Prosesi Upacara Adat Tingkepan Untuk Wanita Hamil Tujuh Bulan di Jawa Timur

Tradisi Jawa Menghitung Hari Baik Berdasarkan Weton Seseorang
Tradisi Jawa Menghitung Hari Baik Berdasarkan Weton Seseorang

Upacara adat tingkepan juga disebut sebagai upacara adat mitoni. Kegiatan ini merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa di Pulau Jawa. Upacara adat tingkepan adalah upacara menyambut kelahiran bayi dari dalam kandungan seorang wanita yang sedang hamil untuk pertama kali. Upacara adat mitoni ini dilaksanakan pada saat janin berusia 7 bulan dalam perut ibu dan pada kehamilan pertama. Kehamilan kedua, ketiga dan seterusnya tidak perlu diadakan tingkepan, tapi cukup bancakan biasa. Acara tingkepan kerap menghasilkan keramaian massa. Ada kalanya keluarga yang mempunyai hajat tingkepan nanggap hiburan rakyat, misalnya kuda lumping, patrol modern maupun pagelaran wayang kulit. Bentuk woro-woro tingkepan yang umum berlaku di masyarakat desa adalah dengan mengundang pengajian dan khotmil Quran.

Dalam pelaksanaan upacara adat tingkepan wanita yang sedang hamil 7 bulan dimandikan dengan air kembang setaman oleh para sesepuh. Sebelum acara siraman, pihak keluarga besar wanita hamil mengadakan doa bersama menurut agama yang dianutnya. Bagi pemeluk agama Islam biasanya mereka mengadakan khotmil quran, istighotsah maupun tahlilan secara berjamaah atau bersama-sama. Kegiatan doa bersama pada umumnya dipimpin oleh tokoh agama di desa setempat. Bagi keluarga yang masih memegang teguh tradisi Jawa, prosesi tingkepan akan melibatkan dukun desa yang bisa ngujubno tingkepan dengan kata-kata berbahasa Jawa.

Siraman

Wanita hamil berganti-ganti mengenakan pakaian kain batik aneka motif pada waktu siraman. Pergantian kain batik mulai dari kain samping, kain sarung, dan kain-kain batik lainnya sampai dengan 7 kali. Menurut Yodi Kurniadi (2017), prosesi siraman upacara adat tingkepan diakhiri dengan kain bermotif Sido Mukti, Sido Mulyo dan Sido Asih. Makna simbolis pemakaian sejumlah motif kain batik ini dengan maksud agar anak yang dilahirkan kelak menjadi manusia yang bahagia hidup di dunia dan akhirat.

Siraman pada upacara adat tingkeban dilakukan oleh tujuh orang wanita dari garis keluarga ayah dan ibu. Mereka adalah para ibu yang jumlahnya tujuh orang dan terdiri dari sesepuh terdekat, yaitu ibu kandung, ibu mertua, nenek, kakak perempuan ayah, kakak perempuan ibu, dan wanita lain yang masih termasuk keluarga dekat. Hal ini mempunyai makna mohon doa restu supaya bayi bisa lahir dengan selamat. Setelah upacara siraman selesai maka air kendi yang diambil dari tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka. Kendi harus dipecah setelah air dalam Kendi tersebut habis digunakan.

Langkah kedua dalam upacara adat tingkeban adalah memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh suami melalui perut sampai telur itu pecah. Hal ini menimbulkan harapan supaya bayi lahir dengan lancar tanpa suatu halangan dan hambatan. Prosesi ini berlangsung dalam ruangan tertutup dan hanya boleh disaksikan oleh anggota kerabat dekat saja.

5 Tahap Dan Cara Membuat Batik Tulis Dengan Mudah
5 Tahap Dan Cara Membuat Batik Tulis Dengan Mudah

Berganti Kain

Selanjutnya wanita hamil berganti kain menyamping sebanyak 7 kain secara bergantian disertai kain putih. Kain-kain tersebut diganti dan dipakai secara bergantian oleh wanita yang sedang hamil. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama yang melambangkan bahwa bayi yang akan dilahirkan adalah suci dan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

“Sudah pantas atau belum?” Pemakaian kain pertama ini diiringi dengan pertanyaan sudah pantas atau belum sampai ganti 6 kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir. “Belum pantas!” Mereka menjawab belum pantas sampai yang terakhir ke tujuh kali wanita hamil berganti dengan kain sederhana dijawab pantas.

Kain samping yang dipakaikan kepada wanita hamil secara urut dan bergantian berjumlah tujuh buah dan diakhiri dengan motif yang paling sederhana. Kain batik tersebut memiliki berbagai macam motif batik, yaitu batik Wahyu Tumurun, batik Sidomukti, batik Truntum, batik Sidoluhur, batik Parangkusumo, batik Udan Riris, batik cakar ayam, batik grompol, batik Lasem dan batik dringin. Masing-masing kain batik memiliki lambang dan simbol yang berbeda-beda.

Kain Mori

Sebelum berganti-ganti memakai samping kain, seorang calon ibu harus memakai Mori sebagai busana dasar. Hal ini dimaksudkan agar segala perilaku calon ibu senantiasa dilambari dengan hati yang bersih. Jika suatu saat keluarga tersebut bahagia dan sejahtera dengan berbagai fasilitas dan kekayaan atau memiliki kedudukan maka hatinya tetap bersih dan tidak sombong atau congkak serta senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kain mori ini akan mengingatkan setiap manusia bahwa mereka semua pasti akan menemui kematian.

