Ushul Fiqh: Hubungan Timbal Balik Antara Amar dan Nahi

Beautiful Ramadhan Wallpaper
Beautiful Ramadhan Wallpaper

Amar tentang sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas sesuatu berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Bila suatu perbuatan disuruh untuk dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk meninggalkan perbuatan tcrscbut. Atau dengan kata lain, apakah amar tentang sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu. Dalam contoh larangan untuk bergerak apakah berarti disuruh untuk diam. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai bentuk lawan suatu kata. Bentuk pertama adalah lafaz yang hanya mempunyai satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut naqidhu (alternatif). Umpamanya lawan kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah lafaz yang lawan katanya lebih dari satu, disebut dhod (kontradiktif). Umpamanya, lawan kata berdiri adalah duduk, berbaring, jongkok, dan sebagainya.

Pendapat pertama dari segolongan ulama, di antaranya ulama Hanbali, berpendapat bahwa bila datang larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan kata, berarti disuruh melakukan lawan kata itu dari segi artinya. Umpamanya, dilarang bergerak berani disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Umpamanya dilarang berdiri berarti disuruh duduk atau perbuatan lain yang berlawanan dengan berdiri.

Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan suatu perbuatan berarti wajib meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu di antara lawan-lawan kata tersebut. Dengan demikian, larangan berbuat sesuatu mengandung arti untuk meninggalkan salah satu di antara lawannya. Hal itu berarti kewajiban melakukan lawan kata yang tersebut.

Pendapat kelompok kedua datang dari kebanyakan ulama, di antaranya Imam Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, al Jujani dan lainnya yang berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu itu dan juga tidak merupakan kelaziman bagi lawannya; baik larangan itu menghasilkan hukum haram atau karahah, baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu. Alasan ulama ini ialah sebagai berikut:

Alasan pertama, pada waktu menghadapi tuntutan meninggalkan sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk melakukan lawan-lawan kata sesuatu tersebut. Begitu pula sebaliknya bila disuruh mengerjakan sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk meninggalkan lawan-lawan kata sesuatu tersebut.

Alasan kedua, seandainya disuruh melakukan sesuatu berarti dilarang mengerjakan lawan sesuatu itu, tentu tidak akan mungkin dikerjakan tanpa mengetahui lawan dari sesuatu tersebut dan meninggalkannya, karena lawan dari sesuatu itulah yang menjadi tuntutan nahi. Hal yang demikian tidak benar, karena sudah pasti bahwa tuntutan itu tetap harus dipenuhi meskipun kita tidak mengetahui lawan katanya. Dengan demikian, tidaklah benar pandangan bahwa amar tentang sesuatu adalah nahi terhadap lawannya. Demikian pula sebaliknya.

Bila diperhatikan perbedaan pendapat di atas, terlihat bahwa beda pendapat ini hanya semata beda menurut lahirnya. Sedangkan menurut kenyataannya tidaklah berbeda, karena ulama yang mengatakan bahwa amar atas sesuatu bukanlah larangan terhadap lawannya juga akan sependapat bahwa bila ia disuruh untuk “bergerak”, umpamanya ia akan tahu bahwa “bergerak” itu mungkin dilakukannya kalau tidak menjauhi lawan katanya, yaitu “diam”. Dengan demikian, ia juga akan setuju bahwa dalam keadaan demikian, maka supaya suruhan untuk “bergerak” itu terlaksana, harus meninggalkan “diam.”

Untuk menengahi dua pendapat yang kelihatannya berbeda tersebut, Muhammad Khudari Beik menyatakan bahwa untuk suatu perbuatan yang disuruh terdapat beberapa lawan kata yang menyalahi perbuatan yang disuruh itu dan tidak mungkin keduanya dipertemukan. Demikian pula bagi suatu perbuatan yang dilarang terdapat lawan katanya dan tidak mungkin menghentikan yang dilarang itu tanpa mengerjakan salah satu atau semua lawan katanya.

Jelaslah bahwa untuk melakukan suatu suruhan mengharuskan menghentikan semua lawannya; kalau tidak demikian tentu tidak akan terlaksana suruhan itu. Meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang mengharuskan melakukan salah satu di antara lawannya, kalau tidak bcgitu, tentu tidak akan jelas bentuk larangan itu. Hal ini adalah sesuatu yang diterima semua pihak tanpa memerlukan argumentasi.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta

 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *