Kisah Kepahlawanan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan

Babad Tanah Surabaya dari Kisah Legenda Pertarungan Jaka Jumput Melawan Jaka Truna
Babad Tanah Surabaya dari Kisah Legenda Pertarungan Jaka Jumput Melawan Jaka Truna

Kehidupan Airlangga tidak berlangsung mudah. Pada hari pernikahannya, ia mengalami peristiwa Pralaya yang menewaskan ayah mertuanya, Raja Dharmawangsa. Selanjutnya, Airlangga melakukan pelarian diri bersama beberapa orang prajurit yang masih setia kepadanya.

“Di sana saja kita berteduh paman”, demikian kata Airlangga kepada Narotama sambil menuju ke sebuah gua di hutan Wanagiri.

“Baiklah, tuanku. Gua ini cocok sekali untuk tempat tinggal kita”, jawab Narotama.

“Memang, lihatlah di seberang sana itu. Banyak sekali daun-daunan yang dapat kita jadikan makanan. Dan tidak jauh pula dari sungai”, kata Airlangga selanjutnya.

Mereka berdua adalah Airlangga dan pembantunya yang setia bernama Narotama. Waktu itu mereka sangat letih. Sudah berhari-hari mereka berjalan. Mereka juga mendaki gunung dan menuruni lembah. Kadang-kadang bersembunyi, menyelusup ke dalam semak-semak untuk menghindari musuh.

Airlangga dan Narottama memang sedang dikejar-kejar sejak adanya peristiwa Pralaya di ibu kota Kerajaan Medang. Pada tahun 1007 ibu kota Medang dan Raja Dharmawangsa diserang pasukan Sriwijaya dan Wura-Wuri.

Banyak sekali perwira-perwira Dharmawangsa yang tewas. Dalam keadaan yang kacau balau itu, Airlangga dan Narotama berhasil meloloskan diri. Mereka dengan cepat menuju ke desa dan masuk ke dalam hutan. Siapakah Airlangga itu?

Profil Raja Airlangga

Airlangga adalah putera menantu raja Dharmawangsa. Airlangga berasal dari Bali. Ayahnya merupakan seorang raja di Bali. Sejak kecil ia berdiam di istana Dharmawangsa. Kemudian ia menikah dengan puteri Darmawangsa. Waktu itu Airlangga masih seorang pemuda. Badannya tidak terhitung tinggi. Hanya sedang saja, tetapi kekar dan kuat.

Raut muka Airlangga halus dan lonjong. Matanya tajarn dan dalam. Dagunya agak menonjol ke depan. Kesemuanya itu menggambarkan adanya jiwa yang halus, lemah lembut, bijaksana, namun keras hati dan tegas pada diri Airlangga.

Lebih dari 3 tahun Airlangga dan para pengikutnya terpaksa bersembunyi. Mereka bertapa di gua di daerah pegunungan. Selama itu mereka hidup sederhana dan menderita. Mereka hanya makan daun-daun yang dapat ditemui di sekitar gua. Mereka juga berpakaian sekedarnya sebagai penahan hawa dingin saja. Tetapi semangat mereka tidak luntur.

Masa pertapaan itu ada pula akhirnya. Datanglah wakil-wakil rakyat yang masih setia pada Dharmawangsa dan Airlangga. Pada tahun 1010, mereka melaporkan menemui Airlangga. Pasukan-pasukan Sriwijaya dan Wura-Wuri telah lama pergi. Tetapi keamanan di dalam negeri belum terjamin. Masing-masing bupati merasa sebagai raja. Yang seorang tidak mau kalah dari yang lain.

Airlangga Kembali Memimpin

Suasana menjadi kacau. Rakyat cemas dan gelisah. Orang-orang jahat berpesta-pora kegirangan. Sebaliknya orang alim dan rakyat sederhana merasa tidak tentram. Mereka selalu tertekan. Mereka mengharap datangnya seorang pemimpin yang kuat.

“Dan pemimpin yang kuat itu adalah tuanku sendiri, Airlangga, putera menantu almarhum raja Dharmawangsa”, kata utusan-utusan itu hampir serentak.

Airlangga tidak dapat menolak tuntutan rakyat. Airlangga dinobatkan sebagai raja. Tugasnya sama sekali tidak ringan. Wakil-wakil rakyat tadi memang berkata benar.

Negara sudah kacau balau. Persatuan sudah pecah-pecah. Tiap-tiap kabupaten merasa sebagai negara penuh yang berdaulat. Pemerintah pusat tidak mempunyai wibawa.

Airlangga mengerti benar keadaan yang tidak baik ini. Ia bekerja setapak demi setapak. Mula-mula diperbaikinya dulu keraton Wuatan Mas. Keraton itu sudah rusak.

“Keraton adalah lambang kewibawaan”, demikian kata Airlangga.

Kemudian ia panggil bupati-bupati, patih-patih dan wedana-wedana serta pegawai-pegawai tinggi yang masih setia kepadanya. Mereka itu bersama-sama membangun negara yang sudah porak-poranda.

Airlangga membangun angkatan perang. Apabila persiapan sudah matang, mulailah Airlangga melakukan gerakan-gerakannya. Bupati-bupati yang bersedia bekerja sama, ia terima dengan tangan terbuka.

Tetapi terhadap bupati-bupati yang membandel, tidak ada jalan lain, kecuali digunakan kekerasan. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Airlangga lebih suka menggunakan cara-cara lemah lembut, tanpa kekerasan.

Maka satu per satu bupati-bupati yang menentang, seorang demi seorang patuh pada Airlangga. Tinggal lagi seorang lawan yang amat berat dan tidak bersedia patuh pada Airlangga, yaitu raja Wengker. Raja ini tetap keras kepala. Ia tidak mau tunduk kepada Airlangga.

Pertempuran Melawan Wengker

Berkali-kali Airlangga mengirim utusan untuk bermusyawarah. Jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Diingatkan raja Wengker, bahwa di- jaman lampau, kerajaanpun bersatu. Raja Sanjaya, Balitung, Wawa, Empu Sindok, dan Dharmawangsa juga memimpin negara yang utuh. Mengapa raja Wengker mau menodai apa yang sudah diamanatkan para leluhur itu?

Raja Wengker tetap pada pendiriannya. Ia mau berkuasa sendiri saja. Kesabaran Airlangga ada batas-batasnya. Sesudah usaha-usaha damai tidak berhasil, terpaksalah digunakan kekerasan. Kedua pasukan itu saling berperang. Sesudah itu barulah raja dan musuh terberatnya menyerah.

Raja Wengker mengaku kalah dan menggabungkan diri di bawah panji-panji kerajaan Airlangga. Ini adalah pertempuran yang terakhir. Pada tahun 1035 negara sudah bersatu kembali. Wilayah kekuasaan Airlangga terbentang luas dari sungai Pemali hingga Blambangan. Airlangga adalah seorang raja yang bijaksana.

“Rakyat sudah cukup lama menderita,” Airlangga berkata dalam sidang Dewan Menteri.

“Bayangkanlah sejak tahun 1007, bahkan lama sebelumnya, negara selalu ditimpa kemalangan. Hampir setengah abad negara ini terlibat dalam peperangan-peperangan, baik besar maupun kecil. Sudah datang masanya untuk damai. Tombak, keris dan pedang hendaknya disimpan dan diganti dengan cangkul, bajak dan pahat. Pembangun-pangannya perlu kita utamakan agar tercipta kemakmuran rakyat,” lanjut Raja Airlangga.

Sejak saat itu Airlangga tidak berperang lagi. Airlangga memilih bersahabat daripada berperang. Hubungannya dengan Sriwijaya lalu diperbaiki. Kini tidak ada peperangan lagi antara kedua negara itu. Pembagian kekuasaan diatur dengan baik-baik.

Angkatan laut Sriwijaya bergerak di perairan sebelah barat. Sebaliknya armada Airlangga menguasai lautan-lautan Indonesia sebelah Timur. Juga dengan Kerajan Kamboja, Airlangga bersahabat erat. Sesudah itu pembangunan dapat dimulai.

Airlangga Membangun Kerajaan

Usai melakukan peperangan panjang, Airlangga mulai menata kembali kesejahteraan rakyatnya. Mula-mula pusat keraton dipindahkan ke Kahuripan pada tahun 1037. Kerajaan Airlangga adalah negara pertanian. Kemakmuran rakyat tergantung pada hasil padi di sawah-sawah. Dan air sangat penting untuk sawah-sawah.

Sebagaimana Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara, Airlanggapun banyak menggali bendungan-bendungan dan terusan-terusan. Airlangga juga membangun tanggul-tanggul. Dengan begitu, banjir dari sungai Brantas dapat dihindari.

Sawah-sawah mendapat air yang cukup selama musim kemarau. Kemakmuran rakyat dapat ditingkatkan. Airlangga adalah raja yang berhasil menguasai air. Ia memakainya untuk kepentingan rakyat.

Hasil bumi negara tidak dipakai sendiri oleh Airlangga. Sebaliknya, hasil bumi tersebut dijual ke luar kerajaan. Misalnya beras, dibawa ke Indonesia bagian Timur. Airlangga membangun pelabuhan-pelabuhan pendukung perdagangan, misalnya pelabuhan Ujung Galuh dan Pelabuhan Tuban.

Airlangga tidak selamanya menjadi raja. Airlangga ingin kembali menjadi pertapa. Pada tahun 1042, Airlangga turun dari takhta. Ia pergi ke Gunung Penanggungan. Ia bertapa dan mendalami agama Wisnu. Kerajaan diserahkan kepada kedua puteranya. Negara terpaksa dibagi dua, yaitu Penjalu atau Daha Kediri di sebelah Barat dan Jenggala di sebelah Timur.

Daftar Pustaka:

Kutojo, Sutrisno. 1982. Pejuang Bangsa. Jakarta: Penerbit Miswar.


Comments

5 tanggapan untuk “Kisah Kepahlawanan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan”

  1. […] diutus raja kami, Kubilai Khan, untuk menyampaikan amanat pada Paduka, bahwa Kerajaan Singosari ini termasuk daerah-daerah bayangan negeri Cina dan hendaknya membayar upeti kepada raja […]

  2. […] pecah pemberontakan-pemberontakan. Untung benar, dapat dipatahkan semua. Meskipun demikian suasana Kerajaan Majapahit belum aman. Bahaya masih […]

  3. kejayaan nusantara pasti bisa kembali diraih. semangat!

  4. Avatar Blogger Mojokerto
    Blogger Mojokerto

    Aku senang ada anak muda yg mau mengulas sejarah negerinya.

  5. Avatar Gumira
    Gumira

    Di manakah letak makam Raja Airlangga?
    Benarkah pusat Kerajaan Majapahit berada di Kedaton?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *