Ushul Fiqh: Tuntutan Nahi dan Hakikat Larangan

Blue Islamic background image for designer

Nahi itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang didahului oleh kata larangan, yaitu: la taf’al atau yang sewazan (setimbang) dengan kata itu. Dalam Al-Qur’an, nahi yang menggunakan kata larang mengandung beberapa maksud.

Beberapa maksud tersebut adalah untuk hukum haram, untuk makruh, untuk mendidik, untuk berdoa, untuk merendahkan, untuk penjelasan akibat, dan untuk keputusasaan.

Memang dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadi perhincangan di kalangan ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkernbang dalam hal ini sama dengan pendapat yang berkembang dalam membicarakan hakikat amar.

Jumhur ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat asalnya adalah untuk wujub, berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer: Asal dari larangan adalah untuk hukum haram.

Dari kelompok ulama Mu’tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunah), berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (rnakruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri, tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *