Roma Tabing Tongkok: Mahakarya Arsitektur Tradisional Situbondo di Persimpangan Budaya Jawa-Madura

Artikel ini membahas secara mendalam Rumah Adat Roma Tabing Tongkok (RTT) sebagai simbol pengetahuan tradisional dan identitas budaya Situbondo, sebuah wilayah di ujung timur Jawa yang dikenal sebagai kawasan Pendhalungan. Situbondo, yang secara geografis merupakan bagian dari Tapal Kuda, menjadi titik temu harmonis antara budaya Jawa (khususnya Mataraman) dan Madura, yang tercermin paling jelas dalam arsitektur hunian tradisionalnya.


Asal Usul Roma Tabing Tongkok di Situbondo

Situbondo, bersama dengan Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi, adalah wilayah Pendhalungan, yang secara harfiah berarti “tempat bercampurnya atau berlindungnya.” Perpaduan etnis dan budaya ini melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan yang unik, termasuk arsitektur rumah tradisional, yang tidak sepenuhnya Jawa ataupun Madura.

Etimologi dan Makna Arsitektural

Nama Roma Tabing Tongkok secara leksikal dapat diurai untuk memahami esensinya. Roma adalah dialek lokal untuk Rumah. Tabing merujuk pada dinding atau sisi, sedangkan Tongkok sering diinterpretasikan sebagai struktur yang dipancang atau didirikan, mengarah pada konsep rumah panggung atau rumah dengan konstruksi tiang yang kokoh. Secara keseluruhan, Roma Tabing Tongkok merujuk pada jenis rumah tradisional khas Situbondo yang dibangun dengan konstruksi kayu berat, terutama kayu jati, dan memiliki ciri khas struktural yang berbeda dari rumah Jawa atau Madura murni.

Secara historis, perkembangan Rumah Adat Roma Tabing Tongkok didorong oleh faktor geografis dan sosio-ekonomi:

  1. Adaptasi Iklim Pesisir: Situbondo memiliki garis pantai yang panjang. Rumah Adat Roma Tabing Tongkok dikembangkan dengan dasar yang dinaikkan (semi-panggung atau panggung penuh) untuk menghindari kelembaban tanah, serangan hama, dan potensi genangan air di musim hujan.
  2. Ketersediaan Bahan: Situbondo, pada masa lampau, dikelilingi oleh hutan-hutan jati yang melimpah. Kayu jati menjadi pilihan material utama karena kekuatannya, ketahanannya terhadap cuaca ekstrem, dan durabilitasnya yang tinggi, menjadikannya warisan yang diwariskan turun-temurun.
  3. Filosofi Kesederhanaan: Berbeda dengan rumah bangsawan Jawa Tengah, Rumah Adat Roma Tabing Tongkok mencerminkan filosofi hidup masyarakat Pendhalungan yang agraris dan pesisir yang mengutamakan fungsi, kekokohan, dan kesederhanaan, namun tetap menjunjung tinggi nilai estetika dan spiritualitas.

Rumah Adat Roma Tabing Tongkok bukanlah sekadar bangunan, melainkan sebuah manifestasi struktural dari cara pandang masyarakat Situbondo terhadap alam dan lingkungan, menjadikannya inti dari pengetahuan tradisional mereka.


Pengaruh Budaya Jawa dan Madura pada Perkembangan Roma Tabing Tongkok

Arsitektur Rumah Adat Roma Tabing Tongkok adalah contoh nyata sintesis budaya Pendhalungan. Pengaruh Jawa dan Madura tidak saling meniadakan, melainkan melebur dalam harmoni struktural.

Pengaruh Budaya Jawa

Pengaruh Jawa, khususnya dari tipe arsitektur Mataram (Jawa Tengah), sangat kental dalam elemen atap dan struktur kolom utama:

  • Sistem Atap: Rumah Adat Roma Tabing Tongkok sering mengadopsi atau mengadaptasi tipe atap Limasan atau bahkan Joglo sederhana. Atap Joglo, dengan puncaknya yang tinggi, melambangkan gunung sebagai tempat bersemayamnya dewa atau leluhur, sebuah konsep kosmologis Jawa.
  • Struktur Tumpang Sari: Ini adalah ciri khas utama Rumah Adat Roma Tabing Tongkok yang diwarisi dari Jawa. Tumpang Sari adalah susunan balok kayu yang ditumpuk secara bersusun di atas empat tiang utama (soko guru). Struktur ini berfungsi menopang atap sekaligus menampilkan keindahan konstruksi tanpa menggunakan paku, melainkan sistem sambungan pasak yang rumit dan presisi.
  • Pembagian Ruang: Pembagian ruang di Rumah Adat Roma Tabing Tongkok sering mengikuti pola rumah Jawa, seperti adanya ruang depan (pendhapa atau teras luas), ruang tengah (pringgitan atau area transisi), dan ruang dalam (dalem atau area privasi).

Pengaruh Budaya Madura

Pengaruh Madura lebih terlihat pada ketinggian bangunan dan fungsionalitasnya:

  • Konstruksi Panggung/Semi-Panggung: Berbeda dengan Joglo Jawa yang umumnya memiliki pondasi langsung di tanah (kecuali area tertentu), Rumah Adat Roma Tabing Tongkok sering didirikan di atas pondasi batu atau tiang yang ditinggikan. Gaya panggung ini adalah adaptasi khas Madura dan pesisir untuk mengatasi iklim basah dan kelembaban.
  • Fungsionalitas Tinggi: Desain Rumah Adat Roma Tabing Tongkok cenderung lebih lugas dan kuat, menekankan ketahanan struktural daripada ukiran yang terlalu rumit. Desainnya mencerminkan budaya Madura yang menghargai kepraktisan dan kekuatan dalam menghadapi tantangan lingkungan.
  • Ornamen Lokal: Meskipun mengadopsi struktur Jawa, ornamen dan ukiran pada RTT mungkin memiliki motif yang lebih sederhana atau spesifik Pendhalungan, berbeda dengan ukiran Joglo Jogja yang sangat kaya dengan simbolisme kerajaan.

Rumah Adat Roma Tabing Tongkok adalah representasi best of both worlds, menggabungkan estetika spiritualitas Jawa dengan ketangguhan dan kepraktisan Madura.


Perbedaan antara Joglo Yogyakarta dan Joglo Situbondo (Roma Tabing Tongkok)

Meskipun Roma Tabing Tongkok Situbondo mengambil inspirasi dari struktur Joglo, terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya sebagai pengetahuan tradisional Situbondo yang unik.

Kriteria Pembeda Joglo Yogyakarta (Mataram) Roma Tabing Tongkok (Situbondo)
Pusat Budaya Keraton, Bangsawan, Pusat Kekuasaan. Pendhalungan, Pesisir, Masyarakat Agraris.
Struktur Atap Atap Joglo murni, simetris, kemiringan curam. Atap Limasan yang dimodifikasi, atau Joglo sederhana, kemiringan lebih landai.
Material Kayu Jati pilihan kualitas tertinggi, seringkali dari pohon berusia ratusan tahun. Kayu Jati, namun sering menggunakan kayu lokal lain yang kuat jika jati tidak tersedia, lebih menekankan kekokohan.
Ornamentasi Kaya ukiran, detail prada (emas), sangat simbolis dan filosofis. Ukiran lebih sederhana, fungsional, menekankan pada keindahan alami serat kayu.
Ketinggian Pondasi biasanya datar atau sedikit ditinggikan. Sering menggunakan sistem semi-panggung atau panggung untuk adaptasi pesisir.
Fungsi Utama Simbol status sosial, hirarki, dan kosmologi Jawa. Hunian fungsional, tahan lama, adaptasi iklim, dan simbol kekayaan lokal.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa Rumah Adat Roma Tabing Tongkok bukanlah sekadar tiruan, melainkan inovasi arsitektur yang lahir dari kebutuhan lokal, mengakomodasi kondisi geografis dan perpaduan budaya di Situbondo.


Upaya Menjadikan Roma Tabing Tongkok sebagai Pengetahuan Tradisional yang Harus Dilestarikan

Pelestarian Rumah Adat Roma Tabing Tongkok bukan hanya tentang menjaga fisik bangunan, tetapi juga melestarikan pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge) yang terkandung di dalamnya—pengetahuan tentang teknik sambungan kayu tanpa paku, filosofi ruang, dan kearifan lokal dalam memilih bahan.

Strategi Pelestarian Komprehensif

  1. Inventarisasi dan Dokumentasi Arsitektur (Konservasi Intelektual):
    • Pemerintah daerah perlu melakukan pendataanRumah Adat Roma Tabing Tongkok yang masih asli.
    • Melakukan studi blue print rinci, mencatat teknik konstruksi (tumpang sari, sambungan pasak), dan dimensi. Dokumentasi ini harus diarsipkan sebagai referensi untuk generasi mendatang.
  2. Regulasi dan Kebijakan Pelestarian (Konservasi Formal):
    • Penetapan RTT sebagai Cagar Budaya atau Bangunan Bernilai Sejarah oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo.
    • Pemberian insentif fiskal (potongan pajak PBB) bagi pemilik rumah Rumah Adat Roma Tabing Tongkok yang berkomitmen untuk memelihara keasliannya.
  3. Edukasi dan Regenerasi Keahlian (Konservasi Sumber Daya Manusia):
    • Integrasi materi tentang Rumah Adat Roma Tabing Tongkok ke dalam kurikulum muatan lokal sekolah di Situbondo (Sejarah, Seni, dan Teknik Bangunan).
    • Penyelenggaraan Workshop Tukang Kayu Tradisional yang berfokus pada teknik sambungan pasak dan konstruksi soko guru, guna mentransfer keahlian dari generasi tua kepada generasi muda.
  4. Pemanfaatan Ekonomis (Konservasi Fungsional):
    • Mendorong penggunaan Rumah Adat Roma Tabing Tongkok sebagai homestay atau penginapan berbasis budaya. Ini memberikan nilai ekonomi langsung, sehingga pemilik terdorong untuk merawat rumahnya.
    • Mendirikan pusat budaya atau museum mini di rumah RTT untuk pameran kerajinan lokal dan sejarah Situbondo.

Melalui langkah-langkah ini, RRumah Adat Roma Tabing Tongkok dapat diangkat dari sekadar bangunan menjadi Pengetahuan Tradisional yang Hidup, relevan, dan bernilai ekonomis.


Tantangan Pelestarian Roma Tabing Tongkok: Mahalnya Biaya Kayu Jati

Tantangan terbesar yang dihadapi dalam pelestarian Rumah Adat Roma Tabing Tongkok adalah faktor ekonomi, yang berpusat pada ketersediaan dan mahalnya kayu jati.

Ketergantungan pada Kayu Jati

Rumah Adat Roma Tabing Tongkok dirancang untuk menggunakan kayu jati karena daya tahan, kekuatan, dan ketahanannya terhadap rayap. Dalam konstruksi tradisional, terutama pada bagian vital seperti soko guru dan balok tumpang sari, hanya kayu jati kualitas terbaik (jati super) yang digunakan.

Masalah Biaya dan Kelangkaan

  1. Kelangkaan Sumber Daya: Penebangan hutan yang tidak terkontrol di masa lalu dan permintaan pasar yang tinggi (lokal maupun internasional) telah membuat stok kayu jati tua berkualitas tinggi menjadi sangat langka.
  2. Harga yang Melambung Tinggi: Kayu jati kini dihargai sangat mahal, menjadikannya barang mewah. Satu set soko guru dengan kualitas prima bisa berharga ratusan juta rupiah. Harga total pembangunan satu unit RTT otentik bisa jauh melampaui biaya membangun rumah modern dengan batu bata dan semen.
  3. Generasi Penerus: Generasi muda Situbondo, yang dihadapkan pada keterbatasan ekonomi, cenderung memilih bahan bangunan instan dan murah (bata ringan, semen). Rumah Adat Roma Tabing Tongkok dianggap sebagai warisan yang tidak feasible (tidak layak secara ekonomi) untuk dipertahankan atau dibangun ulang.
  4. Kualitas Tukang: Biaya tukang kayu yang menguasai teknik sambungan tradisional juga mahal karena keahlian tersebut semakin langka.

Solusi Mitigasi (Mencari Jalan Tengah)

Untuk mengatasi tantangan biaya material yang mahal, beberapa solusi perlu dipertimbangkan:

  • Pemanfaatan Jati Rakyat dan Jati Bersertifikat: Mendorong penggunaan kayu jati dari perkebunan rakyat yang dikelola secara berkelanjutan. Meskipun kualitasnya mungkin berbeda dari jati hutan tua, ini adalah kompromi yang realistis.
  • Substitusi Material Terseleksi: Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi kayu lokal lain yang memiliki sifat mendekati jati (misalnya, beberapa jenis kayu besi atau kayu keras lainnya) yang dapat digunakan pada bagian rumah yang tidak terlalu menuntut kekuatan absolut, sambil tetap mempertahankan jati pada struktur utama.
  • Skema Bantuan Material: Pemerintah daerah dapat membuat program subsidi atau bank material kayu tradisional untuk membantu pemilik rumah adat yang ingin merestorasi atau membangun ulang Rumah Adat Roma Tabing Tongkok mereka.
  • Aspek Ekonomi Wisata: Apabila Rumah Adat Roma Tabing Tongkok diakui sebagai daya tarik wisata, investasi dalam kayu jati akan menjadi investasi jangka panjang yang dapat kembali melalui pendapatan pariwisata.

Kesimpulan

Rumah Adat Roma Tabing Tongkok Situbondo adalah harta tak ternilai yang merangkum kearifan lokal, mencerminkan akulturasi budaya Jawa dan Madura yang harmonis di kawasan Pendhalungan. Bangunan ini merupakan perpustakaan pengetahuan tradisional yang menceritakan tentang teknik konstruksi tanpa paku, adaptasi iklim, dan filosofi hidup masyarakat Situbondo.

Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, terutama terkait tingginya biaya kayu jati, pelestarian Rumah Adat Roma Tabing Tongkok adalah keharusan. Upaya bersama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal melalui dokumentasi, edukasi, dan penciptaan nilai ekonomi baru adalah kunci untuk memastikan bahwa mahakarya arsitektur ini dapat terus berdiri kokoh, mewariskan sejarah dan identitas Situbondo kepada generasi yang akan datang. Melestarikan Roma Tabing Tongkok berarti menyelamatkan sepotong jiwa dan kearifan Situbondo.

Tinggalkan Balasan