Seperti telah dikemukan oleh Sunaryati Hartono dalam bagian terdahulu, bahwa hakekat pembangunan adalah perubahan. Dalam pembangunan menurut Satjipto Rahardjo adalah perubahan yang “berisi” karena dikaitkan dengan pertumbuhan dan kemajuan. Adanya perubahan sosial membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum hal ini sebagaimana telah tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia.
Dengan memahami sejarah bangsa Indonesia, kita dapat memahami tentang konfigurasi hukum di Indonesia. Satjipto Rahardjo mengungkapkan perlu pemanfaatan metode pendekatan fungsional bahwa hukum itu berfungsi dalam masyarakat. Sebagai contoh marilah kita lihat konfigurasi hukum pada penjajahan. Disini tampak sekali bahwa kepentingan politik dan ekonomi penjajah membawa pengaruh terhadap tata hukum saat itu.
Pada masa itu tercipta konflik antara tiga sistem hukum. Hal tersebut menurut Bustanul Arifin bukanlah konflik selalu terjadi secara murni, melainkan konflik yang sengaja oleh kolonialisme waktu itu yang memang dalam hukumnya memandang kehidupan masyarakat sebagai sumber konflik. Konflik pada masa itu ditimbulkan secara artifisial dengan kebutuhan kolonial. Pada masa ini politik hukum kolonial direncanakan untuk unifikasi dan kodifikasi. Hukum yang berlaku di negara Belanda diberlakukan di Indonesia yang nota bene berbeda dan adat istiadatnya.
Dari literatur ternyata dapat diketahui bahwa dari para sarjana hukum Belanda sendiri pada masa ini tidak sepenuhnya menyetujui unifikasi hukum, antara lain C. Van Hoven yang mengemukakan bahwa yang berlaku di masyalakat bukan hukum Islam tetapi hukum adat, yaitu hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat sejak dulu.
Pada saat itu terjadi konflik diantara tiga sistem hukum yaitu, hukum sipil (Belanda), hukum adat dan hukum Islam. Dukungan kolonialisme diberikan kepada dua sistem yaitu hukum sipil dan hukum adat, sehingga tampak diskriminasi terhadap hukum Islam. Hal itu antara lain terlihat pemerintahan pada masa itu mengecilkan arti dari fungsi peradilan agama dimana pada masa sebelum kolonialisme pengadilan agama mempunyai kompetensi yang mencakup seluruh hukum sipil bagi perkara-perkara yang diatur menurut hukum Islam.
Konflik diantara sistem hukum itu masih terus terjadi sampai sekarang, disaat Indonesia telah merdeka, dimana ada sistem-sistem hukum yang belum mendapat perhatian atau tempat dengan semestinya sehingga masyarakat tidak memahami keberadaannya.
Menurut Bustanul Arifin, hukum adat dapat dikatakan sebagai hukum yang artificial karena adanya dicipkakan oleh para sarjana hukum Belanda untuk kepentingan kolonialisme untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kepentingan-kepentingan menggunakan hukum Islam yang dilandasi oleh keyakinan (agama Islam) yang berbeda dengan agama Nasrani yang dibawa oleh mereka dari negaranya. Penerapan hukum adat pada masa itu masih dimungkinkan karena keadaan masyarakat pada saat itu yang statis dan terbelakang.
Mengenai perkembangan masyarakat negara yang diatur oleh adat kebiasaan ke masyarakat negara yang diatur oleh hukum, Diamond mengemukakan bahwa adat dan hukum merupakan sistem kaedah yang sifatnya saling bertentangan. Kebiasaan atau adat bersifat otonom dan spontan sedang hukum merupakan produk dari kekuasaan yang terorganisasi yang disebut “negara”.
Para sarjana hukum dewasa ini sering menyatakan bahwa konfigurasi hukum nasional Indonesia dewasa ini berunsurkan tiga sistem hukum, yaitu hukum barat, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam.
Mengenai pembentukan hukum nasional Mochamad Kusumaatmadja mengemukan bahwa tidak usah tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan-keputusan hendak meneruskan tradisi hukum kolonial berdasarkan pola pemikiran barat atau secara apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional. Selanjutnya, Mochtar memberikan solusi, bahwa dan unifikasi hukum dapat dilakukan terbatas pada hukum yang menjamah ranah kehidupan budaya spiritual rakyat.
Sementara untuk ranah-ranah lain seperti hukum kontrak, badan usaha, dan tata niaga dapat diatur oleh hukum perundang-undangan nasional. Untuk ranah hukum yang netral ini bahkan Mochtar tidak berkeberatan jika dikembangkan dalam sistem asing.
Pendapat Mochtar di atas mau tidak mau dilakukan oleh Indonesia terutama di masa global sekarang ini dimasa dunia telah berkembang tanpa batas. Kita tidak dapat secara apriori menolak masuknya pengaruh asing terhadap tatanan hukum nasional terutama sejak Indonesia meratifikasi konvensi Internasional tentang pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation).
Dengan diberlakukannya UU No. 7 1994, mau tidak mau tatanan hukum nasional harus menyesuaikan dengan standar norma internasional seperti yang dikemukakan oleh Elly Erawati. Bagi Indonesia yang telah menjalin perjanjian pembentukan WTO, kemudian juga telah menjadi anggota berbagai organisasi ekonomi internasional seperti IMF dan Bank Dunia, maka kita terpaksa harus pula dan mentaati aturan main menurut ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Semoga informasi ini bermanfaat menambah wawasan Anda.
Tinggalkan Balasan