Saya selalu dibuat penasaran oleh kisah-kisah inspiratif para leluhur dan kerabat pada jaman dulu. Almarhum Mbah Ngatsiyah pernah berujar bahwa leluhur kami bernama Mbah Singo Wono merupakan tokoh yang mula-mula membuka hutan di desa kami untuk mulai ditinggali manusia. Entah benar atau tidak, saya merasa bersyukur atas silsilah istimewa ini. Selanjutnya, saya juga mendapat cerita istimewa dari Bapak Takim, bapak kandung saya yang menjadi saksi hidup pasang-surut budaya Jaranan di Dusun Guwo. Saya menggali banyak wawasan dari beliau. Diantara sekian banyak pengetahuan yang saya peroleh, perihal seni jaranan menjadi topik yang menarik untuk saya tanyakan kepada beliau. Beliau adalah mantan ketua kelompok seniman kuda lumping Dusun Guwo. Saya melihat sendiri betapa susahnya Bapak memimpin para seniman dengan tingkat kesejahteraan rendah.
“Selamat datang pengunjung sekalian. Silakan duduk menikmati hiburan. Hiburan kami kuda lumping Karya Baru….”
Bait-bait awal lagu pembuka pertunjukan seni jaranan itu sering diajarkan oleh Bapak kepada saya sebelum tidur. Bapak juga menceritakan kegagahannya bermain kuda lumping saat pertunjukan di desa. Saya masih ingat dengan jelas saat saya berusia enam tahun saya takut sekolah TK. Sebaliknya, saya saat itu malah lebih senang belajar nembang caping gunung, nembang jula-juli Jombangan dan sejumlah lagu daerah yang ada dalam seni pewayangan. Semuanya berjalan begitu saja sampai pada satu waktu dimana seni kuda lumping Guwo hampir menenui ajalnya. Semua alat-alat kesenian kuda lumping dijual oleh kelompok seniman Dusun Guwo. Entah apa latar belakang penjualan barang-barang seni itu.
Seni kuda lumping di desa kami jaman sekarang telah bermetamorfosa dengan begitu cepat hingga hampir tidak tampak seni jaranan asli Jombangan. Sebelum dimulai pertunjukan kuda lumping biasanya terdapat penampilan seni tari remo. Adanya kesenian barongan dan kucingan menambah warna kuda lumping sekaligus berpeluang mengubur konsep awal kesenian kuda lumping alias jaran kepang dari Jombang. Bagian paling menonjol dalam membedakan dua jaman seni jaran kepang adalah aksi kesurupan. Saya pun memberondong Bapak dengan sejumlah pertanyaan lawas tapi tetap berulang. Benarkah pemain jaranan bisa kesurupan? Benarkah pemain kuda lumping bisa menangkap kepiting dan makan mentah-mentah? Apakah aman bagi pemain jaranan untuk makan beling dan makan dedak?
“Itu semua hanya trik bermain seni kuda lumping,” jawabnya singkat. Beliau lantas menjelaskan bagaimana cara menyiapkan sebuah pertunjukan seni jaranan atau kuda lumping yang bisa menghibur penonton dan membuat decak kagum siapapun orang yang melihatnya. Diantaranya adalah menyiapkan kepiting air tawar, dalam bahasa Jawa disebut yuyu. Yuyu diselipkan di salah satu sisi sungai kecil dan diberi tanda. Kelak saat tiba pertunjukan jaran kepang tempat itulah tujuan pemain jaranan yang sedang kesurupan. Penonton akan terpukau aksi pemain jaranan yang mampu mendeteksi keberadaan yuyu dengan mata terpejam akibat kesurupan.
Konsep kesurupan itu pun bukanlah murni masuknya roh halus ke tubuh pemain kuda lumping. Bapak mengatakan bahwa kesurupan adalah kegiatan akal-akalan para seniman untuk menciptakan suasana mencekam dalam pertunjukan kuda lumping. Tidak ada pemain kuda lumping yang benar-benar mampu bersekutu dengan jin dan bisa mengendalikannya. Selama ini penonton cukup terhibur dengan aksi kuda lumping yang bertingkah seperti manusia kanibal. Akibat perilaku seniman seperti itu maka lama-lama timbul anggapan dalam pikiran masyarakat awam bahwa pemain jaranan bisa kesurupan.
Bapak menceritakan pengalaman masa mudanya saat aktif sebagai jaranan dengan santai. Beliau juga bercerita bahwa memiliki teman duet bermain kuda lumping yang suka menyeruduk gadis-gadis cantik saat sedang beraksi seperti orang kesurupan. Motif serudukan pemain jaranan laki-laki tadi sebenarnya adalah untuk meraih simpati hati gadis yang diincarnya. Begitulah trik seniman jaman dulu dalam memenangkan hati wanita yang dicintainya. Kisah panjang lebar dari Bapak hari ini cukup membuka pikiran saya bahwa budaya manusia terus berkembang mengikuti peradaban jaman. Menjadi manusia modern tidak lantas melupakan kearifan lokal budaya daerah. Bagaimana dengan perkembangan budaya daerah di sekitar Anda? Apakah disana masih sering dilakukan pertunjukkan kesenian daerah?
Bapaknya seniman. Anaknya apakah jadi seniman juga?
Ternyata Itu cuma trik saja ya? Hmm…. baru tahu nih.
Berarti tukang main kuda lumping pembohong dong ya?
Wow.. cerita yg menarik dan original. Salut utk keluarga mas Agus.
Setuju mas. Kesurupan itu cuma akal-akalan orang jaman dulu biar terlihat keren.
Darah seni tdk bisa dihilangkan. Mas Agus pun selalu membawa seni dlm gerak langkahnya. Keren dahhh…
Aku suka tulisan inspiratif macam ini. Sederhana bertutur, hebat dalam menginspirasi. Semoga Pak Agus sukses selalu.
Mas Agus cukup jadi seniman blogger saja. Dengan cara menulis artikel seperti ini sdh cukup membantu netizen lbh mengenal kuda lumping.
Seni memang tdk bisa dicontoh, tapi bisa dikondisikan. Lingkungan keluarga bisa mencetak seniman muda berbakat seperti mas Agus.
Apakah kesurupan termasuk kegiatan bersekutu dengan setan?
Masa lalu memang indah utk dikenang. Tapi sebaiknya mas Agus tetap berpikiran maju utk masa depan.
Jangan malu mas. Seniman itu pekerjaan mulia.
Baru tahu kalau jaranan jombang bukan sekedar seni pentas, tapi juga seni kehidupan. Para pemain jaranan tentu dilema antara tujuan cari duit dan melestarikan budaya.
Apakah sdh ada usaha konkrit perangkat desa utk organisasi ini?
Apakah masih ada kelompok seniman jaran dor di jombang?
Nggak seru nih… rahasia pemain jaranan sudah bocor di internet.
Kesurupan itu mirip bersekutu dgn setan dan jin. Waspadalah!
Apakah perbedaan jaran kepang dan jaran dor?
Apakah hukum bermain jaranan kesurupan dalam Islam?
Terus… gue harus bilang wow gitu?
Jombang beriman pun masih ada budaya kesurupan. Apakah hal ini masih berlanjut sampai skrg?
Aku bangga punya blogger keren macam mas Agus. Muda dan peduli budaya daerah.
Rahasia sdh bocor. Jadi nggak seru.
Tdk ada yg spesial dari profesi pemain jaranan. Yg bikin istimewa adalah mas agus msh mau bahas kisah ginian meski nggak suka jaranan.
Sereeem kalo bener makan beling. Bisa-bisa pemulung mati kelaparan krn lahannya direbut pemain jaranan.