Syukur alhamdulillah saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menghirup nafas di bulan Ramadhan tahun 2018 ini. Sama seperti tahun lalu, saya masih mampu mengikuti kegiatan tadarus Ramadhan di masjid Baitussalam. Usai sholat tarawih, saya tidak bisa langsung pulang ke rumah. Saya menunggu tadarus putra pada satu jam pertama, yaitu mulai pukul setengah delapan sampai pukul setengah sembilan malam. Hal ini sesuai dengan kesepakatan musyawarah awal bulan lalu. Musyawarah di masjid itu membuahkan hasil tadarus putra dilakukan setelah sholat tarawih sedangkan tadarus putri dilaksanakan setelah sholat subuh.
Saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menggawangi tadarus putra yang sudah dipercayai menghabiskan jatah takjil malam. Jangan sampai emak-emak dari kelompok tadarus putri bergunjing di kemudian hari. Saya absen tadarus saat mengikuti kegiatan yang memaksa saya menginap di tempat lain, misalnya saat saya menjadi panitia kegiatan Pesantren Ramadhan Kreatif di Wonosalam pekan lalu. Untungnya saya tertolong kecanggihan telepon genggam. Remaja Masjid (remas) Baitusalam telah memiliki grup Whatsapp (WA). Melalui Grup WA Remas inilah saya tetap bisa berkomunikasi dengan jamaah tadarus putra walau saya sedang berada jauh di Puncak Gunung Anjasmoro.
Sejauh ini belum ada masalah penting yang mengganggu aktifitas tadarus putra di masjid. Jumlah remaja yang aktif dalam kegiatan tadarus sekitar dua belas anak. Jumlah itu sudah cukup bagi saya. Tidak mungkin saya menghadirkan 70 anggota remas ke masjid karena membaca Al-Quran berasal dari dorongan hati, bukan paksaan orang lain. Saya tidak khawatir jika belasan remaja itu akhirnya tersisa beberapa orang saja di bulan Syawal nanti. Alam akan menyeleksi orang-orang Islam yang benar-benar mencintai Al-Quran dan yang sekedar bisa membacanya.
Tantangan paling berat dalam membudayakan tadarus Quran di bulan Ramadhan adalah gangguan smartphone. Sekalipun hape pintar memudahkan saya dalam komunikasi dua arah dengan kepengurusan remas, namun hape juga yang merampas sebagian besar waktu mereka dalam beraktifitas sehari-hari. Saking asyiknya bermain game secara online, mereka jadi lupa waktu dan begadang sampai malam. Bisa ditebak kelanjutannya adalah mereka malas bangun untuk makan sahur. Beberapa kali saya terpaksa membangunkan sekelompok anggota remas yang belum bangun tidur di serambi masjid karena waktu sahur sudah menjelang habis.
Selanjutnya, saya pun sering tadarus sendirian pada waktu membangunkan sahur warga desa. Pekerjaan ini sudah saya lakukan sejak tujuh tahun terakhir. Setiap bulan Ramadhan tiba, saya menjadi orang yang paling berteriak di depan corong masjid saat pukul tiga pagi sampai waktu imsak tiba. Kadang-kadang ada satu atau dua anak yang datang tadarus di masjid pada waktu warga makan sahur. Interaksi inilah yang membangkitkan semangat saya untuk terus aktif bertadarus di masjid. Saya ingin memberi contoh baik kepada generasi muda Islam. Mereka tidak butuh perintah dan bentakan. Mereka butuh keteladanan dan pendampingan hidup. Semoga saya bisa menjalankan tugas mulia ini disini.
Tinggalkan Balasan