Rengganis adalah permata budaya tak benda dari Banyuwangi, sebuah kesenian drama tradisional atau teater rakyat yang menyimpan sejarah panjang, nilai-nilai luhur, dan tantangan pelestarian di era modern. Dengan akarnya yang kuat dalam tradisi lisan dan pertunjukan, Rengganis—yang juga dikenal sebagai Praburoro atau Umarmoyo—merupakan cerminan akulturasi budaya yang kaya dan menjadi sarana penting dalam pendidikan moral dan kultural masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi.
Asal Usul Kesenian Rengganis
Kesenian Rengganis diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Mataram Islam. Kesenian ini merupakan bentuk drama tradisional yang berkembang di Banyuwangi, mengambil inspirasi cerita dari kitab Serat Menak, yang berisi kisah-kisah kepahlawanan dan penyebaran agama Islam di Persia, dengan tokoh sentral seperti Putri Rengganis dan Adipati Umarmoyo.
Awalnya, Rengganis mungkin merupakan pengembangan dari pertunjukan Wayang Uwong Menak yang kemudian bergeser fokus ceritanya ke tokoh Dewi Rengganis dan kehidupan masyarakat Blambangan, cikal bakal Banyuwangi. Ciri khas kesenian ini adalah sifatnya yang akulturatif dan kolaboratif, menggabungkan unsur-unsur dari berbagai jenis seni pertunjukan Jawa, seperti:
- Wayang Orang
- Kethoprak
- Ludruk
- Janger/Damarwulan
- Ande-ande Lumut
- Gandrung
Teknik pentas dan gaya berdialog (jejer atau sampa’an) menyerupai wayang orang, dengan karakteristik tarian dan gending pengiring yang khas untuk setiap tokoh, seperti Jemblung (abdi Umarmoyo), Lamdahur, dan Patih Tejomatal. Meskipun berlatar cerita Islam, unsur-unsur lokal dan mistis juga melekat, seperti kalimat-kalimat mantra yang sering diucapkan Umarmoyo untuk mendapatkan kekuatan senjata pusakanya.
Manfaat Awal Kemunculan Rengganis
Rengganis muncul tidak hanya sebagai hiburan semata, tetapi juga mengemban fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan kultural masyarakat pada masanya.
1. Sarana Pendidikan Kultural dan Moral
- Pendidikan Kultural: Penggunaan bahasa daerah (bahasa Osing), musik daerah, dan elemen-elemen etnis lainnya dalam pertunjukan berfungsi sebagai media transfer pengetahuan dan pelestarian budaya lokal.
- Pendidikan Moral: Alur cerita yang sering kali menggambarkan kemenangan tokoh baik (seperti Umarmoyo dan Rengganis) atas tokoh jahat memberikan pelajaran moral dan budi pekerti kepada penonton.
2. Media Dakwah dan Penyebaran Agama Islam
Kisah yang diangkat dari Serat Menak memiliki kaitan erat dengan penyebaran Islam. Rengganis menjadi cara yang populer dan mudah diterima oleh masyarakat untuk menyampaikan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.
3. Hiburan dan Pemenuhan Hajat Hidup
Sebagai teater rakyat, Rengganis menjadi bentuk hiburan utama yang dinikmati masyarakat, sering kali dipentaskan dalam acara hajatan, bersih desa, atau upacara ritual lainnya. Pertunjukan juga memiliki fungsi ritual, seperti doa tolak bala, yang merefleksikan penyatuan kosmik antara manusia, alam, dan Tuhan.
4. Alat Komunikasi dan Propaganda
Pada masa-masa pergolakan politik, khususnya sekitar tahun 1960-an, Rengganis pernah dimanfaatkan sebagai alat propaganda oleh lembaga-lembaga kebudayaan politik tertentu, menunjukkan perannya sebagai media komunikasi massa yang efektif.
Perkembangan Rengganis sebagai Ekspresi Budaya Tradisional
Seiring waktu, Rengganis terus berproses sebagai ekspresi budaya tradisional. Kesenian ini bertahan melalui komunitas dan sanggar-sanggar di desa-desa tertentu di Banyuwangi, seperti di Desa Cluring, Sumbersewu, dan Tegaldlimo.
Akulturasi dan Sifat Adaptif
Perkembangan Rengganis ditandai dengan sifatnya yang adaptif. Ia mampu menyerap dan memadukan berbagai unsur kesenian lain. Fleksibilitas ini membuktikan bahwa budaya tradisional dapat berinteraksi tanpa kehilangan identitas intinya. Kesenian ini bukan sekadar pementasan cerita, tetapi sebuah sistem, gagasan, dan karya yang hidup dalam masyarakat.
Pengakuan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
Pada tahun 2021, Kesenian Rengganis resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh pemerintah pusat melalui Gubernur Jawa Timur. Penetapan ini menjadi titik balik penting yang memberikan perlindungan hukum, penghormatan, dan pengakuan formal atas nilai historis dan kultural Rengganis. Hal ini juga menjadi momentum bagi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk meningkatkan upaya pelestarian.
Pergeseran Fungsi dan Nilai Ekonomi
Di tengah redupnya popularitas, ada upaya untuk mengembangkan nilai ekonomi Rengganis. Selain nilai filsafati, kini kesenian ini diharapkan dapat berdampak pada perekonomian masyarakat melalui pementasan dalam festival budaya, undangan dari dinas pariwisata, atau sebagai atraksi wisata.
Usaha Melestarikan Kesenian Rengganis
Melihat kondisi Rengganis yang berada di ambang kepunahan, berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga komunitas seniman, telah melakukan serangkaian upaya pelestarian.
- Penetapan sebagai WBTB: Langkah formal ini merupakan payung perlindungan tertinggi, memastikan kesenian ini tercatat dan diakui secara nasional.
- Dokumentasi dan Pengarsipan: Melakukan riset, pembuatan film dokumenter, dan penerbitan buku informasi bergambar (misalnya, buku ilustrasi tentang tokoh, busana, dan cerita Rengganis) untuk keperluan pendidikan dan referensi.
- Fasilitasi Pementasan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi sering kali mengundang dan memfasilitasi pementasan Rengganis dalam acara atau festival budaya daerah (seperti Banyuwangi Festival), memberikan ruang bagi kelompok seni untuk tampil dan mendapatkan pemasukan.
- Sosialisasi dan Revitalisasi: Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) dan sanggar yang masih aktif (seperti Sanggar Langen Sedya Utama di Desa Cluring) terus melakukan sosialisasi untuk mengembalikan minat masyarakat, termasuk upaya menyesuaikan pertunjukan dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan esensi tradisi.
- Kolaborasi Seniman: Upaya kolaborasi antara seniman Rengganis dengan seniman seni pertunjukan lain (misalnya Janger) untuk menciptakan pertunjukan baru yang lebih menarik bagi audiens muda.
Hambatan dalam Melestarikan Rengganis
Di balik upaya pelestarian, terdapat sejumlah tantangan dan hambatan signifikan yang menyebabkan Rengganis berada di ujung tanduk.
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Ini adalah hambatan utama. Generasi muda lebih tertarik pada budaya populer modern, hiburan digital, dan kesenian kontemporer, sehingga menganggap seni tradisional seperti Rengganis kurang menarik atau ketinggalan zaman.
- Persaingan dengan Kesenian Lain: Rengganis harus bersaing ketat dengan jenis hiburan lain, baik kesenian lokal yang lebih populer seperti Janger, maupun hiburan modern dari perkembangan teknologi informasi dan media sosial yang sangat pesat.
- Keterbatasan Finansial (Biaya Produksi dan Operasional): Biaya untuk “menanggap” (mengundang) kesenian Rengganis cukup mahal, mencapai puluhan juta rupiah, membuat masyarakat umum berpikir dua kali untuk mengadakannya. Selain itu, kurangnya dukungan dana rutin dari pemerintah daerah (terutama untuk perawatan alat dan latihan rutin sanggar) membuat para pelaku seni kesulitan bertahan.
- Regenerasi Pelaku Seni yang Sulit: Karena kurangnya minat, sangat sedikit anak muda yang mau mempelajari secara mendalam untuk menjadi pemain (lakon) utama, meskipun ada yang terlibat dalam iringan musik. Ketika seniman sepuh meninggal dunia, kearifan dan kemampuan mereka sulit tergantikan.
- Kurangnya Panggung dan Animo Masyarakat: Berkurangnya animo masyarakat untuk mengadakan pagelaran Rengganis dalam acara pribadi (hajatan) dan sedikitnya frekuensi pementasan formal, membuat Rengganis semakin jarang terlihat di hadapan publik.
Cara Mengatasi Hambatan Pelestarian Kesenian Rengganis
Mengatasi hambatan pelestarian Rengganis membutuhkan strategi holistik dan kolaboratif dari berbagai pihak.
1. Peningkatan Minat Generasi Muda
- Integrasi ke dalam Kurikulum Pendidikan: Memasukkan materi Rengganis (sejarah, nilai, tarian, musik) sebagai muatan lokal wajib di sekolah-sekolah di Banyuwangi.
- Workshop dan Pelatihan Kreatif: Mengadakan lokakarya yang dikemas secara modern dan menarik, misalnya melalui format short course atau ekstrakurikuler, yang fokus pada adaptasi cerita, kostum, atau penggunaan teknologi dalam pementasan.
- Media Digital dan Konten Kreatif: Memanfaatkan platform media sosial (YouTube, TikTok, Instagram) untuk memproduksi konten Rengganis yang ringkas, visual, dan menarik, seperti cuplikan tarian, kisah tokoh, atau proses di balik layar.
2. Dukungan Finansial dan Infrastruktur
- Anggaran Khusus WBTB: Pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran khusus dan berkelanjutan untuk perawatan alat, kostum, operasional sanggar, dan memberikan insentif/honor yang layak bagi seniman dan pelatih.
- Skema Subsidi “Nanggap”: Pemerintah dapat membuat skema subsidi bagi masyarakat yang ingin mengadakan pementasan Rengganis untuk acara tertentu, sehingga biaya bagi masyarakat menjadi lebih terjangkau.
- Pengembangan Ekowisata Budaya: Mengaitkan Rengganis dengan paket wisata, di mana pertunjukan digelar secara reguler di lokasi wisata tertentu, menciptakan pasar baru dan nilai ekonomi yang berkelanjutan.
3. Inovasi Pertunjukan dan Pemasaran
- Revitalisasi Naskah: Melakukan adaptasi cerita Rengganis agar lebih relevan dengan isu-isu kontemporer tanpa mengubah inti moral cerita, dan mengurangi durasi pementasan agar lebih sesuai dengan selera penonton modern.
- Kolaborasi Lintas Seni: Mendorong kolaborasi antara seniman Rengganis dengan komposer, desainer, atau seniman kontemporer untuk menciptakan format pertunjukan baru (misalnya fusion Rengganis-Kontemporer).
- Pemasaran Profesional: Membentuk tim manajemen profesional untuk sanggar Rengganis, yang bertugas melakukan pemasaran, komunikasi publik, dan negosiasi kontrak pementasan.
Penutup
Kesenian Rengganis adalah harta karun tak ternilai yang merefleksikan identitas dan nilai-nilai luhur masyarakat Banyuwangi. Meskipun menghadapi arus deras modernisasi dan persaingan hiburan, penetapannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda menjadi modal penting untuk kebangkitan. Pelestarian Rengganis bukan hanya tanggung jawab seniman atau pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif yang membutuhkan sinergi antara edukasi yang menarik bagi anak muda, dukungan finansial yang stabil, dan inovasi kreatif yang menjadikannya tetap relevan. Rengganis harus terus bergerak dari sekadar kenangan masa lalu menjadi ekspresi budaya yang hidup, berdaya, dan membanggakan.