Jika keteguhan hati diibaratkan sebuah dinding, maka pasti ada bermacam-macam jenis dinding dengan ketebalannya masing-masing. Memiliki keteguhan hati laksana dinding benteng yang kuat dan berlapis-lapis. Kondisi tersebut hanya bisa dicapai oleh sebagian kecil orang.
Rata-rata keteguhan hati yang dimiliki manusia sekarang adalah keteguhan yang serupa dinding rapuh. Tampak luarnya saja kokoh tetapi begitu mudah roboh dan hancur ketika ada angin yang cukup kencang menerpa. Keteguhan hati semacam ini pada umumnya timbul dari hati yang terpaksa.
Seseorang yang membangun keteguhan hati atas dasar keterpaksaan adalah manusia yang merugi. Ia meyakini agamanya tapi juga tersiksa karenanya. Ia mudah terpengaruh dan dipengaruhi oleh orang lain dan keadaan sekitar. Ia mudah diintimidasi dan ditekan oleh musuhnya. Dalam keadaan seperti ini, maka kesungguhan hatinya patut dipertanyakan.
Keteguhan hati yang terpaksa juga dapat menyebabkan seseorang tidak pernah merasakan manisnya iman, meski telah bertahun-tahun melaksanakan ajaran agamanya. Padahal keteguhan yang disertai keimanan seharusnya dapat menimbulkan ketenangan jiwa.
Lingkungan selalu menguji manusia untuk mengetahui seberapa besar komitmen yang dimiliki. Orang yang memiliki keteguhan hati terpaksa akan segera tersingkir oleh seleksi alam. Alam adalah sebuah siklus unik dan menjadi penyaring antara manusia lemah dan kuat, antara manusia yang memiliki hati baja dan hati kertas.
Kekuatan hati seseorang dalam menghadapi sebuah tantangan bukan saja diperoleh dari dalam diri sendiri. Dukungan lingkungan, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya turut berkontribusi secara sempurna dalam perkembangan alam berpikir dan berperilakunya.
Selebihnya, kekuatan yang tak kasat mata berasal dari Sang Pencipta. Kedekatan manusia dengan Tuhannya mampu memberikan motivasi berlipat ganda dalam kehidupan. Peribahasa menyatakan: aku dekat Engkau dekat, aku jauh Engkau jauh. Demikianlah adanya. Manusia yang menyandarkan hasil perjuangannya kepada Tuhan akan memiliki kekuatan tambahan untuk menghadapi kenyataan.
Jangan memaksakan hati untuk berperilaku layaknya engkau mampu. Ukurlah kemampuanmu sendiri dan sesuaikan dengan kadar yang kau miliki. Tak lupa, buanglah semua harapanmu ke seluruh penjuru alam. Jangan menyisakan sedikitpun asa di hatimu. Kelak harapan itu akan terkumpul kembali padamu melalui cara-cara yang istimewa. Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan