Ushul Fiqh: Hubungan Amar Dengan Sebuah Perbuatan

Muhammad Syafii Antonio - Pakar Ekonomi Islam dari Indonesia
Muhammad Syafii Antonio – Pakar Ekonomi Islam dari Indonesia

Lafaz amar menghendaki orang yang dikenai amar untuk mengerjakan perbuatan yang dikehendaki oleh atnar itu. Bila amar tu telah dilaksanakan, apakah perbuatan yang disuruh itu telah memadai dan telah memenuhi tuntutan? Persoalan ini menjadi perbincangan di kalangan ulama Ushul.

Kebanyakan ulama fiqh, dan ulama kalam golongan Asy’ari berpendapat bahwa bila amar telah dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki, maka berarti telah memadai dan memenuhi tuntutan.

Dalam pengertian “memadai” atau “memenuhi tuntutan” tersebut, terkadang pengertian apa yang diperintahkan telah dilaksanakan dan telah sesuai dengan apa yang diperintahkan, dan perbuatan yang telah dilaksanakan tersebut tidak perlu lagi dilakukan setelah itu.

Pengertian “memadai” menurut kalangan ulama di atas sebenarnya adalah dalam pengertian yang pertama. Sedangkan menurut kalangan ulama yang berbeda pendapat dengan ulama terscbut, pengertian “memadai” itu dalam dengan pengertian yang kedua .

Mereka mengemukakan argumentasi sebagai berikut: Pertama, lafaz amar yang berkenaan dengan ibadah mengharuskan mengerjakan ibadah itu. Bila perintah dalam amar itu telah dilakukan, maka orang yang disuruh melaksanakan perintah telah melaksanakan apa yang dituntut oleh arnar tersebut.

Dengan demikian, terlepaslah ia dari tanggung jawabnya, ia kembali keadaannya seperti semula dan telah bebas tugasnya. Karena itu, adalah salah kalau dikatakan ia telah berbuat sesuai dengan tuntutan amar, seandainya masih ada beban amar yang melekat di pundaknya.

Argumentasi kedua, bolehnya seseorang melakukan suatu perbuatan adalah merupakan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan amar. Demikian juga, hak seseorang akan pahala adalah sesuai dengan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan amar itu. Bila perbuatan yang disuruh itu telah dilaksanakan menurut syarat-syarat yang ditentukan, hal ini menunju bahwa ia berhak mendapat pahala, dan menunjukkan memadainya pelaksanaan perbuatan yang diperintahkan.

Argumen ketiga adalah ada cara untuk mengetahui memadainya pelaksanaan suatu perbuatan yang dipertintahkan, kecuali telah dilaksanakannya perbuatan itu menurut apa yang diperintahkan. Memadainya pelaksanaan suatu perbuatan yang dikehendaki amar dapat diketahui atau dinilai jika perbuatan belum atau tidak dilaksanakan menurut yang dikehendaki amar tersebut. Oleh karena itu, jika suatu perbuatan dilaksanakan menurut yang dituntut antar, berarti menunjukkan telah memadainya pelaksanaan perbuatan itu.

Selanjutnya, Qadhi Abdul Jabbar dari golongan Mu’tazilah dan para pengikutnya berpendapat bahwa terlaksananya amar itu tidak menunjukkan telah memadainya pelaksanaan perbuatan dan telah terpenuhinya perintah dengan hanya semata-mata melihat pada amar tersebut, tetapi harus berdasarkan ke dalil lain.

Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut: Pertama, pengertian “memadai” adalah bahwa perbuatan yang telah dikerjakan sesuai dengan tuntutan amar itu tidak diulangi lagi. Kita mengetahui bahwa tidak ada salahnya bila seorang yang bijak menyuruh melaksanakan suatu perbuatan kemudian ia mengatakan, “Meskipun kamu mengerjakan perbuatan yang wajib dan telah berhak atas pahala, namun demikian ulangi lagilah perbuatan itu.”

Dalam contoh lain bila seseorang mengira bahwa ia telah thaharah (bersuci) pada suatu waktu, kemudian ia melaksanakan shalat wajib. Meskipun begitu ia harus mengulangi lagi shalatnya itu bila kemudian diketahuinya bahwa sebe-narnya ia tidak suci.

Argumentasi kedua, lafaz amar hanya mengandung kewajiban untuk berbuat saja dan tidak mengandung penilaian telah memadainya perbuatan itu dan telah gugurnya kewajiban. Untuk maksud tersebut diperlukan dalil di luar lafaz amar itu.

Jika tadi dikatakan bahwa seseorang yang sudah melakukan dan menyelesaikan amar sesuai ketentuan yang ditetapkan, perbuatannya itu sudah selesai dan dia telah berhak menerima pahala atas perbuatannya itu. Hal ini tidak menjadi masalah. Yang dipermasalahkan adalah semenjak kapan dia dinyatakan tidak melalaikan perbuatan yang disuruh itu.

Masalah ini timbul karena melalaikan perbuatan yang disuruh itu adalah berdosa. Apakah dengan telah mulai secara aktif melakukan perbuatan itu atau semenjak dia berniat untuk melakukan perbuatan itu. Pendapat kebanyakan ulama adalah semenjak dia berniat melakukan perbuatan itu sedangkan dia sendiri mampu dan bersiap dalam melakukan perbuatan itu. Alasannya adalah Hadis Nabi yang mengatakan “semua amalan itu dinilai dari niatnya.”

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *