Asal-usul Naga Baru Kelinting, Legenda Manusia Ular dari Gunung Merbabu Penyebab Munculnya Telaga Rawa Pening

Hikayat Raja Arief Imam by Hidayat Said - Gambar ilustrasi orang tua menasehati cucunya agar selalu berhati-hati dalam melangkah
Hikayat Raja Arief Imam by Hidayat Said – Gambar ilustrasi orang tua menasehati cucunya agar selalu berhati-hati dalam melangkah

Pada artikel The Jombang Taste sebelumnya telah penulis bagikan kisah legenda percintaan Putri Dyah Kasmala dan Ajar Windusana yang berjalan tidak mudah. Meski kehidupan asmara mereka berdua banyak menemui halangan, mereka senantiasa berkasih-kasihan satu sama lain. Melalui artikel The Jombang Taste kali ini penulis akan membagikan asal-usul kelahiran Naga Baru Kelinting, buah hati mereka berdua yang bernasib malang karena terlahir berupa ular.

Diceritakan dalam kisah Babad Tanah Jawa bahwa setelah beberapa bulan menikah, Putri Dyah Kasmala pun mengandung. Ajar Windusana bahagia karena istrinya akan melahirkan anak yang menjadi penerus keluarganya. Ia makin mencintai istrinya selama masa kehamilan. Tatkala di desa diadakan acara bersih desa para dayang dan endang sibuk menggoreng dan memasak. Sang Putri sangat tertarik ingin turut membantunya.

Putri Dyah Kasmala mengetahui bahwa suaminya mempunyai sebilah pisau kecil. Tetapi ia tidak mengerti darimana asalnya. Ia mengambil pisau itu untuk digunakan membantu memasak di dapur. Pisau itu disarungkan ke dalam buluh gading yang dibentuk sebagai kepala ular dan dijadikan kenang-kenangan waktu istrinya belum disusulkannya. Demikian cerita rakyat Jawa Tengah menyebut asal-usul keris pusaka itu.

Sang Putri meminjam pisau itu dari suaminya. Tetapi dipesankan jangan sampai pisau itu disimpan di dekat perutnya. Sang Putri senang sekali melihat pisau itu, lalu dipergunakan membuat takir, tempat makanan dari daun pisang. Setelah memakainya, pisau itu diselipkan ke dalam kemben yang ia pakai. Ternya ia lupa akan pesan suaminya agar tidak menyelipkan pisau itu ke pakaiannya.

Waktu ia teringat hal itu dengan segera pisau diambilnya, tetapi anehnya buluh gadingnya musnah, tinggallah pisau saja. Dengan segera ia memberitahukan hal itu kepada suaminya, yang sangat terperanjat. Ia baru menyadari bahwa keris pusaka itu bukan keris sembarangan. Jika dipakai oleh seorang wanita, maka kerangka keris itu akan ikut masuk ke dalam kandungan wanita yang memakainya dan menyebabkan hamil. Ajar Windusana mengerti kehendak Sang Dewata. Ia pasrah terhadap apapun keadaan yang nanti akan terjadi kepada keluarganya.

Kelahiran Naga Baru Kelinting

Ketika tiba waktunya, Sang Putri melahirkan bayi berupa ular dengan sirip Pancawarna. Sang ibu sangat terkejut hingga menemui ajalnya pada saat itu juga. Sang Resi sangat iba hatinya, bercampur dengan rasa rindu dan takut, dengan segera mengirimkan utusan ke Keraton menyampaikan berita duka ini kepada Sang Raja. Jenazah Sang Putri lalu disucikan dan dinaikkan ke dalam pancaka, tempat pembakaran mayat. Puji asmaralaya disertai pembakaran kemenyan menghantarkan sukma Sang Putri ke alam baka di Hariloka.

Setelah upacara pemakaman, Sang Resi teringat akan putranya yang menambah kesusahannya, sebab ia merasa sangat malu. Cerita rakyat Jawa Tengah ini menyebutka bahwa Sang ular kemudian dibuang ayahnya ke dalam samudra supaya menemukan ajalnya di sana. Namun karena kehendak Sang Dewata, Sang Ular makin bertambah besar seolah-olah dimandikan dengan air gege. Sebentar saja ia telah menjadi besar sekali.

Ajar Windusana kemudian mengeluarkan kesaktiannya untuk mengirim anaknya yang berbentuk ular ke samudra. Tiba-tiba datang lahar besar memenuhi jurang yang sangat dalam. Gunung bergerak seperti gempa, banyak pohon-pohon yang tumbang akarnya, lumpur panas berhamburan, alun ombak menderu-deru, berbarengan dengan gempa bumi, terpengaruh oleh kekuatan keturunan Sang Pertapa.

Air embun disertai hujan rintik pohon-pohon bergemuruh suaranya terserang oleh prahara, hingga suramlah sinar sang Surya dikalahkan oleh hujan pagi yang merata meliputi gunung besar itu. Sang Taksaka atau manusia ular itu hanyut mengikuti aliran air bah. Demikianlah Ajar Windusana menggunakan kesaktiannya untuk menghanyutkan anaknya bersama aliran bah menuju samudra luas.

Di tempat yang dalam, anak berbentuk ular itu bertemu dengan Dewi Angin-angin di tengah samudra. Ia menanyakan kepada Sang Dewi, siapakah ayah bundanya. Sang Dewi menjawab bahwa ayahnya bernama Ajar Windusana, seorang maharesi yang memiliki kesaktian tinggi. Adapun ibunya ialah Dewi Kasmala, putri Maharaja Brawijaya. Ibunya telah meninggal, ketika melahirkan dia.

Sang Taksaka sangat berdukacita, mendengar hal riwayat hidupnya. Ia lalu mendarat dari samudra menurut aliran air menuju ke gunung Merbabu. Di sana ia bertemu dengan resi Windusana dan menanyakan tentang ayahnya. Sang Resi sangat terkejut mendengair pertanyaan seperti di atas. Ia segera mengerti, bahwa ular itu putranya sendiri yang dilarung atau dibuang di laut.

Legenda Ki Ageng Sela Tokoh Sakti Sang Penangkap Petir dari Jawa Tengah
Legenda Ki Ageng Sela Tokoh Sakti Sang Penangkap Petir dari Jawa Tengah

Naga Baru Kelinting Bertapa

Dewata telah menakdirkan Ajar Windusana bertemu kembali dengan anaknya yang berwujud ular. Sang Taksaka atau manusia ular itu diakui sebagai anaknya yang diberi nama Naga Baru Kelinting. Sang Resi merasa malu mempunyai anak berupa ular, maka dari itu diperintahkannya untuk bertapa di tepi samudra. Perintah Sang Resi diturutnya hingga setahun lamanya. Naga Baru Kelinting bertapa mematikan raga, ia lalu masuk ke dalam rawa, kemudian berpindah tempat, tak jauh dari rawa itu.

Bertahun-tahun Naga Baru Kelinting tinggal di sana hingga ia merasa kerasan. Badannya bertimbun oleh tanah dan lumut-lumut, hingga tak tampak rupanya. Di desa tersebut terdapat sekumpulan penduduk yang mempunyai pekerjaan berburu. Semua orang sibuk berburu hewan di hutan. Tetapi sehari suntuk mereka tak mendapatkan seekor binatang pun. Ada seorang yang berhenti, duduk pada punggung Naga Baru kelinting, dikiranya sebatang pohon. Waktu diparangnya, keluarlah darah.

Orang itu sangat terkejut, disangkanya itu seekor uling, belut besar. Hal itu diberitahukannya kepada kawan-kawannya, yang segera datang bersama-sama menyerang dengan senjata tajam. Naga Baru Kelinting telah dipotong-potong dan dibagi merata. Ada yang memikul dan mengangkutnya dengan bersenang-senang. Penduduk desa merasa senang karena mendapat binatang hasil buruan yang sangat besar. Daging binatang hasil perburuan itu dibagi kepada penduduk dan dimasak untuk diadakan pesta bersama.

Ketika sang Wiku Ajar Windusana mendengar bahwa putranya dipotong-potong oleh orang banyak, ia sangat menyesal dan berdukacita karena putranya menemui ajal sedemikian keji caranya. Ia lalu turun ke pedesaan untuk menyelamatkan anaknya. Di sana ia menyamar sebagai anak laki-laki berumur empat tahun dan meminta sepotong daging mentah. Bila ia telah diberi, daging itu hendak dipujanya untuk bisa menghidupkan kembali Naga Baru Kelinting. Namun sayangnya, tak seorangpun yang mau memberinya daging, bahkan ia sangat dikecewakannya.

Menyelamatkan Naga Baru Kelinting

Kisah legenda asal-usul telaga Rawa Pening menyebutkan bahwa Ajar Windusana telah menjelajah dari rumah ke rumah, namun tak ada seorangpun yang menaruh kasihan kepadanya. Akhirnya Sang Ajar tiba di tempat yang sunyi. Di sudut desa terdapat sebuah rumah kecil, atapnya terdiri dari ranting-ranting dan carang-carang tak teratur sama sekali. Dinding rumah itu dibuat dari anyaman daun kelapa, berlubang-lubang disulam dengan kelopak bambu dan tumbuh-tumbuhan menjalar merintangi jalan masuk ke rumah itu.

Tatkala Sang Resi masuk ke dalam rumah itu, berjumpalah ia dengan seorang nenek tua yang sedang menanak nasi, dan merebus daun kacang. Sang Resi lalu bertanya, apa sebabnya nenek itu tidak memasak daging. Dijawabnya bahwa ia tak beranak cucu yang bisa disuruhnya mengambil bagian daging. Dilihatnya di dinding rumah itu terselip sebatang lidi berkasiat. Lidi itu diminta Sang Resi yang berwujud anak kecil. Nenek tua itu mengambil lidi tersebut lalu diberikan kepadanya. Sang Resi sangat berterima kasih kepadanya.

Ajar Windusana lalu memberi pesan kepada si nenek itu. Jika ada suara gemuruh, itulah tanda datangnya air bah, ia harus naik dalam sebuah lesung, dengan membawa sebuah entong atau sendok nasi dari kayu sebagai pendayung.

Si nenek bertanya dengan suara lemah lembut “Bagaimana katamu Nak, engkau mengatakan soal banjir?”

Dijawabnya oleh Ajar Windusana, “Mungkin akan terjadi banjir. Dan nenek harus berjaga-jaga. Selamat tinggal nenek!” Ia lalu keluar membawa lidi kasiat tadi. Si nenek tua hanya bisa ternganga mendengar ucapan anak kecil yang baru dikenalnya itu.

Ajar Windusana lalu bermain-main dengan anak-anak banyak. Lidi kasiat ditancapkan di bumi dan dengan suara keras ia berkata, “Aku membuat sayembara. Kalau ada yang dapat mencabut lidi ini boleh memenggal kepalaku. Jikalau tak sanggup, ia harus memberi daging mentah kepadaku sebagai tuah.”

Banyak anak-anak yang mencoba mencabut lidi berganti-ganti, tapi tak seorangpun, yang berhasil. Maka tiap anak harus memberikan sepotong daging mentah sebagai tuah. Kemudian banyak pula orang-orang yang berganti-ganti mencoba mencabutnya juga, tetapi sia-sia belaka. Mereka itu lalu bersama-sama mencabutnya, tetapi oleh karena sedikitpun tak tergerakkan, Sang Resi disuruh mencabutnya sendiri. Jika tak dapat ia akan dibunuhnya.

Sang Resi memegang lidi itu, diimpitnya, sambil melihat ke belakang, tercabutlah lidi itu, dengan sangat mudah. Terdengarlah suara gemuruh, puncak gunung bergerak sebagai digoyangkan. Waktu lidi kasiat dicabutnya, keluarlah air, mengalir sebagai ombak dari muara ke samudra. Padesaan itu tergenang air semua, orang-orangnya semua mati tenggelam, tak sempat mengungsi. Desa tempat genangan air itu kini disebut sebagai telaga Rawa Pening.

Hanya si nenek tua itu yang selamat dari amukan banjir bandang. Ketika ia mendengar suara gemuruh dan melihat air pasang, ia teringat akan pesan Sang Resi yang menyamar dalam wujud anak kecil. Dengan cepat-cepat ia masuk ke dalam lesung serta mengambil sebuah entong sebagai pendayung. Ia terbawa arus air dan hanyut ke Bintara sambil terapung-apung di atas air. Waktu tiba di tepi, lesung itu terlempar ke daratan, nenek tua itupun selamat. Kemudian nenek tua itu mendaki gunung dan tinggallah di sana.

Gambar Ilustrasi Hikayat Raja Arief Imam by Hidayat Said
Gambar Ilustrasi Hikayat Raja Arief Imam by Hidayat Said

Menghidupkan Kembali Anak Ular

Setelah meninggalkan desa yang telah tenggelam oleh air bah, Ajar Windusana pun segera pulang. Ia tiba di padepokan dengan membawa daging mentah dan lidi kasiat. Pada malam hari masuklah ia ke dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi. Dengan penuh harapan daging mentah dipuja, dengan lidi kasiat di sampingnya. Permohonannya kepada Sang Dewa Agung dikabulkan, daging berubah menjadi manusia.

Tetapi rupanya bagaikan setan karena kulit mukanya berlapis seperti atap, berlipat dua puluh satu. Hidungnya bulat, ujung pundaknya sebesar isi tanjung, membengkok seperti jambu monyet, dahinya menonjol ke muka, matanya bulat masuk ke dalam sepanjang satu jari, bibirnya bergantung berat, mulutnya menganga terus, gusinya tampak. Rambut kepalanya seperti sikat, perutnya membulat sebagai kendi, lehernya seperti periuk kecil, bahunya seperti kepis, tempat ikan, jarinya bengkok. Sungguh merupakan tontonan yang menakutkan.

Adapun lidi kasiat kemudian berubah menjadi ular. Sang Ajar sangat terkejut dan keheranan, tetapi semuanya ini diterima dengan penyerahan diri kepada yang Mahakuasa. Ular itu diberi nama Ki Sarpa Bisu dan disuruhnya bertapa di tempat bekas menancapkannya lidi dahulu. Sedangkan anaknya diberi nama Jaka Bandung, karena terjadinya bersama-sama dengan ular.

Jaka Bandung pun diberi pelajaran oleh Ajar Windusana tentang hal-hal kesaktian sehingga ia cakap di dalam segala-galanya. Meskipun rupanya buruk, tak ada seorangpun yang berani mengusiknya, apalagi mentertawakan, sebab di dalam perkelahian sepak terjangnya membahayakan. Jaka Bandung pun tumbuh menjadi anak yang tangguh dalam pertempuran.

Demikian kisah legenda asal-usul Naga Baru Kelinting yang terlahir dalam wujud ular. Berkat kesaktian ayahnya, Naga Baru Kelinting pun dapat berubah wujud menjadi manusia yang memiliki wajah aneh dengan nama Jaka Bandung. Peristiwa mengumpulkan potongan-potongan daging ular Naga Baru Kelinting telah melahirkan kisah legenda asal-usul Rawa Pening.

Amanat cerita asal-usul Naga Baru Kelinting ini adalah agar kita selalu bersyukur atas pemberian Tuhan. Wajah cantik dan rupawan bukanlah jaminan kebaikan perilaku hidup sehari-hari. Pesan moral yang terkandung dalam kisah legenda Naga Baru Kelinting adalah agar kita selalu berbakti kepada orang tua. Anak yang bersedia berperilaku jujur dan patuh kepada perintah orang tuanya akan mendapatkan kemudahan dalam hidup. Semoga artikel cerita rakyat Jawa Tengah ini bisa menambah wawasan Anda. Sampai jumpa dalam artikel The Jombang Taste berikutnya.

Daftar Pustaka:

Wiroatmodjo, S. 2008. Naga Baru Kelinting. Jakarta: Balai Pustaka.

Komentar

2 tanggapan untuk “Asal-usul Naga Baru Kelinting, Legenda Manusia Ular dari Gunung Merbabu Penyebab Munculnya Telaga Rawa Pening”

  1. […] artikel The Jombang Taste sebelumnya telah penulis bagikan asal-usul Rawa Pening dari kisah legenda Naga Baru Klinting. Artikel ini merupakan kelanjutan dari cerita rakyat Jawa Tengah tersebut. Ketika Naga Baru […]

  2. Avatar Aditya
    Aditya

    Cerita yg sangat bagus. Setiap kids jaman now harus baca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *