Ushul Fiqh: Tuntutan Nahi Selamanya dan Kesegeraan Berbuat

Wallpaper Bulan Suci Ramadhan
Wallpaper Bulan Suci Ramadhan

Tuntutan Lafaz Nahi Untuk Selamanya

Perbedaan pendapat ulama dalam hal apakah amar mutlak menuntut melakukan perbuatan secara terus-menerus atau selamanya, berlaku pula dalam hal apakah nahi itu berlaku untuk sepanjang masa atau tidak.

Kelompok pertama ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukkan berlakunya larangan itu untuk sepanjang masa. Tuntutan berlakunya untuk sepanjang masa tidak muncul dari lafaz itu sendiri, tetapi dari dalil lain yang menyertainya.

Sedangkan kelompok ulama yang kedua berpendapat bahwa amar menuntut perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa nahi juga menuntut larangan sepanjang masa, namun dapat menerima pembatasan waktu jika ada dalilnya.

Tuntutan Lafaz Nahi Atas Kesegeraan Berbuat

Dalam hal apakah amar muthlaq itu menghendaki kesegeraan berbuat atau tidak, ada ulama yang mengatakan amar muthlaq itu menghendaki kesegeraan berbuat. Ada yang berpendapat tidak ada kesegeraan berbuat dan pendapat tengah harus tawaquf dalam arti tidak menunjukkan kesegeraan berbuat dan tidak pula boleh ditangguhkan, namun cari dahulu petunjuk lain yang mengarahkannya.

Namun dalam hal larangan atau nahyi tidak mungkin untuk berpendapat bahwa larangan tidak menunjukkan kesegeraan berbuat atau boleh saja ditangguhkan. Karena seseorang baru dikatakan meninggalkan larangan setelah dari awal dia telah meninggalkan larangan itu. Kalau tidak demikian akan berarti mula-mula dia boleh melakukan kejahatan yang dilarang dan berikutnya dia baru meninggalkannya.

Dengan demikian dia sudah melanggar larangan karena dari awalnya dia sudah melanggar larangan. Kalau tidak demikian sama saja artinya dengan seseorang berkata: biarkanlah sekarang saya berzina nanti siang saya akan meninggalkannya.

Demikian pula keadaannya berkenaan dengan keharusan berulangnya amar muthlaq. Boleh saja ada ulama berpendapat amar muthlaq tidak mengharuskan perulangan, tetapi cukup satu kali. Tetapi dalam hal larangan atau nahyi tidak mungkin ada pendapat yang mengatakan nahyi muthlaq tidak mengharuskan perulangan. Larangan pada nahyi itu berlaku secara berketerusan dan untuk selamanya, tidak hanya untuk waktu-waktu tertentu.

Kalau hanya untuk satu kali atau untuk waktu-waktu tertentu saja, seseorang yang tertangkap tangan sedang melakukan korupsi akan melawan dan mengatakan “kenapa saya disalahkan korupsi sekarang, tadi kan saya sudah tidak korupsi dan sudah saya patuhi larangan korupsi itu?” Dengan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua kasus larangan atau nahyi itu dapat disamakan dengan kasus amar.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta

 


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *