Di tengah gempuran modernisasi dan perubahan iklim yang kian nyata, Desa Pakel di Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kembali menunjukkan jati dirinya sebagai penjaga warisan leluhur dan pelestari alam. Pada hari Minggu, 9 November 2025, desa ini menjadi saksi bisu kebangkitan agung sebuah tradisi yang sarat makna spiritual dan ekologis: Arak Tumpeng Panca Thuk.
Dengan mengusung tema universal dan mendesak, “Menjaga Alam, Bumi, Air dan Udara Adalah Tugas Kita Semua”, perhelatan budaya ini bukan sekadar arak-arakan tumpeng biasa. Ia adalah sebuah ritual kuno yang kembali dihidupkan, sebuah janji spiritual masyarakat kepada bumi, serta sebuah panggilan kepada generasi muda untuk merangkul kembali akar budaya mereka yang berharga.
Kirab Budaya Arak Tumpeng Panca Thuk, yang berakhir di Dusun Curah Paras, adalah momen penanda kebangkitan setelah tertidur panjang. Setelah vakum selama hampir 48 tahun, terakhir diselenggarakan pada tahun 1975, tradisi ini bangkit kembali pada tahun 2023 dan 2024, hingga mencapai puncaknya di tahun 2025. Kebangkitan ini membuktikan kekuatan komitmen masyarakat Desa Pakel untuk “menguri-uri” (melestarikan) kebudayaan, menjadikannya tonggak baru dalam kalender budaya Kabupaten Jombang.
Tinjauan Historis dan Makna Kebangkitan
Tradisi Arak Tumpeng Panca Thuk adalah refleksi mendalam dari kearifan lokal masyarakat agraris Pakel. Dalam bahasa Jawa, Tumpeng melambangkan rasa syukur, sementara Panca Thuk (sering juga disebut Panca Tuk) secara harfiah berarti “Lima Mata Air”. Ritual ini berakar pada pemahaman kuno bahwa air adalah sumber kehidupan, yang harus dihormati dan dijaga keberlangsungannya.
Vakumnya kegiatan ini sejak tahun 1975 hingga muncul kembali di tahun 2023 menyisakan sebuah kesenjangan sejarah yang signifikan. Generasi muda Desa Pakel sempat terputus dari narasi luhur ini. Kebangkitan kembali tradisi ini di tahun 2025 menjadi upaya rekonsiliasi budaya, sebuah jembatan yang menghubungkan kembali masa lalu yang sakral dengan masa kini yang dinamis, sekaligus mengukuhkan identitas kolektif.
Panca Thuk: Penyatuan Lima Mata Air Kehidupan
Inti utama dari ritual Arak Tumpeng Panca Thuk adalah prosesi penyatuan lima sumber mata air (Panca Tuk) yang berasal dari lima dusun di Desa Pakel: Dusun Jemparing, Dusun Pakel, Dusun Curah Rejo, Dusun Pakel Wiyu, dan Dusun Curah Paras. Kelima mata air ini, yang merupakan urat nadi kehidupan desa, dibawa dalam wadah khusus dalam kirab dan dipersatukan dalam sebuah ritual sakral.
Penyatuan ini melambangkan kesatuan alam dan masyarakat. Air dari lima sumber, meskipun berbeda lokasi, menyatu menjadi satu kekuatan spiritual dan ekologis. Ini adalah wujud nyata dari tema yang diusung: bahwa upaya menjaga air tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, melainkan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat desa. Air adalah simbol kemakmuran dan kesuburan, dan menjaganya adalah bentuk ketaatan tertinggi kepada Yang Maha Kuasa.
Prosesi penyatuan lima mata air ini diiringi oleh Beksan Tari Majakirana. Tari ini bukan sekadar pertunjukan estetika; ia adalah ritual beksan yang menggambarkan penyatuan lima sumber mata air nagari (negeri) yang disatukan dalam Panca Tuk. Gerakannya yang anggun namun penuh daya magis mencerminkan penghormatan terhadap alam dan permohonan restu agar air kehidupan senantiasa melimpah.
Kirab Budaya dan Ragam Pertunjukan Adat
Rangkaian Kirab Budaya Arak Tumpeng Panca Thuk dimulai dengan arak-arakan tumpeng raksasa yang dihiasi dengan hasil bumi melimpah dari kelima dusun. Tumpeng-tumpeng tersebut—dengan aneka sayur-mayur, palawija, dan buah-buahan—adalah persembahan syukur atas panen dan penolakan bala. Sepanjang perjalanan kirab menuju titik finish di Dusun Curah Paras, masyarakat dari berbagai usia tumpah ruah menampilkan berbagai pertunjukan kebudayaan yang kaya dan beragam.
Kehadiran ragam kebudayaan ini merupakan upaya masif untuk menunjukkan kekayaan artistik Kabupaten Jombang, sekaligus sarana edukasi visual bagi kaum muda. Di antaranya adalah:
- Arak-arakan Gunungan Hasil Bumi: Melambangkan kesuburan tanah dan kesejahteraan.
- Tarian Tradisional: Berbagai tarian lokal yang dipertunjukkan oleh sanggar-sanggar desa.
- Kesenian Rakyat: Seperti Jaranan, Reog, atau musik tradisional lainnya yang menambah semarak suasana.
- Busana Adat: Seluruh peserta kirab mengenakan pakaian adat, menegaskan identitas budaya Jawa Timur.
Tari Ujung Puri Aji: Ritual Memohon Turun Hujan
Setelah ritual penyatuan Panca Tuk selesai, acara mencapai klimaksnya dengan penampilan sakral Tari Adu Kadigdayan Ujung Puri Aji. Tari ini memiliki fungsi yang sangat spesifik dan esensial, yaitu sebagai tari ritual memohon untuk segera disegerakan turun hujan.
Dalam konteks kekeringan yang sering melanda, tari ini adalah ekspresi spiritual masyarakat yang memohon pertolongan langit. Tari Ujung Puri Aji adalah tarian yang bernuansa “adu kadigdayan” (adu kesaktian), di mana gerak dan musiknya mengandung energi permohonan dan kekuatan mistis. Harapannya, dengan dilaksanakannya ritual ini, masyarakat dapat segera bercocok tanam dan terhindar dari kekeringan berkepanjangan yang mengancam sektor pertanian.
Tarian ini merupakan pengingat penting bahwa manusia sangat bergantung pada siklus alam. Hujan tidak hanya ditunggu, tetapi juga harus dimohonkan melalui cara-cara yang menghormati tradisi dan kearifan lokal.
Pendidikan Budaya bagi Generasi Muda
Tema “Menjaga Alam, Bumi, Air dan Udara Adalah Tugas Kita Semua” memiliki resonansi yang kuat, terutama bagi kaum pemuda-pemudi. Kebangkitan Arak Tumpeng Panca Thuk di tahun 2025 adalah strategi cerdas untuk mengenalkan lebih banyak kebudayaan Kabupaten Jombang kepada generasi muda.
Generasi muda, yang nantinya akan menjadi “tombak ujung yang baru,” perlu memahami bahwa melestarikan budaya sama pentingnya dengan menjaga lingkungan. Mereka tidak hanya mewarisi kesenian, tetapi juga mewarisi etika ekologis yang terkandung dalam setiap ritual.
Dalam Arak Tumpeng Panca Thuk, kaum muda dilibatkan secara aktif. Mereka adalah penari Majakirana, pembawa Panca Tuk, hingga pengarak tumpeng. Keterlibatan langsung ini mengubah mereka dari sekadar penonton menjadi pewaris dan pelaku budaya. Harapannya, nilai-nilai seperti gotong royong, rasa syukur, dan penghormatan terhadap air dan tanah akan tertanam kuat, membentuk karakter pemimpin masa depan yang peduli pada kelestarian lingkungan dan budaya.
Pesta Rakyat: Rebutan Tumpeng dan Kebersamaan
Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan seremonial ini ditutup dengan momen paling ditunggu: rebutan tumpeng dan sayur mayur hasil pertanian. Tumpeng dan segala isinya, yang sebelumnya menjadi simbol persembahan, kini menjadi berkah yang harus dibagikan dan dinikmati bersama-sama.
Momen “rebutan” ini bukan sekadar perebutan harta, melainkan sebuah simbolisasi dari harapan keberkahan dan rezeki melimpah yang diyakini terkandung dalam hasil bumi yang telah didoakan. Ketika tumpeng dan sayur-mayur dimakan bersama, ia menegaskan kembali semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat Desa Pakel. Batasan sosial melebur, semua warga, baik dari Dusun Jemparing, Pakel, Curah Rejo, Pakel Wiyu, maupun Curah Paras, bersatu dalam satu lingkaran kebahagiaan dan rasa syukur.
Penutup: Sebuah Janji untuk Masa Depan
Arak Tumpeng Panca Thuk pada Minggu, 9 November 2025, bukan hanya sebuah peristiwa budaya yang sukses. Ia adalah manifestasi dari tekad sebuah komunitas untuk bangkit, merawat kearifan lokal, dan menjawab tantangan zaman. Ia adalah janji yang terukir, bahwa tugas menjaga alam, bumi, air, dan udara adalah tugas kolektif yang tak mengenal waktu.
Melalui penyatuan lima mata air, tarian permohonan hujan, dan tumpukan hasil bumi, Desa Pakel telah mengirimkan pesan yang jelas: Budaya dan Lingkungan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kebangkitan tradisi ini adalah warisan terindah yang diserahkan kepada kaum muda, sebuah bekal moral dan spiritual untuk menjadi tombak ujung yang akan membawa Kabupaten Jombang menuju masa depan yang lestari dan berbudaya.