”

Ulama berbeda pendapat dalarn hal penggunaan kata amar selain untuk ucapan tertentu. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa penggunaan kata amar selain untuk arti ucapan tertentu, adalah secara majazi dan bukan untuk penggunaan sebenarnya (tidak hakiki). Mereka rnengemukakan argumen kalau kata amar itu digunakan pula secara hakiki untuk perbuatan, sedangkan telah disepakati penggunaannya secara hakiki yang berganda.

Definisi Amar

Dalam setiap kata amar terkandung tiga unsur, yaitu yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh, yang dikenai kata amar atau yang di suruh, dan ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.

Supaya amar dapat berlaku sebagai perintah, para ulama membahas beberapa hal berikut. Apakah kedudukan yang menyuruh dan yang disuruh dijadikan pertimbangan atau tidak. Apakah sikap dan bentuk ucapan suruhan menentukan atau tidak. Kalau perintah itu adalah untuk mengerjakan apakah tidak berbuat apa-apa atau diam dapat disebut mengerjakan atau tidak.

Diantara ulama, termasuk ulama Mu’tazilah mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amar melainkan disebut do’a.

Atas dasar pandangan diatas mengenai persyaratan kata amar supaya menjadi perintah maka secara sederhana definisi amar adalah perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Pandangan diatas diikuti pula oleh Abu Ishak Al-Syirazi. Dinukilkan oleh Qadhi Abdul Wahab dalam Kitab Al-Mulakhkhas dari pakar bahasa dan mayoritas ilmuwan.

Sighat Amar

Di kalangan ulama ushul diperbincangkan tentang apakah dalam menggunakan amar ada ucapan yang dikhususkan untuk itu sehingga dengan ucapan itu akan diketahui bahwa maksudnya adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar itu tidak ada kata khusus, tetapi untuk menyatakan sebagai suruhan tergantung kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.

Terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai sighat amar. Kebanyakan ulama ushul fiqh berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh itu ada ucapan tertentu dalam penggunaan bahasa sehingga tanpa ada qarinah apa pun itu kita mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah. Shighat amar itu ada yang jelas atau sharih dalam arti hanya digunakan untuk amar dan tidak yang lainnya dan ada pula yang zhahir dalam arti digunakan untuk amar dan juga digunakan untuk bukan amar.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *