Hampir setiap penduduk di Jawa Timur mengenal nama Tengger. Pegunungan Tengger sebuah tempat yang penduduknya tekun melakukan keyakinan agamanya serta hidup damai dan bergotong-royong. Penduduk Tengger masih ada bertalian erat dengan penduduk Majapahit. Melalui artikel The Jombang Taste ini penulis mengajak Anda menyimak asal-usul nama Tengger dan asal-mula diadakannya Upacara Kasadha yang dijalankan oleh masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo, Provinsi Jawa Timur.
Pada waktu pengaruh Islam mulai masuk di kerajaan Majapahit, ada sebagian penduduk yang kuat kepercayaannya terhadap agamanya, kemudian pindah tempat. Ada yang menetap di daerah Bromo, ada yang ke Blambangan dan ada juga yang ke Pulau Bali. Dari sinilah sejarah penduduk Tengger itu mulai diketahui orang.
Mula-mula daerah itu tertutup rapat-rapat dari pengaruh luar sehingga tak seorang pun yang mengetahui bagaimana ragam penduduknya. Karena itu timbullah seribu satu macam dongeng dan cerita tentang asal-usul nama tengger dan Upacara Kasadha.
Prabu Brawijaya adalah nama gelar raja-raja pada kerajaan Majapahit. Baginda raja dianugerahi seorang putri yang bernama Rara Anteng. Alangkah gembira hati Sang Prabu dan Permaisurinya. Belahan hatinya yang hanya seorang ini berparas cantik tiada taranya. Tindak-tanduknya selembut hiasan nama yang dberikan kepadanya.
Menjelang dewasa Rara Anteng berhubungan dengan seorang pemuda yang bernama Jaka Seger. Pemuda itu adalah seorang keturunan Brahmana. Tak lama kemudian dengan doa restu dari kedua belah pihak orang tuanya, keduanya menjadi sepasang suami istri yang berbahagia.
Jaka Segar seorang yang tampan serta tinggi budinya, sedang Rara Anteng seorang yang berparas elok serta lembut hatinya. Kebahagiaan kedua suami istri itu mulai berkurang ketika agama Islam mempengaruhi Majapahit. Penduduk sekitarnya pun demikian.
Sebagian pemeluk agama Hindu yang kuat keyakinannya berpindah ke daerah timur. Setelah melalui hutan dan bukit, sampailah mereka di sebuah gunung. Gunung itu adalah gunung berapi. Gunung besar itu melindungi mereka dari segala bahaya. Mereka merasa aman dari hewan dan bahaya kedinginan.
Mereka yang senasib itu telah bertekad untuk tetap tinggal di situ. Tempat tinggal Roro Anteng dan Jaka Seger kemudian dinamai Tengger. Nama Tengger berasal dari gabungan nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Berpuluh-puluh tahun Jaka Seger memerintah dengan bijaksana, tenteram penuh gotong-royong, sating pengertian antara segenap rakyatnya. Hanyalah satu kekurangannya, bahwa beliau tidak dikaruniai anak seorang pun. sedih hatinya memikirkan nasibnya.
Atas kehendak keduanya serta dukungan rakyat Tengger, Baginda dan Permaisuri bersamadi di puncak gunung berapi itu. Gunung berapi yang berpuluh tahun telah melindunginya dari mara bahaya, dianggap keramat oleh penduduk Tengger.
Bersamaan dengan selesai mara samadinya, memancarlah dari kawah gunung berapi itu sinar merah keemasan. Maka bertambah yakinlah bahwa permintaannya telah dikabulkan. Dengan hati gembira Baginda dan Permaisuri itu berjanji akan mempersembahkan putra bungsunya kelak ke dalam kawah gunung berapi. Kebahagiaanya bertambah ketika lahir putra-putrinya.
Baginda dan Permaisuri sudah semakin tua usia, akan tetapi putranya selalu menghiburnya, sehingga lupalah Baginda dan Permaisuri akan janjinya. Janji yang dulu diucapkan dari Iubuk hatinya. Tiba-tiba di balik kebahagiaannya, gunung berapi itu mulai menderu berdentum. Seakan-akan mengingatkan janji Baginda dan Permaisuri.
Semakin lama langit yang cerah berganti pekat, asap dari kawah mulai mengepul hitam. Barulah baginda sadar akan janjinya yang terlupakan. Namun semuanya telah terlambat. Angin bertiup dengan kerasnya menghempas segalanya, pertanda gunung berapi murka. Keadaan sekitarnya menjadi kacau-balau, penduduk berlarian mengungsi menyelamatkan diri. Baginda dan Permaisuri beserta semua putranya juga berlarian menuju ke balik gunung yang aman.
Angin kencang serasa menghisapnya dari belakang. Baginda dan Permaisuri telah jatuh ke bawah dengan diikuti putranya. Hanya Kesuma, putra bungsunya yang tertinggal di puncak. Semakin dekat Kesuma ke dalam kawah yang menganga membara itu.
Segenap mata penduduk memperhatikannya penuh keharuan, sampai Kesuma memasuki lubang kawah yang merah itu. Tak ada seorang pun yang dapat menolongnya, semuanya hanya menyaksikan dengan sedih dan terharu. Tiba-tiba asap mulai berkurang, angin mulai hilang. Langit kembali cerah dan bening, bulan purnama pun memancar dengan terangnya, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Dalam keheningan malam yang syandu itu, melengkinglah suara gaib. “Wahai Ayah dan Ibu serta Saudara-saudaraku. Aku berkorban demi keselamatan semua. Oleh karena itu, hidup rukun serta berbaktilah kepada-Nya. Permintaanku, kirimlah ke kawah ini sebagian hasil ladang serta ternakmu. Lakukanlah di saat terang bulan setiap tanggal 14 bulan Kasadha.”
Kepercayaan itu sampai sekarang ada, hingga kini di puncak Bromo tiap tahun pada bulan pertama tahun Jawa, yaitu bulan Asyura masih diadakan upacara Kasadha. Amanat cerita asal-usul nama Pegunungan Tengger ini adalah agar kita selalu menepati janji. Pesan moral yang terkandung dalam cerita rakyat Jawa Timur ini adalah bahwa manusia harus selalu beribadah kepada Tuhan. Semoga artikel The Jombang Taste ini bisa menambah wawasan Anda.
Daftar Pustaka:
Maryanto, Soemadji. 2008. Pelengkap IPS: Cerita Rakyat Untuk SD. Jakarta: Balai Pustaka.
Tinggalkan Balasan