Mitos Wabah Penyakit Pagebluk di Bulan Sura dan Sapar Bagi Masyarakat Jawa di Guwo Mojowarno Jombang

Cerita Rakyat Jawa Tengah Dongeng Timun Emas dan Mbok Rondo Dadapan
Cerita Rakyat Jawa Tengah Dongeng Timun Emas dan Mbok Rondo Dadapan

Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa menyatakan bahwa pada bulan Sura dan Safar banyak berjangkit penyakit yang disebabkan oleh pagebluk. Benarkah hal ini sebuah cerita tahayul atau memang benar telah terjadi di masyarakat? Blog The Jombang Taste kali membahas mitos penyakit pagebluk berdasarkan penuturan para tokoh sesepuh di Dusun Guwo Desa Latsari Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang. Mendengarkan kisah mereka secara langsung memberikan kesan yang berbeda dibanding membaca cerita rakyat dari buku, surat kabar maupun berita online.

Bulan Sura bagi masyarakat sama dengan bulan Muharam dalam penanggalan Hijriyah agama Islam. Bulan Sura merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Sedangkan Sapar sama dengan bulan Safar dalam kalender Islam merupakan bulan kedua setelah Sura. Kemiripan sistem penanggalan Jawa dan Islam dapat dimaklumi karena penyusunan kalender Jawa dilakukan oleh para tokoh penyebar agama Islam. Budaya Jawa dan budaya Islam memiliki hubungan yang erat berkat kreatifitas para anggota Wali Songo. Mereka menciptakan seni wayang, tembang-tembang macapat, dan lagu-lagu tradisional Jawa agar mudah mengedukasi masyarakat Islam.

Bulan Sura adalah bulan berkembangnya penyakit pagebluk. Pagebluk sendiri bermakna wabah penyakit yang terjadi secara terus-menerus di bulan Sura dan Sapar. Banyak anak-anak yang menderita penyakit pada bulan tersebut. Tak jarang, penyakit yang diderita anak-anak berujung dengan kematian. Selain itu, hewan-hewan ternak pun banyak yang mati secara mendadak pada bulan tersebut. Sungguh, bulan Sura dan Sapar menjadi momok bagi para orang tua jaman dulu. Oleh karena itu, para orang tua banyak yang membuat bancakan bubur srunthul untuk menolak balak. Bubur srunthul adalah bubur yang berbahan tepung tapioka atau tepung gaplek.

Pada bulan Sura dan Sapar para orang tua tidak berani tidur di atas dipan. Mereka mengajak anak-anak untuk tidur beralas tikar di atas tanah. Posisi tidur pun diatur sedemikian rupa agar kepala mereka berada di arah timur. Merupakan larangan bagi masyarakat Jawa untuk tidur dengan posisi kepala di sebelah barat. Mereka mengidentikkan posisi kepala di arah barat sama dengan posisi mayat yang dimakamkan. Pagebluk akan mengira dengan posisi tidur kepala di arah timur bukan merupakan manusia yang sedang tidur melainkan benda lain yang dibiarkan berjejer di rumah warga.

Menurut penuturan ibu saya, pernah terdapat sebuah kejadian ganjil terkait sosok pagbeluk. Di Dusun Guwo pernah hidup sosok Kyai Rahmat yang menjadi sesepuh desa sekaligus tokoh masyarakat. Kyai rahmat memiliki pengetahuan agama luas dan kesaktian yang mumpuni. Kyai Rahmat suatu ketika ingin membuktikan sosok pagebluk apakah hanya ada dalam angan-angan manusia atau memang berwujud sebagai makhluk kasat mata. Singkat cerita, beliau sengaja tidur di atas bayang (tempat tidur yang terbuat dari bambu). Sejak sore sampai tengah malam ia pura-pura tidur di atas bayang dengan posisi terlentang.

Di tengah malam Kyai Rahmat dikejutkan dengan munculnya sosok tinggi besar berpakaian serba putih. Makhluk itu tidak bisa jongkok karena pakaian bagian bawah terikat erat seperti jarik yang digunakan bangsawan Jawa. Ia makin terkejut lagi saat makhluk tinggi besar itu mengeluarkan kain berwarna putih dan akan digunakan untuk mengikat dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia segera berteriak dan membentak makhluk di hadapannya. Seketika itu juga sosok tinggi besar itu berlari ke arah pintu rumah dengan cara melompat-lompat. Seolah mampu menembus dinding, makhluk itu hilang seketika dari pandangan mata.

Semula saya hampir tidak mempercayai cerita ibu saya tadi. Saya menganggap itu hanyalah cerita karangan para orang tua agar anak-anak mereka takut keluar rumah di malam hari dan mematuhi perintah orang tua. Namun jika dihubungkan dengan hasil yang didapatkan, maka sangat masuk akal. Mari kita ambil sisi positif dari cerita tadi. Menjaga kesehatan perlu dilakukan kapan saja, baik di bulan Sura maupun bulan-bulan lain dalam penanggalan Jawa maupun penanggalan Masehi. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan Anda terkait budaya Jawa. Sampai jumpa dalam artikel The Jombang Taste berikutnya!


Comments

8 tanggapan untuk “Mitos Wabah Penyakit Pagebluk di Bulan Sura dan Sapar Bagi Masyarakat Jawa di Guwo Mojowarno Jombang”

  1. […] kabar kawan blogger Jombang hari ini? The Jombang Taste kembali menyajikan artikel pengetahuan budaya Jawa. Penulis hari ini membahas candrane perangan awak yang berbunyi drijine mucuk eri. Candra perangan […]

  2. Mitos tidak akan menjadi fakta sampai telah terbukti keberadaannya.

  3. Avatar Pradipta
    Pradipta

    Soal budaya Jawa, mas Agus memang biangnya.

  4. Banyak berdoa kepada Tuhan supaya kita selamat.

  5. Semoga kita selalu sehat dan selamat.

  6. Avatar Wong Jowo
    Wong Jowo

    Crito iki podo critone simbahku. Intine iku awake dewe sing akeh dzikir lan sholat wengi.

  7. Avatar Info Bali
    Info Bali

    Bisa jadi artikel ini benar.

  8. Avatar Sugeng widodo
    Sugeng widodo

    Seneng dngn cerita zaman dulu ketika sy msh kecil sering dpt dongeng dr kakek sy certa masalah pageblug

Tinggalkan Balasan ke Zain Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *