Ushul Fiqh: Asal Penggunaan Lafaz Amar

Image for Islamic Law - Artikel Ushul Fiqh
Image for Islamic Law – Artikel Ushul Fiqh

Bagaimanakah asal penggunaan lafaz amar? Dapatnya lafaz amar itu mengandung arti sampai 17 maksud tersebut di atas adalah karena ada petunjuk atau qarinah yang mengiringinya. Bagaimana kalau tidak ada qarinah yang menyertainya, atau yang disebut amar muthlaq. Apa yang ditunjuk atau dikehendaki oleh amar muthlaq tersebut. Dalam hal ini ulama ushul fiqh mengambil sikap dengan cara mengambil salah satu dari dua kemungkinan berikut.

Pertama, menetapkan prinsip asal. Dalam arti harus meneliti dan cermat qarinah yang akan menuntunnya kepada maksud tertentu. Kalau ditemukan qarinah dimaksud, maka amar itu dipahami sesuai dengan petunjuk qarinah itu, namun bila sama sekali tidak ditemukan qarinah itu maka dikembalikan kepada prinsip asal itu.

Kedua, memahami lafaz amar itu menurut artinya yang hakiki. Namun dalam menetapkan hukum apa yang dijadikan prinsip asal itu menurut kemungkinan pertama atau untuk apa secara hakiki scbenarnya amar itu, ulama ushul fiqh berbeda pendapat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz amar itu menurut asalnya menunjukkan hukum wajib. Berarti bahwa amar itu meskipun tidak disertai oleh penjelasan atau qarinah apa pun, menghendaki wajibnya pihak yang dikenai amar untuk berbuat. Tidak dapat dipahami dari amar itu ada maksud lain kecuali bila ada keterangan lain yang menjelaskannya. Atas dasar pendapat ini Jumhur ulama mengemukakan kaidah: asal dari amar (perintah) adalah wajib.

Kalangan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa amar itu menurut asalnya adalah untuk hukum nadb secara mutlak, sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa amar itu untuk wajib.

Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut. Definisi pertama, amar adalah untuk menuntut dari pihak yang menerima amar mengenai apa yang diperintahkan. Hal ini menguatkan segi pelaksanaan apa yang disuruh itu. Bentuk penguatan itu kadang dalam bentuk hukum yang mengharuskan (wajib) dan kadang dengan hukum nadb. Maka ditetapkan mana yang lebih kecil dari dua kemungkinan tersebut. Perintah dalam bentuk nadb itulah yang meyakinkan sehingga ditemukan dalil yang menyatakan lebih dari nadb itu (wajib).

Definisi amar dalam ucapan, “Kerjakanlah,” ditempatkan pada posisi yang paling rendah dari apa yang terhimpun dalam ucapan itu antara wajib dan nadb, yaitu suruhan untuk berbuat. Perbuatan yang disuruh lebih baik dikenakan daripada ditinggalkan. Hal ini cukup dimaklumi. Adapun berlakunya sanksi atau ancaman untuk yang meninggalkan adalah hal yang belum dimaklumi. Karena itu untuk sampai pada hukum wajib, harus ditangguhkan sampai ada dalil yang menerangkannya.

Daftar Pustaka

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta

Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *