Di tengah hiruk pikuk digital dan arus informasi yang tak terbendung, ada kerinduan akan dialog yang mendalam, jujur, dan substantif. Sebuah obrolan yang tidak hanya mengambang di permukaan, tetapi berani masuk ke “ruang dalam” untuk membahas apa yang benar-benar penting. Kerinduan inilah yang coba dijawab oleh “Podcast: Obrolan Orang Dalam”, sebuah inisiatif media komunikasi yang mengambil momentum krusial: Hari Jadi Kabupaten Jombang ke-115.
Pada hari Senin, 13 Oktober 2025, dari ruang podcast resmi di Kantor DPRD Kabupaten Jombang, sebuah episode spesial mengudara. Episode ini mengangkat tema yang ambisius namun relevan: “Memaknai Ulang Tahun Kabupaten Jombang ke – 115. Momentum Refleksi dan Merayakan untuk Jombang Lebih Maju dan Sejahtera”.
Ini bukan sekadar siaran ucapan selamat. Ini adalah sebuah diseksi intelektual dan kultural yang difasilitasi oleh sang Host, dengan menghadirkan dua narasumber dari dua pilar pemerintahan yang fundamental: seorang Anggota DPRD Kabupaten Jombang dan perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud).
Episode ini dirancang tidak hanya untuk merayakan, tetapi untuk merefleksikan, mengevaluasi, dan menginspirasi. Dengan mengundang legislatif (sebagai representasi kebijakan, pengawasan, dan aspirasi publik) serta eksekutif di bidang pendidikan dan kebudayaan (sebagai penjaga moral, identitas, dan sumber daya manusia), “Obrolan Orang Dalam” berhasil memposisikan diri sebagai jembatan esensial antara pemerintah dan masyarakat. Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana podcast ini membedah makna 115 tahun Jombang, dari refleksi sejarah hingga gegap gempita perayaan Jombang Fest.
Suara dari Ruang Dalam – Misi di Balik Podcast
Sebelum menyelam ke dalam substansi obrolan, penting untuk memahami mengapa podcast ini ada. “Obrolan Orang Dalam” adalah sebuah pernyataan sikap. Diadakan di ruang podcast DPRD, ia menyimbolkan transparansi. Nama “Orang Dalam” bukanlah tentang eksklusivitas, melainkan tentang otentisitas—membawa percakapan yang biasanya terjadi di ruang-ruang tertutup kebijakan ke telinga publik.
Episode spesial Hari Jadi ini memiliki dua tujuan besar, seperti yang terartikulasi dalam kerangka produksinya. Secara internal, ini adalah ajang partisipasi aktif, penguatan kolaborasi antar-instansi, dan sarana menumbuhkan kebanggaan internal aparatur. Secara eksternal, tujuannya jauh lebih luas: memberikan edukasi sejarah, mempromosikan Jombang Fest, mendorong keterlibatan publik (khususnya pemuda), dan yang terpenting, membangun citra pemerintah yang terbuka dan kreatif.
Pilihan narasumber adalah kunci. Anggota DPRD hadir membawa kacamata pengawasan, anggaran, dan politik (dalam arti policy). Sementara Disdikbud hadir sebagai penjaga software kabupaten: nilai-nilai, karakter, dan warisan budaya. Perpaduan ini menjanjikan sebuah diskusi yang seimbang antara pembangunan fisik (hardware) dan pembangunan jiwa (software). Dengan nada semi-formal yang diselingi “guyonan ringan,” episode ini berhasil mengemas topik-topik berat menjadi santapan audio yang hangat dan bersahabat.
Segmen 1 – Refleksi 115 Tahun: Menjenguk Masa Lalu untuk Menata Masa Depan
Segmen pembuka podcast ini langsung menusuk ke jantung perayaan: refleksi. Host membuka dengan pertanyaan fundamental, “Apa makna momen 115 tahun ini bagi masyarakat dan Pemerintah Jombang?”
Diskusi ini segera beralih dari sekadar angka menjadi sebuah perenungan filosofis. Perwakilan Disdikbud, dengan otoritasnya di bidang sejarah dan budaya, diyakini telah membawa pendengar menelusuri lorong waktu. Pembahasan tentang “kelahiran” Jombang, arti nama “Jombang” (yang sering dikaitkan dengan akronim Ijo dan Abang), serta peran tokoh-tokoh penting (seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Chasbullah, dan tokoh-tokoh pendiri lainnya) menjadi fondasi. Ini bukan sekadar trivia, melainkan penegasan identitas Jombang sebagai “Kota Santri” dan kawah candradimuka pluralisme.
Fakta-fakta menarik yang mungkin belum banyak diketahui publik—seperti asal-usul budaya khas (misalnya, wayang topeng Jatiduwur atau kesenian Besutan)—menjadi bumbu yang memperkaya obrolan. Tujuannya jelas: agar masyarakat tidak tercerabut dari akarnya.
Dari sisi Anggota DPRD, refleksi ini diarahkan pada perjalanan tata kelola. Pertanyaan tentang “perubahan apa yang paling terasa” dijawab dari dua sisi. Secara kasat mata, tentu infrastruktur, digitalisasi layanan, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, yang lebih substansial adalah perubahan mindset pelayanan publik. Legislator kemungkinan besar menyoroti bagaimana fungsi pengawasan DPRD telah berevolusi, dari sekadar stempel menjadi mitra kritis pemerintah dalam memastikan pembangunan tepat sasaran.
Segmen ini ditutup dengan kesimpulan kuat bahwa Hari Jadi bukanlah sekadar seremonial. Bagi Disdikbud, ini adalah evaluasi terhadap seberapa jauh nilai-nilai luhur pendiri terwariskan. Bagi DPRD, ini adalah mimbar akuntabilitas untuk menilai apakah arah pembangunan sudah sesuai dengan aspirasi rakyat yang mereka wakili.
Segmen 2 – Arah Baru Jombang: Menjahit Pembangunan dengan Benang Kebudayaan
Setelah memantapkan pijakan sejarah, podcast beralih ke masa kini dan masa depan. Segmen kedua mengeksplorasi bagaimana Jombang bergerak maju. Pertanyaan inti di sini adalah, “Bagaimana pembangunan dan kebudayaan berjalan beriringan?”
Ini adalah titik temu sempurna bagi kedua narasumber. Perwakilan Disdikbud diyakini kuat menekankan bahwa kebudayaan bukanlah objek pajangan, melainkan fondasi pembangunan. Nilai-nilai lokal—kejujuran, kerja keras, toleransi, dan religiusitas—yang ditanamkan melalui kurikulum pendidikan (baik formal maupun non-formal) adalah modal sosial utama Jombang. Tanpa fondasi karakter ini, pembangunan fisik hanya akan menghasilkan menara gading yang rapuh.
Anggota DPRD menimpali dari sisi kebijakan. Momentum Hari Jadi dimanfaatkan untuk memperkuat kolaborasi. Bagaimana DPRD memastikan bahwa alokasi anggaran (APBD) tidak hanya fokus pada infrastruktur (hard-skill), tetapi juga pada penguatan pendidikan karakter, pelestarian cagar budaya, dan ruang-ruang ekspresi kreatif (ranah Disdikbud).
Ketika ditanya tentang pencapaian membanggakan, Disdikbud mungkin menyoroti peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), prestasi siswa di tingkat nasional, atau revitalisasi situs-situs budaya. Sementara DPRD mungkin berbicara tentang keberhasilan program-program pro-rakyat yang didorong melalui fungsi legislasi mereka.
Namun, “Obrolan Orang Dalam” tidak tergelincir menjadi ajang saling puji. Diskusi tentang tantangan menjadi bukti kredibilitasnya. Isu-isu krusial seperti pemerataan kualitas pendidikan antara wilayah kota dan pinggiran, tantangan digitalisasi di pondok pesantren, dan penguatan ekonomi kreatif serta UMKM, dibahas secara terbuka.
Segmen ini juga secara khusus menyoroti peran anak muda dan UMKM. Mereka bukan lagi objek, melainkan subjek pembangunan. Disdikbud memaparkan perannya dalam menciptakan ekosistem kreatif di sekolah, sementara DPRD menegaskan komitmennya dalam menciptakan regulasi yang ramah bagi wirausahawan muda.
Segmen 3 – Pesta Kolaborasi: Jombang Fest sebagai Simbol “Karya, Karsa, & Rasa”
Setelah refleksi mendalam dan diskusi pembangunan yang padat, podcast memasuki segmen yang paling ditunggu-tunggu publik: Jombang Fest. Host dengan cerdik menjadikannya sebagai bridging, sebagai simbol rasa syukur dan optimisme bersama.
Di sinilah letak keunikan episode ini. Jombang Fest tidak dibahas sebagai event yang terpisah, melainkan sebagai kulminasi dari semua yang telah didiskusikan. Narasumber diajak untuk memaknai tema besar Jombang Fest tahun ini: “Pesona Budaya, Karya, Karsa, & Rasa”.
Analisis tema ini dalam podcast menjadi sangat menarik:
- Pesona Budaya: Ini adalah domain utama Disdikbud. Festival ini menjadi panggung bagi sekolah-sekolah, sanggar seni, dan komunitas budaya untuk menampilkan pesona warisan leluhur.
- Karya: Ini adalah representasi dari ekonomi kreatif dan UMKM. Festival ini adalah etalase bagi “karya” nyata masyarakat Jombang, dari kerajinan tangan hingga inovasi kuliner.
- Karsa: Ini adalah “niat” atau “kehendak” bersama. Dalam konteks ini, “karsa” adalah kemauan politik (political will) dari pemerintah (Eksekutif dan Legislatif/DPRD) untuk memfasilitasi dan mewadahi kreativitas warganya.
- Rasa: Ini adalah dimensi komunal. “Rasa” syukur, “rasa” memiliki (sense of belonging), dan “rasa” kebersamaan yang tercipta saat seluruh elemen masyarakat tumpah ruah dalam satu perayaan.
Kedua narasumber mengamini bahwa Jombang Fest adalah bentuk nyata dari kolaborasi lintas sektor. Disdikbud menggerakkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan. DPRD, melalui fungsinya, memastikan dukungan (termasuk anggaran) dan partisipasi konstituennya. Dinas lain (seperti Koperasi & UMKM, Pariwisata, Kominfo) serta komunitas dan swasta (seperti Bank Jatim) turut bersinergi.
Episode ini juga menjadi sarana sosialisasi yang efektif. Pesan yang ingin disampaikan jelas: Jombang Fest tahun ini berbeda, lebih inklusif, dan lebih mengakar pada identitas lokal. Ini adalah pesta dari, oleh, dan untuk rakyat Jombang.
Segmen 4 dan Penutup – Mengikat Harapan, Menyebar Undangan
Di penghujung obrolan, suasana menjadi lebih personal. Host meminta kedua narasumber menyampaikan harapan pribadi mereka untuk Jombang di usia baru.
Anggota DPRD mungkin berharap agar partisipasi publik dalam pembangunan semakin meningkat, agar Jombang tidak hanya maju secara fisik tetapi juga adil secara sosial. Agar legislatif dan eksekutif terus kompak dalam melayani.
Perwakilan Disdikbud, selaras dengan tugasnya, kemungkinan besar berharap agar generasi muda Jombang tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, cerdas, inovatif, namun tetap nguri-uri (melestarikan) budaya dan menghormati para kiai dan pendahulunya.
Pesan penutup untuk warga Jombang dirangkum dalam ajakan untuk “terus mencintai dan membangun kota Jombang.” Cinta yang dimaksud adalah cinta yang aktif, yang diwujudkan dengan menjaga kebersihan, berprestasi di bidang masing-masing, dan berkontribusi positif bagi lingkungan.
Podcast ditutup secara apik. Host merangkum poin-poin utama diskusi, mulai dari pentingnya sejarah sebagai kompas moral, sinergi antara pembangunan dan kebudayaan, hingga Jombang Fest sebagai perayaan kolaboratif.
Yang tak kalah penting, closing ini juga berfungsi sebagai call to action (CTA) yang praktis. Host menginformasikan agenda pelaksanaan Jombang Fest, akun-akun media sosial resmi yang bisa diakses untuk informasi lebih lanjut, dan secara eksplisit mengajak seluruh pendengar untuk hadir meramaikan. Ini adalah eksekusi cerdas dari output yang diharapkan: sosialisasi dan peningkatan partisipasi publik.
Kesimpulan: Melampaui Obrolan, Menjadi Gerakan
Episode “Memaknai Ulang Tahun Kabupaten Jombang ke – 115” dari “Podcast: Obrolan Orang Dalam” ini lebih dari sekadar konten audio. Ia adalah sebuah artefak digital yang mendokumentasikan pemikiran kolektif para pemangku kebijakan di momentum penting.
Secara cerdas, podcast ini telah memenuhi semua tujuannya. Bagi internal pemerintah, ia menjadi bukti sinergi yang solid. Bagi eksternal, ia adalah media edukasi, promosi, dan undangan yang sangat humanis. Produksi audio dan video yang diunggah ke berbagai platform (YouTube, Instagram, TikTok) memastikan pesan ini menjangkau audiens terluas, terutama generasi muda.
Integrasi promosi produk UMKM lokal secara halus di tengah episode—seperti Kopi Exelsa Jombang, Air Tiber, dan dukungan dari Bank Jatim—bukanlah sekadar “tempelan” iklan. Itu adalah implementasi langsung dari tema “Karya”, sebuah dukungan nyata pada ekonomi kerakyatan yang sedang dibahas.
“Obrolan Orang Dalam” telah berhasil membuka pintu ruang rapat DPRD. Mereka tidak hanya berbicara tentang rakyat, tetapi berbicara kepada rakyat. Dengan menjadikan refleksi sejarah sebagai fondasi, pembangunan karakter sebagai pilar, dan Jombang Fest sebagai atap perayaannya, episode ini telah memberikan makna utuh bagi 115 tahun perjalanan Kabupaten Jombang, sekaligus menyalakan obor optimisme untuk Jombang yang lebih maju dan sejahtera.