Ushul Fiqh: Tuntutan Amar Mutlak Atas Kesegeraan Pelaksanaan

The next big thing, Halal to grow by $2.47 trillion by 2018 DinarStandard (DS), a growth strategy research and advisory firm specializing in the global Islamic economies
The next big thing, Halal to grow by $2.47 trillion by 2018 DinarStandard (DS), a growth strategy research and advisory firm specializing in the global Islamic economies

Setiap lafaz amar yang pelaksanaannya .dihubungkan kepada suatu waktu yang ditentukan dan kesempatan untuk melaksanakan apa yang dituntut akan hilang dengan berlalunya waktu itu, amar itu harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditangguhkan pelaksanaannya.

Umpamanya perintah melaksanakan shalat lima waktu yang dibatasi pelaksanaannya dengan waktu tertentu. Perintah shalat itu dilaksanakan sesegera mungkin selama masih dalam waktu. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Dalam hal amar yang pelaksanaannya tidak disertai oleh waktu tertentu, apakah pelaksanaannya harus segera setelah adanya amar itu atau dapat ditangguhkan?

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul. Beda pendapat di kalangan ulama ini terjadi bila amar itu disertai pentunjuk yang menjelaskan bahwa ia hanya berlaku untuk satu kali, sedangkan bila untuk dilaksanakan secara berulang kali (terus-menerus), maka tidak mungkin ditangguhkan pelaksanaannya, juga tidak dapat dipercepat. Pendapat para ulama dalam hal ini adalah scbagai berikut.

Ulama Hanbali berpendapat bahwa amar mutlak menghendaki segera dilaksanakan setelah adanya amar itu. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah amar itu dapat ditangguhkan, maka apa yang disuruh amar itu tidak terlepas dari dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, perintah itu dapat ditangguhkan untuk selamanya dan orang yang dikenai amar tidak mendapat sanksi bila mati sebelum melaksanakannya. Kemungkinan kedua, yang dikenai amar itu dianggap teledor dan terkena sanksi bila ia mati sebelum melaksanakan perintah.

Bila seseorang yang dikenai amar itu teledor dengan meninggalkan perintah sampai ia mati berarti ia keluar dari batas kewajiban, sehingga amar itu adalah antar yang hukumnya sunah. Bila dipandang bahwa ia terkena sanksi dengan kematiannya, maka berarti Allah menuntut melakukan sesuatu dengan batasan waktu yang tidak disertai petunjuk untuk mengetahui waktu itu.

Hal yang demikian tidak mungkin, karena dengan demikian, ia dituntut untuk melakukan suatu perbuatan dalam batasan waktu yang tidak diketahui. Jika kedua kemungkinan itu tidak dapat diterima, maka jelaslah bahwa amar itu adalah untuk faur.

Larangan adalah perintah untuk meninggalkan sedangkan amar adalah perintah untuk berbuat. Larangan itu menuntut untuk segera meninggalkan hal yang dilarang. Dengan demikian, amar pun menuntut segera dilaksanakan.

Perintah untuk berbuat mengandung tiga hal, yaitu: amar untuk berbuat, amar untuk beriktikad dan amar untuk berazam (kesediaan berbuat). Telah ditetapkan bahwa antar untuk ‘azam dan amar untuk beriktikad harus dengan segera. Dengan demikian amar untuk berbuat pun menuntut untuk segera dilaksanakan.

Allah mencela iblis karena tidak mau sujud kepada Adam sebagaimana terdapat dalam surat al-A’raaf ayat 12: Apa yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?

Seandainya amar yang disebut dalam ayat ini bukan untuk faur (segera dilakukan), maka tentunya iblis tidak berhak untuk mendapat celaan dan iblis akan mempertanyakan, “Engkau tidak menyuruh kami untuk segera sujud, kenapa kami harus dicela.”

Kebanyakan ulama Syafi’iyah, ulama Mu`tazilah, sebagian ulama Hanafi dan Abu Bakar al-Baqillani berpendapat bahwa amar mutlak tidak menuntut segera dilaksanakan, jadi dapat ditangguhkan pelaksanaannya. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut.

Pertama, Allah berfirman dalam surat al-Fath ayat 27: Kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman. Ayat ini merupakan berita tentang terjadinya perbuatan yang mutlak dan tidak disebutkan waktunya, oleh karena itu dalam pelaksanaannya pun tidak ditentukan waktunya. Hal yang demikian berlaku pula pada amar, karena amar itu ialah perintah untuk terjadinya perbuatan mutlak tanpa waktu; karenanya tidak ditentukan waktunya.

Kedua, seandainya amar itu pelaksanaannya ditentukan dengan waktu yang ditangguhkan, maka pelaksanaannya ditangguhkan. Demikian juga bila amar itu ditemukali waktunya dengan waktu yang didahulukan, maka wajib mendahulukan pelaksanannya sesuai ketentuan waktunya.

Ketiga, amar untuk berbuat mengandung ketentuan dalam pelaksanaannya dengan waktu dan tempat tertentu. Jika kemudian ditetapkan bahwa untuk pelaksanaan suatu perbuatan tertentu tidak mesti di tempat tertentu. Dengan demikian pelaksanaan amar itu juga tidak mesti dalam masa tertentu.

Keempat, seandainya amar itu harus dilakukan secara faur, tidak perlu dipertanyakan tentang pelaksanaan suatu amar. Ternyata pada beberapa bentuk amar dalam firman Allah dan Hadis Nabi, masih perlu keterangan mengenai waktu pelaksanaannya. Hal itu menunjukkan bahwa amar mutlak itu tidak menuntut untuk segera dilaksanakan.

Ulama kalam Asy’ariyah memilih bersikap tawaquf. Mereka berargumen, bahwa lafaz amar itu ada kemungkinan berlaku untuk segera dilaksanakan dan ada pula kemungkinan untuk dapat ditangguhkan. Hal ini karena lafaz mutlak itu dapat ditafsirkan dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Adanya beberapa kemungkinan itu menuntut sikap tawaquf dalam melaksanakan perintah (amar) sampai menemukan petunjuk yang mengarahkannya untuk segera dilaksanakan atau dapat ditangguhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *