Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 1)

Cerita Rakyat Yogyakarta: Legenda Asal Usul Gunung Merapi
Cerita Rakyat Yogyakarta: Legenda Asal Usul Gunung Merapi

Cerita rakyat mengenai Kerajaan Pulau Majeti ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari buku Karajaan Pulo Majeti yang ditulis dalam bahasa Sunda. Meskipun buku ini merupakan hasil terjemahan Bahasa Sunda, isi cerita buku ini tidak terlalu banyak berubah. Akan tetapi, dalam penyajiannya sedikit agak dibedakan. Hal itu supaya tidak terlalu menjemukan pembaca. The Jombang Taste menyajikan untuk Anda dengan harapan dapat menambah wawasan terhadap sejarah Nusantara. Selamat membaca.

Menghadap Raja

Matahari sedang terik ketika seorang pemuda baru saja tiba di depan pintu gerbang Keraton Kerajaan Galuh yang berada di Tanah Sunda. Pakaian pemuda itu sangat sederhana dan penampilannya tampak lugu. Kemungkinan besar pemuda itu dari desa. Mungkin dari desa sekitar atau mungkin juga dari desa yang jauh.

Sejenak ia menarik napas agak panjang. Selanjutnya ia menyeka keringat di keningnya dengan punggung telapak tangannya. Sementara kantong kecil yang terbuat dari kain yang sudah kumal, setia terus menggantung di pundaknya.

Ketika dirasa perasaannya sudah lega, segera ia menghampiri penjaga pintu gerbang keraton. Tidak lupa, tata krama yang ia miliki diperlihatkan kepada dua penjaga pintu di situ. Lalu ia berbicara sebentar.

Dan akhirnya diberikan izin masuk lalu seorang penjaga segera mengantar pemuda itu ke hadapan raja. Raja yang sedang duduk di singgasana segera menerima penghormatan tamunya yang diantar penjaga gerbang keraton.

Ada perasaan bangga di hati raja ketika pemuda itu memberi hormat dengan takzim. “Hamba haturkan sembah sujud ke hadapan Gusti Prabu”, ucapnya dengan penuh sopan santun.

Sejenak Raja Raksabuana terdiam. Ia masih mengamati pemuda yang berada di hadapannya. Namun, tak lama dian raja segera menerima penghormatan dari pemuda itu. “Terima kasih. Aku terima segala penghormatanmu,” ujar Raja Raksabuana dengan suara lembut.

“Akan tetapi, tentu saja kami semua yang berada disini harus tahu siapakah engkau sebenarnya?”

“Tentu saja, Gusti Prabu. Nama hamba ialah Selang. Hamba dari Desa Jonggol. Dan bapak hamba namanya Sembrana. Tapi, orang-orang memanggilnya Ki Sentrana.”

“Jonggol? Desa Jonggol… di mana letaknya tempat itu?”

“Betul. Gusti Prabu. Hamba dari Desa Jonggol. Tempat itu jauh juga dari sini. Letaknya di sebelah barat dari tempat ini.”

“Syukurlah kalau begitu. Tapi, apa maksudmu menghadap aku disini?” tanya raja ingin segera mengetahui maksud kedatangan pemuda yang berada di hadapannya.

“Terima kasih, Gusti Prabu,” sahut Selang sambil mengubah letak duduknya. “Hamba menghadap Gusti Prabu… tiada lain karena ingin mengabdikan diri di Kerajaan Galuh. Mudah-mudahan saja hamba dapat bekerja.”

Mendengar penuturan pemuda di hadapannya, Raja Raksabuana sejenak jadi tercenung. Ternyata masih ada pemuda yang mau membaktikan dirinya di kerajaan yang dipimpinnya. Padahal pemuda yang bernama Selang bukan penduduk atau warga asli dari Kerajaan Galuh.

“Sebentar… Selang,” katanya, lalu raja berpaling secepatnya kepada patih yang berada di sisinya. “Bagaimana pendapat Paman Patih?”

“Hamba sendiri setuju saja,” jawab patih dengan suara datar. “Akan tetapi, hanyalah Gusti Prabu sendiri yang dapat memutuskan dan menempatkannya di bagian mana!”

“Hamba menghadap Gusti Prabu… tiada lain karena ingin mengabdikan diri di Kerajaan Galuh. Mudah-mudahan saja hamba dapat bekerja.”

“Kalau melihat keadaan tubuhnya aku setuju jika pemuda ini dijadikan gulang-gulang,” kata raja memberikan jawaban untuk patihnya.

Lalu Raja Raksabuana berpaling lagi kepada pemuda yang masih duduk dengan hormat di hadapannya.

“Bagaimana, Selang? Apakah kau terima apabila kami jadikan kau sebagai gulang-gulang di Kerajaan Galuh ini?”

“Terima kasih, Gusti Prabu. Terima kasih. Tentu saja hamba terima anugerah ini dengan senang hati,” sahut Selang dengan bahagia tiada tara.

“Syukurlah kalau begitu. Kau pun harus tahu bahwa gulang-gulang sederajat dengan prajurit kerajaan. Jadi, selain ilmu bela diri yang dimiliki, gulang-gulang harus mampu menghadapi ancaman musuh yang bersenjata. Nah, apakah kau bisa memperlihatkan kemahiranmu dalam bela diri?”

“Akan hamba coba, Gusti Prabu…” sahut Selang dengan singkat.

Sementara hatinya jadi bergejolak mendapat penawaran dari raja agar ia memperlihatkan kemahiran ilmu bela diri. Tapi, inilah kesempatan baik. Demikian, kata hati pemuda yang bernama Selang.

Ujian Bela Diri

Walaupun raja sudah menyatakan pemuda itu diterima jadi gulang-gulang kerajaan, tapi hal itu bukan berarti lepas dari ujian. Pemuda desa bernama Selang itu harus mampu pula menundukkan satu-dua atau bahkan beberapa penguji keterampilan bela diri. Baik dengan tangan kosong ataupun menggunakan perangkat perang sebagaimana prajurit kerajaan biasa menggunakannya.

Di hadapan Raja Raksabuana serta para pembesar Kerajaan Galuh yang lainnya, Selang harus menghadapi ujian. Ternyata lawan yang ia hadapi, tidak bermain-main. Begitu lawan masuk arena, langsung menyerang Selang dengan pukulan-pukulan beruntun.

Beruntung sekali Selang mampu mengelakkan serangan yang tiba-tiba tersebut. Dengan mudah ia menggeser kaki kanannya ke belakang, sehingga pukulan lawan hanya mengenai sasaran kosong. Hal tadi tentu saja membuat lawan jadi agak bernafsu. Ada perasaan malu di hatinya.

Ternyata beberapa pukulan yang dilancarkannya itu, begitu mudah dihindarkan oleh pemuda desa. Lagi, lawan bersiap-siap untuk menyerang kedua kalinya. Tapi, hanya dalam beberapa detik sebelum lawan menyerang, Selang mendahuluinya dengan pukulan beruntun yang dikombinasikan dengan pukulan tipuan. Lawan segera menghindari pukulan yang dilancarkan Selang, tapi justru berakibat fatal baginya.

Pada saat itulah Selang melihat kuda-kuda kaki lawan benar-benar lemah. Maka sambil berjumpalitan Selang menyapukan kaki kanan ke arah kaki lawan, Dia tidak dapat menghindar. Risikonya harus dibayar mahal lawan. Lawan jatuh terjengkang ke belakang. Rasanya susah untuk bangkit lagi, kalau tidak segera dua kawannya memapah laki-laki itu keluar dari arena. Selang segera memberi salam kepada raja dengan membungkukkan badannya.

Dari tadi raja terus mengawasi gerakan-gerakan indah pemuda desa itu. Raja Raksabuana mengangguk pelan. Beliau berpikir, ada nilai lebih bagi pemuda yang sederhana ini. Sedikit pun tidak terpancar kesombongan di wajah Selang. Dua orang yang tadi memapah kawannya keluar arena, segera menggantikannya.

Setelah memberi hormat kepada raja, lalu mereka berdua menghadapi Selang. Dan tanpa disangka-sangka, kedua orang itu segera melancarkan serangan yang berbarengan. Tentu saja Selang terkejut sekali. Tapi, untung saja nalurinya benar-benar terlatih. Tiba-tiba dengan gerakan indah ia bersalto. Tubuhnya yang lentur, serasa ringan berada di udara.

Sementara lawan tadi tampak terbengong-bengong ketika serangan mereka tidak mengenai sasaran. Mereka tampak masih heran, mengapa serangan yang sudah diolah dengan baik tadi malah meleset. Dan saat yang tepat itulah, tubuh Selang yang meluncur ke bawah digunakan sebaik-baiknya. Kedua kaki yang meluncur itu dengan kilat menyerang lawan-lawannya.

Sementara gerak refleks yang sukar diikuti mata, kedua kaki Selang beraksi menghantam kepada kedua lawannya. Fatal pula akibatnya. Ternyata kedua lawan Selang lebih parah dari kawannya tadi. Selain terjajar ke belakang, kedua orang itu mengaduh cukup keras. Mereka tak berkutik lagi. Keduanya tak sadarkan diri alias pingsan.

Kembali Selang membungkukkan badan di hadapan raja. Raja Raksabuana membalas dengan wibawa tinggi. Tampaknya kedua mata raja memancarkan kepuasan yang tiada tara. Sementara itu, empat orang segera masuk arena dan membopong dua orang yang pingsan itu. Salah seorang dari mereka masuk lagi ke arena, setelah membawa keluar kedua kawannya yang dikalahkan Selang. Lalu ia menghormat kepada raja dengan membungkukkan badannya.

Selanjutnya ia menghadapi pemuda desa yang dianggap sebagai lawan. Selang harus lebih berhati-hati menghadapi orang ini, demikian hati kecilnya berkata. Selain lebih jangkung dari dirinya, juga tubuh lawannya kali ini tampak lebih kekar. Kedua matanya seperti menyorotkan kebencian. Mungkin saja orang ini terlalu emosi karena melihat kawan-kawannya begitu mudah ditundukkan oleh pemuda yang kini berhadapan dengannya.

Dengan tiba-tiba lawan mencabut golok di pinggangnya. Dia langsung menyerang. Tentu saja Selang harus meloncat menghindarkan sabetan golok lawan. Kemudian kaki kirinya yang belum menginjak tanah, segera dipakai menendang sikut lawan yang menggenggam golok. Lawan mengaduh dan senjata tajam itu terlepas dari pegangannya.

Dan langsung saja Selang menyerang lawan dengan jurus kombinasi sapu jagat. Ternyata lawan mampu menghindar dari serangan pemuda desa tersebut. Kini tampak dia seperti berada di atas angin. Bahkan beberapa jurus lawan mampu pula memepet posisi Selang. Kini Selang tampaknya agak kewalahan.

Sementara lawan makin bernafsu untuk segera menyelesaikan pertarungan. Selang segera pasang kuda-kuda lagi. Ia semakin berhati-hati menghadapi lawannya. Lawan mulai lagi melancarkan tendangan ke muka Selang. Dengan segera ia mundur selangkah.

Dan sebelum kaki lawan turun, Selang segera menghantamnya dengan pukulan tangan kanannya. Lawan mengaduh. Tulang keringnya serasa remuk. Ia menyeringai menahan sakit. Kemudian secepatnya mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah kalah.

Dengan kaki berjingkat, ia menghampiri Selang. la menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. Selang segera menyambut uluran tangan tersebut dengan senang hati. “Kau ternyata hebat, Dik. Bahkan lebih hebat,” katanya sambil terpincang-pincang karena menahan sakit di kaki bagian tulang keringnya.

“Saya mengaku kalah. Kau diterima di lingkungan kami.” Katanya.

“Terima kasih, Kak. Kakak juga sebenarnya hebat,” sahut Selang dengan nada rendah.

“Cuma… emosi Kakak terlalu berlebihan.”

“Itu kesalahanku, Dik. Ternyata pengendalian diri lebih utama dari segalanya. Nah… selamat datang di Kerajaan Galuh!”

Selanjutnya kedua orang itu berangkulan bagaikan saudara layaknya. Padahal beberapa waktu yang lalu keduanya bagaikan seteru yang saling berebut nyawa. Keduanya berlomba ingin mendahului menundukkan. Tapi, kini hal tersebut justru jadi berbalik.

Melihat kenyataan itu, tentu saja hati Raja Raksabuana semakin gembira. Begitu pula setiap orang yang menyaksikan hal itu, turut pula bergembira. Selanjutnya Selang mengetahui bahwa lawan yang terakhir tadi adalah salah satu komandan satuan Angkatan Perang Kerajaan Galuh.

Legenda Pulau Majeti dan Prabu Selang Kuning
Legenda Pulau Majeti dan Prabu Selang Kuning

Mengabdi Sebagai Prajurit

Hari-hari selanjutnya Selang selalu menunaikan tugasnya dengan baik. Segala pekerjaan selalu dilaksanakan dengan perhitungan. Artinya ia melaksanakan tugas tidak semena-mena. Bahkan bila perlu, segala kewajiban tugasnya haruslah dimusyawarahkan terlebih dulu bersama kawan-kawannya.

Ternyata lingkungan kerajaan benar-benar telah menempa dirinya. Selain menjadi warga terhormat di Kerajaan Galuh, Selang mendapat kepercayaan lebih besar lagi dari Raja Raksabuana. Dan kini ia sudah diangkat menjadi kepala gulang-gulang. Bahkan ia dipercaya pula mengontrol daerah-daerah atau wilayah kerajaan.

Akan tetapi, segala kepercayaan serta jabatan itu, tidaklah menjadikan Selang angkuh ataupun kemaruk. Justru sebaliknya, ia makin rendah diri dan makin bijaksana menjalani segala tindakan. Dan yang paling menggembirakan semua pihak ialah penampilan Selang selalu sederhana, bahkan sangat sederhana. Padahal kini setiap orang memanggilnya Ki Selang, termasuk Raja Raksabuana sendiri memanggilnya demikian.

Tapi, Ki Selang sendiri tetaplah sebagaimana Selang ketika pertama kali datang di Kerajaan Galuh. “Kami menghormatinya. Tapi, yang terutama, kami mencintainya,” sahut salah seorang lawan yang pernah dirobohkan oleh Ki Selang di hadapan raja sewaktu dicoba keterampilan bela diri.

“Ternyata dia benar-benar arif. Dia tidak punya niat mencelakakan kita pada saat itu.”

“Aku setuju dengan pendapatmu. Kalau ingat lagi hal itu, rasanya aku jadi malu,” kata kawannya.

“Saat itu aku seperti bukan prajurit kerajaan. Saat itu aku tidak satria.”

“Ya aku juga begitu. Justru aku menyadari kesalahanku setelah rubuh di tangannya. Ternyata kemampuan Ki Selang tidak boleh dianggap enteng,” demikian pengakuan salah seorang lagi yang pernah merasakan gebrakan hebat dari Ki Selang.

“Untuk itu… berbahagialah Kerajaan Galuh memiliki pemimpin prajurit yang hebat dan berbudi luhur,” ucap mereka hampir berbarengan.

Bukan hanya para prajurit Galuh saja yang berbahagia. Raja Raksabuana pun benar-benar merasakan hal itu. Cuma saja, kebahagiaan tersebut hanya terpancar di wajah beliau yang selalu berseri-seri. Dan kebahagiaan itu pun dipendamnya dalam kalbu sebagai tanda syukur kepada yang kuasa, pengatur jagat raya ini.

Akan tetapi, yang tidak dapat disembunyikan atas kebahagiaan itu adalah ketika beliau mengangkat Ki Selang sebagai orang kepercayaannya.

(Bersambung ke artikel berikutnya: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning Bagian 2)


Comments

4 tanggapan untuk “Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 1)”

  1. cerita yang bagus. bisa jadi bahan dongeng untuk anak-anak.

  2. […] Baca artikel sebelumnya: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 1) […]

  3. baru tahu nih ada namanya kerajaan majeti.

  4. halo, saya Rizka Amalia dari Magister Ilmu Susastera Undip, saya mau bertanya buku Karajaan Pulo Majeti buku karangan siapa dan tahun berapa ya terbitnya? lalu bagaimana caranya untuk mendapatkan buku tersebut? sebab saya ingin menjadikannya objek tesis saya. terimakasih admin mohon balas lewat email ^^

Tinggalkan Balasan ke Febri Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *