Demi BEM, Kutinggalkan Zona Nyaman

Pilih Kuliah Atau Kerja
Pilih Kuliah Atau Kerja

Kadang aku takut berterus terang kepada semua orang. Aku tahu mereka tidak sepakat mendukungku. Mungkin ada satu dua orang yang bersikap sinis pada pilihan hidupku. Aku sadari itu. Kurang lebih setahun sudah ku pendam rahasia ini. Akhirnya hari ini aku ingin berkata apa adanya. Berawal dari ajang Pemilihan Raya 2015. Aku masih ingat waktu itu tanggal 9 April 2015 fotoku terpasang sebagai salah satu kandidat Gubernur BEM Fakultas Ekonomi UNHASY Tebuireng. Dan tanpa diduga, aku terpilih dan dilantik untuk jabatan tersebut.

Segera, 11 April 2015 aku mengajukan pengunduran diri dari tempatku bekerja. Aku memegang ucapan Pak Dekan FE tempo hari. Jika ingin sukses, maka kamu harus memilih salah satu: kuliah atau kerja. Dan pilihanku adalah kuliah plus membangun BEM FE. Itu adalah pilihan konyol bagi banyak pihak. Waktu itu aku menjabat sebagai Staf Keuangan di salah satu lembaga keuangan Islami. Aku dianggap staf potensial. Aku bahkan ditawari promosi jabatan ke kantor Pusat. Semua itu kutinggalkan begitu saja. Sontak saja, pengunduran diriku menuai banyak protes dari kawan-kawan sekantor. Namun aku tak bergeming.

Maka dimulailah perjuanganku dalam organisasi BEM. Aku menjalaninya dengan tidak mudah, bahkan sangat sulit. Terutama saat harus tetap aktif kuliah dengan sumber pendanaan pribadi, sementara penghasilan sudah berhenti. Aku berusaha komitmen pada pilihan. Orang-orang besar selalu mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Dan masalah terbesar adalah dana, baik di organisasi maupun pribadi. Dengan pendanaan nol rupiah, aku memiliki tanggung jawab membesarkan BEM FE. Ini memaksaku melibatkan seratus persen kemampuan manajerial yang kumiliki.

Aku tak patah semangat. Kumanfaatkan setiap jaringan kerja yang pernah ku punyai. Ini adalah perjudian tingkat wahid. Aku tidak punya modal apa-apa selain semangat. Begitu pula BEM FE. Tak ada satupun nilai jual yang layak ditawarkan kepada calon mitra kerja organisasi. Dengan bermodal muka tembok, aku mulai melakukan pendekatan terhadap sosok-sosok kunci dibalik pemegang kekuasaan perusahaan. Hanya kepercayaan dan nama besar masa lalu yang membuat mereka mau menoleh padaku. Lantas aku bersyukur bahwa fakta telah menunjukkan ada banyak event terlaksana di bawah komando BEM FE dalam waktu satu semester.

Aku tidak pernah merencanakan mengadakan Smart Camp, menggelar pemilihan umum Ketua Senat Kampus, penanaman seratus bibit kakao, memboyong dua bus mahasiswa ke Kampung Coklat, bahkan menghadirkan ribuan masyarakat ke Tebuireng. Namun semua itu sudah terwujud dalam enam bulan pertama komandoku. Tidak ada ucapan syukur selain alhamdulillah. Toh, semua kesuksesan itu kuberikan sebagai pembelajaran kepada adik-adik tingkatku. Ya, aku selalu berupaya melibatkan mereka dalam berbagai event. Bagiku tak masalah kelompok tua tidak ikut serta, asal para pemula memiliki andil dalam beragam acara yang terlaksana.

Sudah tidak terhitung berapa kali aku harus membuang kesempatan berharga mendapatkan penghasilan tambahan. Ketika ada job review sejumlah produk aku harus melewatkannya karena terlalu asyik dalam mempersiapkan event BEM. Awalnya aku menganggap kelalaian cari uang itu sebagai bagian dari proses adaptasi tingkah laku. Namun lama-lama hal itu telah menjadi rutinitas. Praktis, sejak memegang kendali BEM penghasilanku berhenti di titik terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan aku tidak sempat bergabung dalam sejumlah event outbound training karena ada rapat mendadak atas ajakan panitia pelaksana.

Aku selalu punya pilihan untuk mengabaikan ajakan rapat para bawahan. Bisa saja ku katakan aku sedang ada pekerjaan di luar kota. Tapi aku tidak sampai hati meninggalkan mereka. Bukankah aku sendiri yang menyatakan kesediaan diri untuk dilantik menjadi Gubernur BEM FE. Maka sudah menjadi tanggungjawabku untuk menceburkan diri dalamnya walau dengan menanggung segala resiko. Masa jabatanku tinggal tiga bulan lagi. Sejujurnya, aku tidak tahu mau ku bawa BEM FE ke arah mana lagi. Hampir semua jenis kegiatan sudah kulaksanakan. Dan hampir semua kesempatan bernilai uang tinggi ku lewatkan demi mereka.

Sisa tiga bulan yang penuh tanda tanya bagiku. Bisa saja BEM FE kujadikan vakum seperti BEM tetangga. Tidak ada hukuman maupun sangsi apapun yang akan kuterima. Bukankah satu semester kemarin aku sudah mengorbankan semua kesenangan finansial untuk BEM. Berorganisasi memang penting. Namun menyiapkan bekal kuliah juga lebih penting. Semua orang memang mengharapkan terciptanya kondisi ideal dalam hidup mereka. Tapi saat keadaan sungguh sanggat tidak mendukung, apakah lantas kita masih berpatokan pada kesempurnaan yang diimpikan. Tidak. Lupakan idealisme. Lihatlah kenyataan dengan mata terbuka.

Lamunanku dikejutkan oleh sebuah pesan dari Grup WhatsApp Bani Karso. Pesan itu sangat sederhana, tapi sangat menantangku dalam berpikir dan berolah mental. “Jangan terlalu memaksakan diri meminta sesuatu, meskipun itu adalah hakmu. Jadikanlah dirimu sebagai orang yang suka berbagi, maka tanpa diminta pun Tuhan akan memberi yang kau butuhkan.” Jleb! Sekali lagi lamunanku berlangsung lebih lama dari yang pertama.


Comments

2 tanggapan untuk “Demi BEM, Kutinggalkan Zona Nyaman”

  1. Pengorbanan mas Agus tdk akan sia-sia. Allah akan mencatat setiap amal baik, meski sebesar biji sekalipun.

  2. Semoga sukses mas. Sungguh mulia hatimu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *