Ada suasana yang berbeda di dalam Pustaka Latsari pada jam istirahat sekolah selama seminggu terakhir ini. Suara gendang kecil, tamborin dan tifa ditabuh bergantian oleh beberapa orang murid dari kelas 1, 2 dan 3. Ketimplak-ketimpluk gendang ditabuh berpadu dengan denting empat buah pianika dan sebuah tamborin. Anda dijamin tidak akan mengantuk jika berkunjung disana.Kerjasama sekelompok murid tampak kompak menghasilkan alunan lagu-lagu perjuangan, lagu anak-anak dan sejumlah lagu populer. Lagu Hari Merdeka, Pelangi Pelangi, Buat Apa Susah, Sayonara, Lihat Kebunku, hingga lagu Bojoku Galak mereka mainkan dengan insting musik yang seadanya. Meski kadang suara yang dihasilkan berirama sumbang, mereka tetap mampu menikmati tabuhan tersebut. Penulis pun cukup tersenyum saja menyaksikan pemandangan tersebut dari balik meja sirkulasi Pustaka Latsari.
Kreatifitas para siswa tersebut bukanlah hasil rekayasa. Keinginan bermain musik hadir begitu saja saat penulis memindahkan gendang usang dari kantor guru ke ruang perpustakaan. Penulis berpikir tidak ada gunanya alat musik itu dibiarkan tergeletak di lemari kantor. Penulis membawa gendang dan tamborin penuh debu itu ke pelataran sekolah. Setelah memastikan tidak ada debu yang tersisa, alat musik pukul itu penulis letakkan begitu saja di rak buku SBK. Tanpa disuruh, anak-anak berebut memainkannya. Tanpa dikomando, mereka mencoba membuat aransemen musik ensembel. Pukulan acak dan nada-nada dengan tingkat kesulitan rendah mereka mainkan. Penulis belum memberikan catatan notasi angka lagu-lagu perjuangan. Anehnya, ada saja kreasi melodi yang berhasil mereka ciptakan.
Kemampuan bermain musik para siswa tidak hadir begitu saja. Pengaruh lingkungan cukup besar dalam mengasah naluri bermusik dalam diri mereka. Salah satunya adalah keberadaan grup musik patrol modern PSPG dan Dewa Krisna yang berkembang di dusun kami. PSPG adalah grup seniman patrol di wilayah Guwo bagian utara sedangkan Dewa Krisna diikuti oleh sebagian besar penduduk Guwo yang tinggal di wilayah timur. Kedua kelompok seniman daerah itu sering berlatih musik di luar ruangan. Anak-anak pun selalu menonton aksi latihan musik patrol yang dilakukan pada malam hari tersebut. Inilah buah dari kebiasaan menyukai seni daerah yang terbawa siswa dari rumah sampai ke sekolah. Lingkungan tempat tinggal mereka berpengaruh secara efektif di setiap pikiran dan tindakan.
Sejauh ini belum ada respon serius dari para guru mengenai bakat dan minat para siswa di bidang seni. Bahkan seperangkat alat musik drum band pun tidak pernah dipakai berlatih dalam kurun waktu sepuluh bulan ini. Penulis memiliki keterbatasan dalam mengelola bakat mereka karena wewenang tersebut tidak penulis miliki. Butuh kesadaran bersama bahwa hakikat pendidikan adalah memberikan pengalaman terbaik bagi anak untuk mencapai tujuan hidup mereka. Anak-anak yang mampu menyalurkan kreasi bakat dan keuletan menekuni minat akan mampu menjalani hidup secara terarah. Mari kita tunggu kelanjutan kisah gendang yang bertalu-talu di setiap jam sembilan pagi itu. Apakah tahun depan suara gendang itu mampu tampil di panggung pentas seni dan mendapat apresiasi dari penonton? Let’s see.
Asyik… asyik…
Sekolah jaman now memang menyenangkan. Apalagi yg ngajar Pak Agus.
Wow…. hebat! Muridnya pintar2 dan berbakat. Pak Guru harus membina dgn serius.
Bakat seni anak-anak harus ditampung dan dibina.
Hore aku punya teman pintar! Aku suka bgt klo ada guru kreatif dan mau memintarkan murid tanpa kenal pamrih. Good luck boys!
Melesrarikan budaya adlh ciri org berakal.
Seni adalah warna indah kehidupan. Hidup tanpa seni terasa hambar.
Pakai musik dangdut kah? I guess the answer is YES.
Gurunya mana? Kok gak keliatan.
Good creation! Never mind kalo awalnya musik mereka jelek. Nanti jg bakalan oke klo sdh sering latihan.
Kreatif dan menarik dicontoh.
Bagus pak. Biarkan mereka berolah seni.