Perlawanan Rakyat Indonesia dalam Menentang Kolonialisme Belanda

Perlawanan Rakyat Indonesia dalam Menentang Kolonialisme Belanda
Perlawanan Rakyat Indonesia dalam Menentang Kolonialisme Belanda

Halo kawan blogger Indonesia! Kita bertemu lagi dalam artikel The Jombang Taste yang mengulas sejarah kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Kali ini kita akan membahas perlawanan rakyat Aceh dalam usaha menentang kolonialisme yang dilakukan oleh Portugis dan Belanda di bumi Serambi Mekkah dan perlawanan rakyat Makasaar melawan Belanda.

Perlawanan Rakyat Aceh Menentang Kolonialisme Portugis dan Belanda

Aceh merupakan bandar strategis yang menjelma menjadi kerajaan dagang yang kuat pada jaman pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Pada pertengahan abad ke-16, Aceh menjadi ancaman kekuatan bagi Portugis yang menguasai Malaka. Itulah sebabnya Portugis selalu mengadakan blokade terhadap Aceh untuk mencegah hubungannya dengan bangsa luar.

Di lain pihak, Aceh mendapat bantuan dari Turki sebanyak lima ratus orang tentara pada tahun 1566. Selain itu, Aceh juga menerima bantuan dari Jepara sampai akhirnya Aceh berhasil mengimbangi kekuatan Portugis di Malaka. Keunggulan Aceh yang lain dibuktikan dalam perdagangan sampai ke Laut Merah sekalipun dalam pelayaran sering diganggu oleh Portugis.

Di bawah pimpinan Iskandar Muda, Aceh dapat memperluas wilayahnya hingga ke Sumatera Timur, Sumatera Barat, dan Semenanjung Melayu. Iskandar Muda sangat membatasi sikapnya terhadap pedagang-pedagang Barat, bahkan menolak untuk melakukan perdagangan bebas di pelabuhan-pelabugan Aceh. Perbedaan agama dan budaya tampaknya menjadi alasan utama mengapa Aceh menentang Portugis dan Belanda.

Setelah kalah menguasi wilayah Malaka pada tahun 1629, Iskandar Muda bersikap lunak memberikan ijin kepada Belanda untuk melakukan perdagangan di Aceh. Dengan masuknya pengaruh Belanda dalam perdagangan Aceh, Aceh mengalami kemunduran, terlebih setelah kekuasaan Iskandar Muda berakhir. Sejalan dengan kondisi tersebut, Portugis dan Belanda memperebutkan Malaka. Pada tahun 1641, Malaka dikuasai oleh Belanda.

Perlawanan Kerajaan Makassar dan Isi Perjanjian Bongaya

Apa kabar ghost writer dan penulis lepas di Indonesia? Pada artikel sebelumnya kita telah membahas perjuangan rakyat Maluku dan Aceh dalam usaha menentang kolonialisme Portugis di Nusantara, maka artikel sejarah dari The Jombang Taste ini akan mengulas perjuangan rakyat Makassar.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, banyak saudagar Islam yang mengalihkan jalur perdagangan mereka dari Malaka dan memilih berkunjung ke Bandar Makassar. Begitu juga ketika Malaka ditutup oleh Belanda pada tahun 1641, Makassar banyak dikunjungi oleh kapal dagang karena merupakan bandar bebas yang menggantikan kedudukan Malaka.

Selain itu, ekspansi Sultan Ageng Tirtayasa di Pantai Utara Laut Jawa membuat saudagar-saudagar Jawa pindah ke Makassar. Bandar Makassar dipandang VOC sebagai saingan berat dalam melakukan monopoli perdagangan mereka di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, VOC berusaha meruntuhkan kekuasaan dagang kerajaan Makassar.

Kerajaan di Makassar yang menentang Belanda adalah Kerajaan Goa sehingga tahun 1634 Belanda mengepung Bandar Goa tetapi gagal karena seluruh armada Makassar sudah menuju Ambon. Akhirnya masing-masing pihak saling menghindar dalam pelayaran dan tidak terjadi pertempuran.

Tetapi sekitar tahun 1638 permusuhan meletus karena adanya perampasan terhadap kapal Goa milik Belanda yang berisi kayu cendana. Keadaan ini tidak bisa diterima oleh Sultan Goa dan menuntut Belanda untuk membayar ganti rugi, namun permintaan itu ditolak oleh Belanda. Akibatnya, terjadi pertempuran yang melibatkan kedua belah pihak.

Isi Perjanjian Bongaya Antara Kerajaan Makassar dan Belanda

Peristiwa pertempuran antara Kerajaan Makassar dan Belanda terjadi dua kali. Pertama, pada tahun 1655 pada saat Makassar dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Saat itu perang diakhiri dengan perjanjian akan pengakuan atas hak-hak Belanda di Maluku sehingga Makassar tidak punya peluang untuk berdagang ke Maluku.

Kedua, pada tahun 1667 pertempuran terjadi di dua tempat, yaitu di Buton dan Makassar. Dalam perang ini, pihak Belanda dibantu oleh Aru Palaka, Raja Bugis dari Bone. Dalam pertempuran itu Sultan Hasanuddin kalah dengan diadakannya Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.

Isi Perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut:

  1. Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya atas Bugis, Bima, dan Sumbawa.
  2. Kapal-kapal Makassar tidak boleh berlayar ke Maluku.
  3. Bangsa-bangsa lain dilarang tinggal di Makassar.
  4. Hanya VOC yang boleh memasukkan barang-barang ke Makassar.
  5. Makassar harus membayar biaya perang dan menyerahkan 1000 budak belian.

Akibat kejatuhan Makassar maka benteng Indonesia bagian Timur roboh. Saingan VOC akhirnya lenyap dalam monopoli perdagangan di wilayah Maluku.