Langkah-langkah kaki praja muda bergegas mengular di terik siang itu. Mereka bergerak perlahan mengisi setiap sudut bangunan kuno di kota pantai utara Pulau Jawa. Balutan jas abu-abu menjadi simbol kebanggaan setiap jiwa yang terpanggang sinar matahari. Aku berada di antara salah satu dari mereka. Mencoba memahami mengapa sampai detik itu aku terperangkap dalam lingkaran mereka.
Tempat yang sakral, begitu mereka menyebutnya. Tidak semua manusia dapat mendudukkan tubuh mereka di lantai hijau tua itu. Sejuk dan menenangkan jiwa. Lantai ini menjadi saksi ratusan pemuka negeri yang mendambakan derajat tinggi. Disinilah dulu Sunan Drajat mengajarkan ilmu kepada para santri. Aku terpaku. Inikah salah satu keindahan dalam berkerabat berpanjangan dengan para ulama.
Aku bukanlah sosok yang belia seperti mereka yang tertawa di belakang tembok besar. Aku pun tidak juga layak menyandang gelar yang termanis untuk wajah-wajah lugu di samping pagar itu. Namun apalah arti semua harapan dan sebutan bagi seorang insan. Toh pada akhirnya semua akan dikembalikan ke masyarakat bagaimana gedung tua ini mampu memperbarui jiwa-jiwa yang terbelakang.
Sungguh ironi mereka dapat tertawa di tengah menggilanya dunia. Apakah mereka tidak sadar cita rasa sejarah gedung tua ini lebih nikmat dari gurauan sesaat. Biarkan mereka terlena dalam senyum yang tidak ada batasnya. Jiwa-jiwa kuat akan terlahir di medan yang penuh tantangan, bukan di atas empuknya kasur sutra dan gemerlap tilam mutiara. Mari memperbarui jiwa sendiri.
Tinggalkan Balasan