Aku Ingin Okta Diusir dari Kelas

Pergilah kau dari hadapanku
Pergilah kau dari hadapanku

Kulangkahkan kaki memasuki kelas TPQ. Kutatap satu per satu santri yang sedang berkeliaran di hadapanku. Sesaat aku terdiam. Berharap mereka memperhatikan kehadiranku. Namun hasilnya berbeda. Tidak satupun dari lima belas santri itu berhenti berlari di serambi masjid. Aku sudah memprediksi hal itu. Sejak enam bulan lalu mereka semakin tidak terkendali. Sejak aku kembali menjejakkan di kelas ini mereka selalu tidak pernah berhenti menguji kesabaranku. Dimulai dari Ambi, Dafa dan Puguh yang sudah hengkang ke TPQ sebelah beberapa minggu lalu. Dan kini tersisa Okta yang menjadi duri dalam kelasku.

Kawan-kawan Okta mengeluhkan kediamanku sebagai kelemahanku. Mereka ingin aku menghukum Okta dengan berat. Ulah Okta dalam memprovokasi santri lainnya sudah diluar batas kewajaran. Semakin hari semakin banyak keluhan menghampiri ruang pendengaranku. Tapi aku tidak mau menghukumnya, baik fisik maupun ucapan. Aku tidak mau masuk penjara maupun diganjar denda lima juta seperti kejadian Cak Sodik tahun lalu. Itu sudah cukup menjadi alasanku untuk berlatih kesabaran. Sejujurnya, aku ingin Okta diusir dari kelas ini. Dia tidak butuh aku. Yang dia butuhkan adalah orang tua yang mau dibentak dan dimaki dengan seenaknya. Dan aku tidak suka dibentak anak kecil. Sakit hati ini karenanya.

Aku mencoba memikirkan kenakalan Okta. Apakah ini disebabkan oleh lingkungan keluarga dia yang liar dan tidak bisa memberi teladan? Ataukah sikapku selama ini terlalu kasar padanya? Fakta menunjukkan bahwa keluarganya sering cek-cok. Kalaupun tidak ada acara bersilat lidah, maka nada berbicara selalu tinggi ke angkasa. Itu bukan kondisi lingkungan yang tepat untuk mendidik anak. Aku tidak suka sikap kasar yang dicontohkan keluarganya. Dalam silsilah keluargaku, dia masih ada hubungan kerabat denganku. Aku tidak tahu dari siapa, yang jelas Bapak dan Emak selalu mengingatkanku bahwa saudara jauh pun harus selalu diingat dan dirawat.

Aku tidak mau menampakkan kemarahan di wajahku karena sesungguhnya pemarah adalah manusia yang paling lemah di dunia. Meski hati ini bosan dengan segala tingkah lakuya, ku terima semua itu sebagai konsekuensi dari pekerjaan berjuang di jalan Allah. Dari sembilan pengajar yang terdaftar di TPQ, hanya ada dua pengajar aktif yang mau rutin datang kesini setiap sore. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya TPQ kalau sampai tersisa satu orang pengajar saja. Meski demikian aku tidak bisa memaksa. Sudah jadi hak mereka untuk mengutamakan keluarga. Sedangkan bagiku yang belum menikah seolah belum punya tanggungan apa-apa.

Sudahlah, aku tidak mau mengubah karakter Okta. Kalaupun nanti pendidikan yang kuberikan padanya gagal mengantarkan dia menjadi anak yang pintar, itu bukan urusanku. Tanggungjawab mendidik anak ada pada pundak orang tuanya. Aku hanya sekedar menasehati semampuku dan berbekal ilmu yang sekadarnya. Aku hanya mampu mendoakan dalam setiap lantunan ayat-ayat suci agar semua santri yang kuajar bisa jadi anak yang mengerti sopan-santun. Sebenarnya doaku bukan hanya tertuju kepada Okta saja, tapi juga untuk Dimas yang banyak omong, untuk David yang panjang tangan, maupun untuk Firja yang sering terpengaruh teman-temannya.

Sering aku memperlakukan mereka semua layaknya teman sepermainanku. Ku ajak bercerita dan berbagi pengalaman hidupku. Ku berikan kesempatan bagi mereka untuk tahu lebih detail siapa aku. Bahkan aku pun membuka sedikit rahasia apa saja isi doa-doa yang kupanjatkan setelah sholat lima waktu. Namun semua itu belum cukup menggetarkan hati mereka untuk bisa bersikap diam saat mengaji Al-Quran. Rupanya waktu tujuh bulan belum cukup untuk menempa kecerdasan emosional mereka. Ini artinya aku perlu waktu lebih lama lagi dalam mengenal setiap santri.

Dan tibalah satu kesimpulan dalam diriku. Aku tidak jadi menginginkan Okta diusir dari kelas. Biarlah dia menjadi sumber kegaduhan di dalam kelas. Mungkin dengan cara demikian dia bisa menjadi contoh bagi santri lain agar tidak perlu melakukan aksi tidak terpuji. Mungkin juga Okta adalah malaikat yang dikirim Allah untuk menguji kesabaran dan keteguhanku dalam membesarkan nama TPQ. Aku tidak tahu betapa banyak hikmah yang akan kuterima bila saja nanti aku bisa menjinakkan tingkah liarnya saat mengaji.


Comments

3 tanggapan untuk “Aku Ingin Okta Diusir dari Kelas”

  1. […] bertahun-tahun, tulisan ini akhirnya saya temukan lagi. Kisah saya menjadi salah satu pengajar di TPQ Al-Mujahiddin sungguh tidak mudah. Sampai detik ini telah banyak terjadi peristiwa yang menarik disana. Semoga […]

  2. Avatar Albudi Jaya
    Albudi Jaya

    Aoa kbr Okta? Skrg sekolah kelas berapa?

  3. Avatar Pipit
    Pipit

    Sabar kang..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *