Ushul Fiqh: Jatuhnya Amar Setelah Adanya Larangan

Penegakan Hukum Syariah Islam di Aceh
Penegakan Hukum Syariah Islam di Aceh

Bagaimanakah menyikapi datangnya suatu amar setelah adanya larangan? Langkah hukum apa yang harus kita lakukan terhadap kondisi tersebut? Artikel Catatan Motivasi Blogging Indonesia hari ini membahas ushul fiqh, yaitu metode penggalian hukum Islam yang didasarkan oleh dalil-dalil yang ada di Al-Quran dan Al-Hadist.

Adanya amar tentang sesuatu menghendaki berbuat untuk melaksanakan sesuatu itu. Dan larangan mengerjakan sesuatu berarti sesuatu itu tidak boleh dikerjakan. Dalam beberapa ayat Al-Quran terdapat lafaz amar yang terletak sesudah adanya larangan yang berarti disuruh melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang melakukannya.

Adanya larangan yang mendahului amar menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama. Apakah larangan yang mendahului amar itu berpengaruh terhadap kedudukan amar atau tidak. Seandainya berpengaruh, sejauh mana pengaruh itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa amar yang didahului oleh larangan itu tidak lagi berfungsi sebagaimana asalnya, tetapi telah berubah menjadi ibahah, bagaimanapun bentuk amar sebelum adanya larangan itu.

Alasan mereka yang pertama adalah berdasarkan ‘uruf (kebudayaan) dan kebiasaan dalam pembicaraan (ucapan) seseorang, bila ia menyuruh sesudah sebelumnya melarang, maka suruhan itu bukan lagi dalam bentuknya yang semula (keharusan), tetapi berubah menjadi kebolehan.

Sedangkan alasan kedua adalah berdasarkan ‘uruf syar’i, amar yang berada sesudah larangan berubah hukumnya menjadi ibahah (boleh) sebagaimana dapat dipahami dalam beberapa contoh ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Berdasarkan itu, dalam hal contoh di atas, maka perbuatan berburu, bertebaran di permukaan bumi dalam rangka mencari rezeki, menumpuk daging kurban dan menziarahi kubur, hukumnya hanyalah ibahah.

Sebagian ulama fiqh seperti Qadhi Baidawi dan sebagian ulama kalam seperti golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa amar yang terdapat sesudah larangan adalah tetap dalam posisi asalnya, balk dalam bentuk wujuh atau nadb; dan kedudukan amar sesudah larangan, tidak berpengaruh terhadap amar tersebut. Mereka memberikan argumen sebagai berikut.

Amar menurut asalnya menunjukkan hukum wujub (menurut ulama yang berpendapat demikian). Jika amar datang sesudah hukum haram (larangan), tidaklah berarti harus menolak amar, sehingga jadi menolak apa yang telah ditetapkan sebagai keharusan; karena wujub dan ibahah itu merupakan dua hal yang bertentangan dengan haram. Meskipun demikian tidaklah terhalang beralihnya hukum dari haram kepada ibahah.

Amar yang menimbulkan hukum ibahah tidak mengandung unsur baik, sebab keadaannya tidak membawa arti, karena pihak yang disuruh tidak akan memperoleh pahala apa-apa bila ia berbuat. Oleh karena itu, tidak mungkin amar di sini hanya menimbulkan hukum ibahah.

Larangan bila terletak sesudah amar tetap hukumnya haram sebagaimana keadaannya semula. Demikian pula bila amar terletak sesudah larangan, harus diarahkan kepada hukum wajib sebagaimana keadaannya semula ketika tidak didahului oleh larangan.

Pendapat yang tampaknya paling kuat adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad al-Khudari Beik. Katanya, bila larangan yang mendahului amar itu disebabkan oleh suatu illat atau alasan tertentu seperti larangan menumpuk daging kurban dalam contoh maka amar yang datang sesudah larangan adalah untuk mencabut sebab adanya larangan itu. Dalam keadaan demikian, maka hukumnya kembali kepada keadaan sebelum adanya larangan, yaitu ibahah.

Adapun bila larangan sebelum amar itu secara mutlak atau tanpa adanya illat, seperti larangan menziarahi kubur maka amar yang datang kemudian adalah untuk menimbulkan hukum wajib, bukan nadb, juga bukan kembali kepada hukum semula. Tidak kembalinya amar kepada hukum semula karena telah dicabut oleh adanya larangan, sehingga tidak ada lagi tempat kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *