“Mbah Lin, kulo tumbas dawet gangsal atus.” Saya masih ingat peristiwa yang terjadi di tahun 90-an itu. Di pagi hari sebelum berangkat sekolah saya membeli semangkuk dawet sagu yang segar sebagai sarapan pagi. Mbah Sarlin bersama dengan Pak Madun, Pak Lukman, Pak Pitono, dan Pak Sunaji adalah beberapa orang tetangga yang rumahnya berada di belakang rumah saya. Mereka semua adalah pedagang dawet wayang dan saya rajin menikmati sajian kuliner hasil karya tangan mereka hampir setiap hari.
Dawet adalah salah satu sajian kuliner dari Jombang berupa minuman segar berkuah santan dengan isian sejenis agar-agar yang terbuat dari bahan tepung sagu. Disebut dawet wayang karena centong yang dipakai untuk menuang dawet bergagang wayang. Gagang wayang tersebut merupakan salah satu contoh karya seni rupa terapan yang digunakan masyarakat Jawa. Itulah keunikan Dusun Guwo Desa Latsari Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang yang melegenda sejak dulu. Saking terkenalnya, kalau ada pejabat Kabupaten Jombang yang berkunjung ke Dusun Guwo jaman dulu pasti disuguhi dawet wayang.
Tapi itu dulu, dulu sekali ketika saya masih belajar di bangku sekolah dasar. Saat ini saya sudah kesulitan mencari penjual dawet wayang meski setiap hari saya tinggal di Dusun Guwo. Satu per satu penjual kuliner dawet wayang tiada. Mbah Sarlin, Pak Lukman, dan Pak Pitono secara berturut-turut telah meninggal dunia selama beberapa tahun silam. Setahu saya, saat ini tersisa hanya Pak Sunaji yang masih aktif menjual dawet wayang berkeliling desa. Pak Sunaji menjelajahi Dusun Guwo, Dusun Bayeman, Dusun Mojowangi, lanjut ke Mojowarno dan wilayah sekitarnya untuk menjajakan dawet wayang.
Kabar terakhir saya dapatkan bahwa kondisi kesehatan Pak Sunaji memburuk. Beliau sudah tidak tampak menjual dawet wayang dalam kurun waktu sebulan terakhir. Sebagai gantinya, saat ini di Dusun Guwo telah hadir beberapa pedagang minuman tradisional yang berasal dari luar desa. Beberapa produk yang mereka jual antara lain es godir, es cincau, es dawet ayu, dan es potong. Soal rasa memang produk-produk baru tersebut lebih bervariasi dan nendang di lidah. Tapi soal kandungan zat gizi dan nilai kesehatannya belum terjamin.
Langkanya penjual dawet wayang di Dusun Guwo disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utama adalah keterbatasan bahan baku pembuatan dawet. Saat saya masih kecil, Bapak saya adalah penebang pohon aren yang menjadi bahan baku pembuatan tepung sagu. Saya masih ingat dengan baik saat ruang tamu rumah saya dipenuhi oleh puluhan karung-karung tepung aren yang siap dijual kepada para pembuat dawet. Namun sekarang Bapak sudah berhenti menebang pohon aren karena faktor usia sehingga tidak ada pemasok tepung aren berkualitas baik untuk para pedagang dawet.
Beberapa pedagang dawet disini mencoba mengakali keterbatasan bahan tepung sagu melalui menggantinya dengan tepung beras. Kemudian muncul istilah dawet beras. Dawet beras awalnya bisa diterima oleh konsumen. Namun lama-lama dawet beras tersisih dari peredaran karena tidak laku. Alasan yang masuk akal tidak dipakainya tepung beras dalam pembuatan minuman tradisional dawet adalah karena tepung beras tidak mengenyangkan. Sebaliknya, tepung aren bersifat lebih pulen dan mengenyangkan perut saat dicampur dengan kuah santan dan gula aren.
Faktor lain yang menyebabkan dawet wayang hampir punah di Dusun Guwo adalah berkurangnya minat remaja untuk meneruskan usaha menjual dawet yang telah dilakukan keluarga mereka secara turun-temurun. Anak-anak muda jaman sekarang lebih memilih bekerja ke kota daripada mengembangkan sumber daya alam yang ada di pedesaan. Mereka lebih bangga bekerja menjadi buruh kasar di pabrik daripada harus berwirausaha menjual makanan tradisional di desa.
Mungkin ini yang disebut dengan roda kehidupan. Ketenaran sebuah barang dagangan memiliki durasi. Terkenal pada tahun lalu, belum tentu tahun ini. Hukum ekonomi memang berlaku dimana-mana. Namun mengabaikan kelestarian wisata kuliner tradisional juga bukan tindakan elok saat beragam makanan cepat saji asal Barat menyerang kehidupan kita sekarang. Apapun pilihan kuliner Anda, jangan pernah melupakan faktor kesehatan dalam mengkonsumsi makanan dan kesehatan. Semoga terinspirasi!
Pemerintah hendaknya peduli pada pelestarian budaya kuliner Nusantara. Minimal membantu permodalan.
Wayang adalah simbol kepasrahan manusia kepada Tuhannya. Demikianlah para pedagang di jaman kuno berperilaku tawakal dalam hidupnya.
wisata kuliner di jombang memang maknyus.
Kreatif dan nyentrik. Good job!
Warga guwo harus baca tulisan ini.
Siap
Kuliner jombang makin beragam. Mati satu tumbuh seribu.
yang muda mana suaranya? kok nggak ada yang minat bisnis kuliner.
Makanan tradisional skrg sdh tergusur fast food macam fried chicken, burger, pizza dll. Pebisnis harus kreatif bikin inovasi supaya nggak kalah.
Skrg lagi ngetrend es kepal milo. Es dawet nggak laku.
Oh…. aku bayangin minum dawet sambil nonton wayang.
Apakah skrg warga Guwo msh produksi dawet wayang?