Hai blogger Jombang pembaca setia blog The Jombang Taste! Pernahkah Anda mengalami berkali-kali melakukan musyawarah desa tapi tidak menemukan solusi? Boleh jadi itu sebuah pertanda masyarakat tidak lagi memerlukan musyawarah. Beragam latar belakang dan kepentingan individu melahirkan perbedaan pemikiran. Tujuan musyawarah untuk mencari penyelesaian masalah hanya melahirkan masalah baru karena beragam kepentingan yang ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Karakter mencari masalah baru dalam forum musyawarah tercermin dari kegiatan yang saya ikuti beberapa tahun lalu. Saya masih ingat saat selepas sholat jamaah Jumat sekitar 20 orang mengadakan musyawarah di beranda masjid Baitussalam, Dusun Guwo, Desa Latsari, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Tujuan diadakannya musyawarah ini pada awalnya adalah untuk membahas persiapan Malam Takbir dan Hari Raya Idul Fitri yang sebentar lagi tiba.
Yang hadir dalam musyawarah tersebut adalah bapak-bapak pengurus masjid, perwakilan empat musholla yang ada di desa, serta beberapa jamaah lain. Saya ikut nimbrung dalam musyawarah tersebut karena saya lihat tidak ada satupun pemuda yang hadir. Walaupun saat itu saya tidak memiliki banyak ide untuk dibagi, minimal para sesepuh desa tahu masih ada anak muda yang tertarik meramaikan syiar Islam di masjid.
Terikat Kebiasaan Yang Sulit Diubah
Beberapa pembahasan penting dalam musyawarah tersebut antara lain takbir keliling desa. Kebiasaan yang terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya adalah mengadakan takbir keliling dengan melibatkan warga masyarakat Desa Guwo. Tahun ini direncanakan akan diadakan lomba takbir keliling yang menghadirkan perwakilan dari masjid dan empat musholla atau langgar yang ada di desa Latsari.
Selain perayaan takbir keliling menyambut Idul Fitri, salah satu peserta musyawarah mengusulkan agar pada khotbah Sholat Id nanti menghadirkan seorang ustadz atau kyai dari luar desa. Kebiasaan yang berlangsung selama ini berlaku adalah yang memberi khotbah terbatas kepada ‘stock dua orang ulama’ yang ada di desa. Dengan menghadirkan pembicara dari luar diharapkan masyarakat Desa Guwo mendapatkan penyegaran ilmu agama dan cara penyampaian yang tidak membosankan.
Nah, tantangannya disini adalah bagaimana cara mendapatkan seorang penceramah agama yang mumpuni sementara waktu pelaksanaan sholat Id sudah dekat. Kalau memang memiliki rencana mengundang pembicara dari luar, semestinya sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari lalu karena kalau sudah dekat begini para kyai sudah pada ‘dibooking’ masjid lain.
Dan bisa saya tebak akhir dari musyawarah ini tidak akan menghasilkan keputusan bulat diantara bapak-bapak yang hadir. Mengatasi sebuah permasalahan dengan menghadirkan masalah baru lagi. Itu yang saya lihat dari kegiatan diskusi desa ini. Setiap orang ingin suaranya didengar dan dilaksanakan pendapatnya sementara dalam hal prakteknya tidak semudah omongan. Para pelaksana di lapangan tentu sudah sangat paham beragam tantangan yang ada. Sayangnya, mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Biar waktu yang memberikan solusinya. Mari kita lihat.
Pejabat warisan ORBA saatnya lengser semua.