Kebangkitan Sang Ratu: Tiga Hari Napak Tilas Kejayaan dalam Festival Budaya Kencono Wungu 2025

Kabupaten Jombang, sebagai salah satu simpul penting dalam sejarah peradaban Jawa, kembali mengukuhkan posisinya sebagai penjaga warisan budaya. Puncaknya terjadi di Desa Losari, Kecamatan Ploso, yang selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 8, 9, hingga 10 November 2025, menjadi panggung megah bagi perhelatan akbar Festival Budaya Kencono Wungu.

Lebih dari sekadar festival biasa, acara ini adalah sebuah Sedekah Desa yang diintegrasikan secara cerdas dengan Gelar Potensi Desa, menjadikannya sebuah monumen hidup bagi sejarah, spiritualitas, dan ekonomi lokal. Nama “Kencono Wungu” sendiri merujuk pada sosok legendaris Ratu Majapahit (sering diidentikkan dengan Ratu Suhita atau Gusti Ratu Tri Buana Tunggal Dewi, putri Hayam Wuruk, menurut beberapa versi lokal) yang diyakini pernah menyinggahi dan meninggalkan jejak spiritual di Losari. Dengan semangat menghidupkan kembali kisah agung ini, Desa Losari bertekad menjadikan festival ini sebagai identitas budaya yang kuat, sekaligus sebagai lokomotif penggerak kesejahteraan masyarakat.

Artikel ini akan mengupas tuntas tiga hari rangkaian acara, mulai dari dimensi spiritual, historis, hingga puncaknya yang bersifat edukatif dan menghibur, serta bagaimana festival ini menjadi etalase bagi potensi Desa Losari.

Hari Pertama: Memperkuat Pondasi Spiritual dan Sosial (Sabtu, 8 November 2025)

Festival Budaya Kencono Wungu 2025 dibuka dengan landasan yang kokoh: spiritualitas dan kepedulian sosial. Tanggal 8 November didedikasikan untuk kegiatan Tasyakuran dan Santunan Anak Yatim, sebuah momen yang menggarisbawahi fungsi festival sebagai Sedekah Desa.

Tasyakuran: Rasa Syukur kepada Bumi dan Leluhur

Tasyakuran, yang berarti ungkapan rasa syukur, dilaksanakan dengan khidmat di lokasi yang memiliki nilai historis dan spiritual, diyakini sebagai petilasan atau area yang berhubungan dengan Kencono Wungu. Acara ini melibatkan seluruh perangkat desa, tokoh agama, sesepuh, dan masyarakat.

  1. Ritual Doa Bersama: Dipimpin oleh ulama setempat, doa dipanjatkan untuk keselamatan desa, kelancaran panen, dan permohonan agar arwah para leluhur, termasuk sosok yang dihormati seperti Kencono Wungu, senantiasa memberikan berkah.
  2. Kenduri Massal: Tradisi kenduri, berupa nasi tumpeng dan lauk pauk, disiapkan secara gotong royong dan dimakan bersama. Momen ini merupakan simbolisasi persatuan dan kesetaraan, di mana seluruh lapisan masyarakat—dari kepala desa hingga petani—duduk bersila, berbagi rezeki dari bumi yang sama. Ini adalah penegasan kembali nilai guyub rukun (hidup rukun) yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa.

Santunan Anak Yatim: Memuliakan Nilai Kemanusiaan

Setelah tasyakuran, kegiatan dilanjutkan dengan santunan kepada anak-anak yatim. Tindakan filantropis ini menegaskan bahwa kebudayaan tidak hanya berbicara tentang ritual masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab moral di masa kini.

Penyantunan ini memastikan bahwa kemeriahan festival dirasakan secara merata, menjangkau kelompok yang paling membutuhkan. Secara simbolis, santunan ini juga merupakan bentuk nguwongke (memanusiakan manusia) dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan luhur kepada generasi muda. Pesan yang tersirat jelas: sebuah komunitas yang kuat adalah komunitas yang peduli terhadap sesama. Hari pertama ini meletakkan dasar spiritual dan etika, mempersiapkan batin masyarakat sebelum merayakan kemegahan sejarah di hari berikutnya.

Hari Kedua: Epik Sejarah Jawa Melalui Pawai Budaya (Minggu, 9 November 2025)

Hari kedua adalah jantung historis dari Festival Budaya Kencono Wungu. Panggung desa diubah menjadi mesin waktu yang membawa penonton melintasi epos kerajaan-kerajaan Jawa kuno yang memiliki kaitan erat dengan wilayah Jombang.

Pawai Budaya Jombangan: Dari Mpu Sindok hingga Raja Airlangga

Kegiatan utama hari kedua adalah Pawai Budaya Jombangan, yang secara khusus menyoroti lintasan sejarah dari era Mpu Sindok hingga Raja Airlangga. Pemilihan era ini sangat relevan karena Jombang diyakini sebagai wilayah penting, bahkan inti, dari peradaban Mataram Kuno periode Jawa Timur (era Mpu Sindok) dan Kerajaan Kahuripan (era Airlangga).

  1. Era Mpu Sindok (Abad ke-10 M): Pawai menampilkan replika prasasti (seperti yang ditemukan di sekitar Jombang), kostum raja, ratu, dan tokoh-tokoh penting di masa pemerintahan Mpu Sindok. Fokusnya adalah migrasi kekuasaan ke Jawa Timur dan fondasi budaya yang diletakkan pada masa ini.
  2. Era Raja Airlangga (Abad ke-11 M): Bagian ini lebih dramatis, menampilkan kisah perjuangan Airlangga menyatukan kembali kerajaan yang terpecah. Pawai memvisualisasikan adegan-adegan penting, lengkap dengan patung-patung tiruan (atau properti) yang menggambarkan simbol-simbol kerajaan Kahuripan.
  3. Visualisasi Kencono Wungu: Meskipun Ratu Kencono Wungu (Ratu Suhita) hidup di era Majapahit, penampilannya menjadi jembatan naratif yang menghubungkan masa lampau dengan Majapahit. Rombongan pawai yang membawa lambang-lambang Kencono Wungu menjadi klimaks yang mengingatkan bahwa sejarah di wilayah Losari ini adalah bagian dari benang merah kejayaan Jawa.

Fungsi Edukasi dan Pelibatan Masyarakat

Pawai ini bukan sekadar tontonan, tetapi sarana edukasi sejarah visual. Setiap dusun yang berpartisipasi (termasuk tujuh dusun di Losari: Bangle, Losari Krajan, Losari Lowo, Rejomulyo, Sidopulo Barat, Sidopulo Timur, dan Sidopulo Selatan) wajib menampilkan satu fragmen sejarah, mendorong mereka untuk meneliti dan menghidupkan kembali kisah lokal.

Pelibatan masyarakat dalam pembuatan kostum, properti, dan koreografi menumbuhkan rasa kepemilikan dan kebanggaan. Bagi generasi muda, ini adalah cara yang menarik untuk belajar sejarah tanpa harus terpaku pada buku teks—sebuah upaya nyata untuk menjadikan mereka “tombak ujung yang baru” dalam melestarikan budaya.

Gelar Potensi Desa: Ekonomi dan Kreativitas Lokal

Bersamaan dengan pawai budaya, area festival dipenuhi dengan Gelar Potensi Desa. Desa Losari, yang dikenal dengan potensi perdagangan, swasta, dan pertanian (padi, palawija, tembakau), memamerkan produk-produk unggulannya.

  • Pameran Produk Unggulan: Berbagai produk olahan lokal, hasil pertanian, dan kerajinan tangan dipamerkan. Salah satu produk ikonik yang selalu ditonjolkan adalah Jamu Gendong Losari, yang memiliki cita rasa khas dan menjadi bagian dari branding desa wisata.
  • Wirausaha Desa: Kehadiran BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dan Koperasi Wanita (Kopwan) Desa Losari dalam pameran menunjukkan sektor ekonomi yang dikelola oleh desa. Gelar potensi ini adalah peluang emas untuk membuka pasar baru dan menarik investasi.

Hari Ketiga: Puncak Hiburan dan Refleksi Budaya (Senin, 10 November 2025)

Hari terakhir festival, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, menjadi puncak perayaan sekaligus momen refleksi melalui seni tradisi.

Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Heru Cahyono S.Sn., M.Pd.

Inti dari malam penutupan adalah Pagelaran Wayang Kulit oleh pedalang ternama, Ki Heru Cahyono S.Sn., M.Pd. Pemilihan Ki Heru, yang berlatar belakang pendidikan seni (S.Sn.) dan magister pendidikan (M.Pd.), menunjukkan komitmen desa untuk menyajikan seni tradisi yang tidak hanya otentik tetapi juga memiliki nilai edukasi yang tinggi.

Wayang Kulit adalah media paling efektif dalam budaya Jawa untuk menyampaikan ajaran moral, etika kepemimpinan, dan nilai-nilai luhur. Kisah yang dibawakan oleh Ki Heru biasanya dipilih untuk relevan dengan tema festival—mengenai kepemimpinan yang bijaksana (seperti Kencono Wungu), perjuangan, atau pemeliharaan alam. Dalam konteks Festival Kencono Wungu, lakon yang dibawakan sering kali berpusat pada kisah-kisah Majapahit atau tokoh yang terkait dengan Jombang, memberikan konteks sejarah yang lebih dalam kepada penonton.

Tampilan Lawak Andik TB: Menyeimbangkan Keseimbangan

Untuk menyeimbangkan suasana yang khidmat oleh wayang, dihadirkan pula penampilan hiburan rakyat berupa Lawak oleh Andik TB. Lawak tradisional memiliki peran penting dalam pagelaran seni Jawa, yaitu sebagai goro-goro, bagian selingan yang berfungsi mencairkan suasana dan menyampaikan kritik sosial secara halus melalui humor.

Kehadiran Andik TB memastikan bahwa festival ini tetap inklusif dan menarik bagi semua kalangan usia, mempertahankan karakter seni pertunjukan rakyat yang selalu memadukan unsur sakral dan profan, edukasi dan hiburan.

Kencono Wungu: Identitas Budaya dan Masa Depan Losari

Festival Budaya Kencono Wungu adalah strategi budaya terpadu Desa Losari. Ia menghubungkan legenda masa lalu dengan kebutuhan pembangunan masa kini.

Secara filosofis, sosok Kencono Wungu (yang berarti ‘Emas Keunguan’) melambangkan kemewahan tradisi (Emas) yang dibungkus dengan spiritualitas dan kearifan (Wungu/Ungu). Ini adalah upaya uri-uri (melestarikan) sejarah yang didasarkan pada petilasan lokal, termasuk Punden dan petilasan yang diyakini sebagai tempat persinggahan Ratu Majapahit tersebut.

  1. Pengembangan Desa Wisata: Festival ini menjadi agenda tahunan (sebagai ruwatan dan wujud syukur) yang memperkuat status Losari sebagai Desa Wisata Budaya Kencono Wungu. Pemerintah desa telah berupaya mengembangkan lokasi wisata ini, bahkan merencanakan pembangunan taman dan panggung, agar festival ini memiliki lokasi permanen dan terkelola secara profesional oleh Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS).
  2. Dampak Ekonomi: Kehadiran festival selama tiga hari menarik ribuan pengunjung dari Jombang dan sekitarnya. Ini secara langsung memutar roda ekonomi lokal, mulai dari pedagang kecil, pengrajin suvenir, hingga pelaku Jamu Gendong. Pendapatan Asli Desa (PADes) diharapkan meningkat, membuktikan bahwa pelestarian budaya adalah investasi ekonomi yang berkelanjutan.

Warisan untuk Generasi Z

Festival Budaya Kencono Wungu pada 8, 9, dan 10 November 2025 adalah sebuah tonggak. Ia bukan sekadar tontonan akhir tahun, melainkan sebuah kurikulum terbuka tentang sejarah Jombang, sebuah demonstrasi kekuatan persatuan (guyub rukun) desa, dan sebuah panggung bagi potensi ekonomi.

Dari tasyakuran yang rendah hati, pawai yang heroik, hingga pagelaran wayang yang sarat makna, Desa Losari telah berhasil membuktikan bahwa warisan budaya adalah aset paling berharga. Dengan melibatkan generasi muda dalam setiap fragmen acara, festival ini memastikan bahwa Kencono Wungu tidak hanya menjadi nama ratu dari masa lalu, tetapi juga identitas masa depan yang cemerlang bagi Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang.

Tinggalkan Balasan