Pada saat dan waktu tertentu harapan dan cita-cita tentang kendali yang berlebihan berperan dalam menyebarnya wabah depresi. Mereka yang merasa memiliki kendali berada dalam kondisi psikologis lebih baik dibandingkan mereka yang tidak. Demikian dikatakan Barry Schwartz dalam buku The Paradox of Choice.
Untuk memahami hal ini, kita perlu membedakan apa yang baik untuk individu dan apa yang baik untuk masyarakat secara keseluruhan, antara psikologi dari otonomi pribadi dan ekologi dari otonomi pribadi. Kebebasan diri yang sepenuhnya bebas seringkali menumbuhkan masalah baru yang kompleks. Sebaliknya, dengan pengekangan yang terkendali, kita dapat hidup dengan lebih baik.
Dalam penelitian yang berfokus pada 20 negara berkembang di dunia Barat dan Jepang, Richard Eckersly memperhatikan bahwa faktor yang tampaknya berkorelasi erat dengan perbedaan tingkat bunuh diri remaja secara nasional adalah sikap masyarakat terhadap kebebasan dan kontrol pribadi. Negara-negara yang warga negaranya menilai tinggi terhadap kebebasan dan kontrol pribadi cenderung memiliki tingkat bunuh diri tertinggi.
Eckersly dengan tepat menunjukkan bahwa nilai yang sama ini menyebabkan individu-individu dari masyarakat tersebut berjuang dan menjadi sukses pada tingkatan yang luar biasa. Masalahnya adalah pada tingkat nasional atau ekologis, nilai yang sama ini memiliki efek yang menyebar luas dan mematikan. Mengapa mematikan? Karena setiap orang memiliki kebebasan diri yang sama.
Kita patut bersyukur karena hidup di Indonesia dimana kebebasan diri tidak sepenuhnya bebas. Kita masih memiliki aturan atau norma-norma dengan bentuknya yang beragam. Mulai dari norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, hingga norma hukum yang semuanya memiliki sanksi tertentu terhadap para pelanggarnya. Aturan-aturan hidup tersebut menghindarkan kita terhadap praktek kebebasan yang kebablasan.
Semoga artikel motivasi ini bisa menambah semangat hidup Anda hari ini. Enjoy blogging, enjoy writing!