Janur Kuning

Langkah selanjutnya dalam upacara adat tingkeban adalah dilakukannya pemutusan Lawe atau janur kuning. Lawe tersebut dilingkarkan di perut calon ibu oleh calon Ayah dan dipotong dengan menggunakan keris brojol yang ujungnya diberi rempah kunyit. Hal ini dimaksudkan agar bayi cepat lahir dengan mudah dari dalam kandungan. Keris merupakan simbol keperkasaan seorang pria dalam adat Jawa. Keris brojol digunakan untuk memutuskan janur kuning yang dilingkarkan di perut calon ibu.

Kelapa Gading

Pada rangkaian upacara tingkeban berikutnya calon nenek dari pihak calon ibu menggendong Kelapa Gading dengan ditemani oleh ibu besan. Kelapa gading adalah jenis buah kelapa yang kulitnya berwarna kuning bersih dan siap digambari karakter wayang. Sebelumnya Kelapa Gading diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu lewat perut terus ke bawah. Kemudian kelapa itu diterima atau ditampani oleh calon nenek. Hal ini bermakna agar bayi dapat lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Lalu calon Ayah memecah kelapa dengan memilih salah satu Kelapa Gading yang sudah digambari pasangan tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih. Tokoh wayang yang dipilih bisa juga pasangan Arjuna dan Sembadra atau Srikandi.

Takir Nasi

Upacara memilih nasi kuning yang diletakkan di dalam takir merupakan lanjutan rangkaian acara upacara adat tingkeban oleh masyarakat Jawa. Takir adalah tempat makan dari daun pisang yang sebagian daunnya ditusuk dengan lidi pada kedua sisinya sehingga berbentuk kotak. Kata takir diambil dari istilah dzikir dalam agama Islam. Dzikir adalah ibadah sunnah dengan cara membaca kalimat-kalimat toyyibah untuk mengingat keberadaan Allah SWT. Suami atau calon bapak dari bayi memilih nasi kuning tersebut.

Sadean Dawet

Setelah itu prosesi tingkepan dilanjutkan dengan upacara sadean atau jualan dawet dan rujak. Dawet adalah minuman tradisional Jawa yang berbahan tepung sagu atau tepung beras dan berkuah santan kental dan gula aren. Pembayaran jual-beli dawet dilakukan dengan pecahan Genting atau kreweng yang dibentuk bulat seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan dawet dan rujak ini dikumpulkan dalam kuali yang terbuat dari tanah liat. Kuali tersebut berisi uang kreweng lalu dipecah di depan pintu. Hal ini bermakna agar anak yang kelak dilahirkan mendapatkan rizki yang banyak dan dapat menghidupi keluarganya serta banyak amalnya.

Kuliner Jawa

Acara selanjutnya dalam prosesi tingkep adalah menghidangkan makanan atau kuliner khas jawa untuk tamu yang hadir pada upacara tingkeban. Hidangan diberikan kepada para tamu sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Makanan khas Jawa disediakan dalam upacara tingkeban dengan tujuan memuliakan tamu. Ragam makanan tersebut antara lain tujuh macam bubur termasuk bubur procot, makanan tumpeng dengan menu utama ayam ingkung, buah-buahan segar, jajan pasar, rujak buah-buahan, umbi-umbian pala pendem dan sajen medikingan.

Demikian prosesi tradisi tingkepan dalam upacara adat Jawa. Tradisi ini masih dilaksanakan oleh warga muslim di Kabupaten Jombang dengan tingkat kepatuhan yang berbeda-beda. Artinya tidak semua keluarga muslim Jawa melaksanakan keseluruhan prosesi adat tingkepan di atas. Alasan yang umum digunakan untuk mengurangi satu atau dua bagian upacara adat adalah karena keterbatasan sumber daya. Selain itu, waktu yang relatif lama pun menjadikan upacara adat ini acukup menyita kesibukan keluarga besar.

Bagaimana pelaksanaan tradisi upacara hamil tujuh bulan di tempat tinggal Anda? Apakah ada upacara sejenis tingkepan juga disana?


Comments

11 tanggapan untuk “Prosesi Upacara Adat Tingkepan Untuk Wanita Hamil Tujuh Bulan di Jawa Timur”

  1. Wah… ribet juga ya klo hrs dijalani semua prosesi tingkepan. Bisa diringkas nggak mas?

  2. Avatar Deni_4119
    Deni_4119

    Wah… Ini kebiasaan makan tin dulu,senengane ngujubno kyak gini

  3. Avatar Md Johadi
    Md Johadi

    Tradisi ini hrs dilestarikan supaya tdk punah.

  4. Kereen cak…. aku dukung penuh

  5. Makan gratis itu kesukaan setiap orang. Wik wik wik…

  6. ada Jawa sekarang mulai ditinggalkan oleh penduduk asli Jawa situ sendiri karena mereka berpikir adat Jawa sudah ketinggalan zaman dan tidak kekinian

  7. Satu kata: RIBET.

  8. Adat jawa rempong yee…

  9. Avatar Samantha
    Samantha

    Gpp ribet. Asal dpt makan gretongan bo…

  10. […] memiliki beragam adat-istiadat unik yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Upacara adat umumnya dilakukan warga untuk menghormati para leluhur. Upacara Resik Lawon merupakan ritual yang […]

  11. […] kerabatnya mulai bergiliran mengguyur hingga air di dalam wadah air itu habis. Demikian jalannya upacara adat untuk wanita hamil di Madura. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan Anda. Mari lestarikan ragam budaya […]

Tinggalkan Balasan ke Aisyah Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *