Ushul Fiqh: Tuntutan Lafaz Amar Secara Berulang

Pemukul Alat Musik Banjari di Gebyar Sholawat Murid SD
Pemukul Alat Musik Banjari di Gebyar Sholawat Murid SD

Sering ditemukan lafaz amar yang disebutkan berulangkali dalam sebuah ucapan. Contohnya: “Shalatlah kamu dua rakaat, shalatlah kamu.” Apakah amar yang disebutkan lebih dari sekali itu, juga menuntut dipenuhi lebih dari sekali, sesuai dengan amar yang disebutkan. Dalam contoh di atas, apakah perintah yang dua kali disebutkan itu menuntut melakukan dua kali. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.

Pertama, kalangan ulama yang berpendapat amar yang mutlak tidak menuntut untuk dipenuhi berulang kali. Perbedaan pendapat dalam hal ini Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini ada dua kemungkinan:

Kemungkinan pertama, jika pada amar yang kedua (yang disebutkan kedua kalinya) adalah berupa penjelasan terhadap yang pertama, maka tidak harus ada tuntutan melaksanakan perintah secara berulang kali, tetapi cukup hanya mengerjakan perintah yang pertama saja.

Contohnya, ucapan, “Shalatlah dua rakaat,” kemudian disusul dengan ucapan “Lakukanlah sebuah shalat.” Dalam hal ini cukup satu kali saja mengerjakan shalat dua rakaat itu, yaitu shalat apa saja yang termasuk shalat dua rakaat.

Kemungkinan kedua, jika amar yang kedua berbeda dengan yang pertama, maka perintah yang kedua itu bukanlah penjelasan perintah yang pertama, sehingga ada tuntutan untuk dilakukan secara berulang kali. Umpamanya ucapan, “Shalatlah dua rakaat,” kemudian disusul dengan ucapan, “Shalatlah empat rakaat.”

Abu Hanifah sendiri menyebutkan dalam kasus seseorang mengakui berutang kepada seseorang sebanyak sepuluh dan kemudian diulanginya; maka setiap kali mengulang, maka wajib ia membayar sebanyak yang diakui.

Kedua, di kalangan ulama Syafi`iyah terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa tuntutan untuk melakukan berulang kali itu adalah pada amar yang kedua. Alasannya, bahwa sewaktu berulang apa yang diperin-tahkan menurut zhahir-nya, dalam hal ini ada perintah atau amar yang lain. Karena kalau yang dikehendaki adalah untuk melakukan perintah dalam amar yang pertama berarti menuntut untuk kembali kepada yang pertama itu.

Pendapat kedua menyatakan bahwa perulangan amar itu hanyalah untuk menguatkan amar yang pertama. Alasannya, bahwa amar yang kedua itu mungkin maksudnya adalah membentuk lagi amar baru, dan mungkin pula menguatkan amar yang pertama. Tidak boleh menggantungkan tuntutan yang wajib (hanya) atas dasar keraguan.

Pendapat ketiga bersikap tawaquf, sampai menemukan dalil yang menjelaskannya. Alasannya, bahwa adanya perulangan amar itu ada kemungkinan timbulnya kewajiban baru dan ada kemungkinan hanya menguatkan kewajiban pertama. Memutuskan masalah ini harus ditangguhkan sarnpai ada petunjuk yang menerangkannya.

Kemudian, dari kalangan ulama Hanbali berpendapat bahwa amar pertama itu menuntut untuk perulangan. Mereka tidak merasa perlu menambahkan penjelasan karena menurutnya amar yang kedua itu tidak menuntut, kecuali apa yang dituntut amar pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *