
Mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak setiap hari merupakan rutinitas kehidupan penulis. SDN Latsari, Sanggar Genius Guwo dan TPQ Al-Mujahiddin merupakan tiga lembaga pendidikan tempat penulis menghabiskan sebagian besar waktunya. Para peserta didik memiliki keunikan potensi diri. Wajar saja jika Anda pernah mendengar idiom Nobody’s perfect. Karena ketidaksempurnaan itulah maka setiap anak terlihat unik dan menarik untuk dipelajari. Ibadah merupakan pelajaran pembiasaan kepada anak muslim. Mulai dari belajar wudhu, melantunkan adzan, mengerjakan sholat, doa sehari-hari hingga ibadah puasa merupakan pelajaran sikap mental dan gaya hidup.
Dari interaksi penulis dengan peserta didik selama enam tahun berturut-turut, penulis mendapati fakta bahwa bertambahnya usia fisik manusia tidak selalu disertai dengan peningkatan kecerdasan spiritual. Bahkan anak-anak yang cerdas secara akal tidak selalu berarti memiliki kecerdasan spiritual mumpuni. Kasus sederhana kali ini terjadi pada Evan Maulana. Siswa kelas dua sekolah dasar itu saat ini berusia delapan tahun. Meski demikian, usia mudanya kalah jauh dibanding kecerdasan spiritualnya. Dia selalu berusaha meningkatkan level kecerdasan emosi dan spiritual.
Pada suatu siang yang terik pekan lalu, Evan ingin diajarkan cara adzan yang baik dan benar. Hal itu terjadi pada waktu penulis mengajarkan mata pelajaran muatan lokal Keagamaan Islam di sekolah. Dia sangat ingin menjadi muadzin pada kegiatan sholat jamaah dhuhur di sekolah. “Nada adzan seberapa panjang, Pak? Mengapa anak kecil sering dilarang adzan pakai pengeras suara musholla?” Untuk siswa selevel dia, angan dan cita-citanya ini tidak biasa.
Jangankan murid kelas dua SD, pelajar SMP pun masih banyak yang alergi untuk menunjukkan jati dirinya dalam kehidupan beragama. Kalau bukan karena dukungan keluarga dan lingkungan yang harmonis, tentu dalam benak Evan tidak akan pernah terlintas keinginan seperti itu. Syarat dan modal pertumbuhan anak yang ideal telah ia dapatkan dari sang kakek dan ayah.
Kompleksitas cara berpikir Evan sempat membingungkan penulis. Evan pernah bertanya out of the box dalam salah satu sesi diskusi kelas. “Jika dunia nanti sudah kiamat, siapakah penghuni bumi selanjutnya, Pak?” Penulis diam untuk beberapa saat. Jawaban diplomatis dari penulis tidak cukup menghentikan rasa ingin tahunya terhadap hakikat kehidupan. Sebagaimana anak kecil lainnya, rasa ingin tahunya sangat besar dan menuntut untuk dipuaskan/
Sama seperti halnya ketika Evan minta didampingi saat melantunkan adzan, pergulatan pikir seorang anak kecil hendaknya didampingi oleh orang tua ataupun guru. Mereka adalah makhluk haus ilmu dan wawasan baru. Jika bukan kita yang mengarahkan dan mendidik anak-anak, maka mereka bisa tersesat dalam labirin otak mereka sendiri. Nasehat Anda cahaya terang yang akan menuntun mereka ketika badai fitnah dan kekalutan pikir. Semoga Anda terinspirasi tulisan ini untuk mampu mendidik anak lebih baik.
15 tanggapan untuk “Ketika Evan Maulana Belajar Adzan”
Tetaplah semangat mendidik Pak. Semoga anak didiknya bisa tumbuh menjadi anak sholeh dan sholihah.
Tidak banyak guru yg all out mendidik muridnya. Mas Agus adalah satu diantara mereka. Semangat terus mas.
Dukung terus mas. Barangkali dia kelak jadi muadzin hebat.
Allohu akbar! Semoga Allah meridhoi langkahmu nak.
Dukunglah passion anak selama masih dalam hal kebaikan.
Semangat mas!
Bersabarlah dalam berdakwah. Mas Agus pasti bisa sukses.
Saya dukung blog ini 100 persen. Sangat inspiratif.
Ayo lebih semangat mas. Saya percaya Mas Agus pintar dan kreatif kok.
Anak hebat itu bisa jd good leader. Harus kita dukung supaya bakatnya berkembang.
[…] berbagai pihak, terutama orang tua dan tokoh masyarakat. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang mikrofon masjid dan musholla bukanlah perkara gampang. Meski demikian, anak-anak dan remaja harus diberikan waktu […]
Bocah cilik kudu diwulang kendel marang kabecikan supaya paring paedah marang sapada-padane.
Pak Gurunya masih muda. Makanya selalu semangat mengajar.
Smoga evan bisa tumbuh jadi anak soleh. Amin.
[…] Evan berjalan dengan lunglai menuju serambi masjid. Di tangannya tergenggam sebuah tas berisikan Alquran dan beberapa buah buku. Dia tampak tidak ingin menggerakkan tubuhnya. Dia memandang ke arah timur dengan tatapan kosong. Tak jauh dari Evan, tampak Adit, Satria dan Anas duduk terdiam. Sementara itu beberapa anak berusia sekitar 5 tahun tampak berlari-lari kecil di hadapan masjid. Pada tangan mereka tergenggam sebuah permen. Pemandangan ini tersaji di hadapan beberapa santri Taman Pendidikan Alquran (TPQ) di teras Masjid Baitussalam Dusun Guwo. […]