Kuliner khas Jawa nasi kuning dan ayam bumbu Bali
Kuliner khas Jawa nasi kuning dan ayam bumbu Bali

Tradisi satu suro di Gunung Kawi memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Menurut cerita rakyat, tradisi ini bermula dari peristiwa pertempuran antara pasukan Majapahit dan pasukan Demak pada abad ke-15. Pasukan Demak dipimpin oleh Raden Patah, putra dari Raja Majapahit, Brawijaya V. Raden Patah ingin merebut tahta dari ayahnya yang dianggap telah murtad karena memeluk agama Islam. Pertempuran berlangsung sengit dan berdarah-darah.

Akhirnya, Raden Patah berhasil mengalahkan pasukan Majapahit dan membunuh ayahnya sendiri. Namun, sebelum meninggal, Brawijaya V mengucapkan kata-kata terakhir yang berbunyi “sabda ing bumi, suro diwiryo”. Artinya, perintah di bumi adalah satu suro (tanggal 1 Muharram). Kata-kata ini kemudian menjadi dasar bagi masyarakat sekitar Gunung Kawi untuk melakukan tradisi satu suro setiap tahunnya. Mereka percaya bahwa dengan melakukan tradisi ini, mereka akan mendapatkan perlindungan dan keberkahan dari leluhur dan Tuhan.

Tradisi satu suro diawali dengan ziarah ke makam-makam keramat yang ada di Gunung Kawi, seperti makam Eyang Jugo, Eyang Sapu Jagad, dan Eyang Surowiyoto. Selain itu, masyarakat juga melakukan ritual bersih desa, tahlilan, doa bersama, dan sedekah bumi. Tradisi ini diharapkan dapat menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Tradisi satu suro juga menjadi salah satu daya tarik wisata bagi para pengunjung yang ingin mengetahui lebih dalam tentang budaya dan sejarah Gunung Kawi.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *