Usaha Pelestarian Seni Tembang Macapat di Jombang, Jawa Timur

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang menggerus identitas budaya lokal, seni tembang macapat tetap berdiri tegak sebagai pilar kebudayaan Jawa. Tembang macapat, yang merupakan bentuk puisi tradisional Jawa Kuno berirama, bukan hanya sekadar seni vokal, melainkan juga wadah filosofi hidup, nilai moral, dan warisan leluhur yang kaya akan makna. Pupuh-pupuh seperti Pangkur, Sinom, Asmarandana, dan Kinanthi, dengan cengkok (gaya nyanyian) yang khas serta iringan gamelan slendro-pelog, mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dalam tradisi Jawa. Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur—sebuah daerah yang dikenal sebagai “kota santri” dengan campuran kuat antara Islam dan budaya Jawa—tembang macapat memiliki posisi istimewa sebagai jembatan antara spiritualitas dan estetika.

Jombang, dengan luas wilayah 1.119 km² dan populasi lebih dari 1,2 juta jiwa, bukan hanya pusat pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren Tebuireng, tetapi juga gudang seni tradisional. Namun, seperti banyak warisan budaya tak benda lainnya, tembang macapat menghadapi ancaman punah akibat minimnya minat generasi muda yang lebih terpikat pada musik pop dan konten digital. Menurut data dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, tembang macapat kini cenderung diidentikkan dengan kalangan tua, padahal potensinya sebagai media pendidikan moral dan identitas daerah sangat besar. Di sinilah usaha pelestarian menjadi krusial. Pemerintah daerah, seniman lokal, dan komunitas pendidikan telah bergerak nyata untuk menghidupkan kembali seni ini melalui workshop, festival, dan program rutin.

Artikel ini mengupas tuntas usaha pelestarian tembang macapat di Jombang, mulai dari inisiatif pendidikan hingga peran seniman dan pemerintah. Dengan panjang sekitar 2.000 kata, pembahasan ini diharapkan memberikan inspirasi bagi pelaku budaya untuk terus menjaga api tradisi tetap menyala. Di era digital 2025, di mana Jombang Fest baru saja sukses digelar, pelestarian ini bukan hanya soal nostalgia, tapi juga strategi untuk memperkuat daya saing pariwisata budaya daerah.

Sejarah Tembang Macapat di Jombang

Tembang macapat memiliki akar sejarah yang dalam di tanah Jawa, khususnya Jombang, yang terletak di jalur perdagangan dan penyebaran budaya Majapahit. Seni ini pertama kali muncul pada abad ke-15 sebagai bagian dari Serat Centhini dan Serat Wedhatama karya Ronggowarsito, di mana macapat digunakan untuk menyampaikan ajaran moral dan filosofi kehidupan. Di Jombang, tembang macapat berkembang sejak era kolonial, dipengaruhi oleh tradisi wayang orang dan ludruk, di mana sinden sering membawakan pupuh-pupuh untuk mengiringi cerita epik. Desa-desa seperti Mojoagung dan Diwek menjadi pusat awal, di mana kelompok macapat lahir dari lingkungan pesantren yang menggabungkan ilmu nahwu (tata bahasa Arab) dengan sastra Jawa.

Pada masa pasca-kemerdekaan, tembang macapat di Jombang mengalami pasang surut. Di tahun 1960-an, seni ini populer sebagai hiburan rakyat melalui pentas malam Sabtu, tapi mulai meredup di era Orde Baru karena kebijakan asimilasi budaya nasional. Namun, di Jombang, semangat pelestarian tetap hidup berkat tokoh-tokoh seperti Mbah Badri dari Rejosopinggir, yang sejak 1950-an aktif membina kelompok kentrung—varian macapat yang diselingi dialog humor. Kentrung, dengan irama cepat dan lirik satir, menjadi ciri khas Jombang, mencerminkan masyarakat santri yang bijak namun jenaka.

Perkembangan selanjutnya terlihat pada 1980-an, ketika Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jombang mulai mengintegrasikan macapat ke kurikulum sekolah. Kelompok seperti Macapat Panjilaras Mojoagung dan Ngesti Budoyo Sumobito lahir dari inisiatif ini, sering tampil di acara haul kiai sezaman KH Hasyim Asy’ari. Di era Reformasi, tantangan baru muncul: urbanisasi dan media sosial membuat pemuda lebih memilih dangdut koplo daripada cengkok macapat. Meski demikian, sejarah ini menjadi fondasi kuat untuk usaha kontemporer. Pada 2023, Jombang mengajukan tembang macapat sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional, menandai komitmen jangka panjang.

Sejarah tembang macapat di Jombang bukan sekadar kronologi, tapi narasi ketangguhan. Dari pentas desa hingga panggung provinsi, seni ini telah menjadi identitas yang menyatukan santri dan petani, religius dan artistik. Kini, dengan dukungan digital seperti rekaman YouTube lomba macapat, warisan ini siap bertahan di abad ke-21.

Usaha Pelestarian melalui Pendidikan dan Workshop

Salah satu pilar utama pelestarian tembang macapat di Jombang adalah melalui pendidikan formal dan non-formal, yang menargetkan generasi muda sebagai pewaris. Disdikbud Jombang memimpin upaya ini dengan program “Uri-uri Tembang Macapat”, sebuah inisiatif untuk menanamkan pemahaman gatra (struktur puisi) sejak usia dini. Pada peringatan Bulan Bahasa Indonesia 2021, Disdikbud menggelar lomba macapat untuk siswa SD, melibatkan 19 perwakilan dari berbagai kecamatan. Kegiatan ini tidak hanya menguji kemampuan nembang, tapi juga membedakan macapat dari gerongan—sebuah tantangan umum di kalangan pemula. Hasilnya, siswa menunjukkan potensi besar, meski masih perlu bimbingan untuk intonasi dan artikulasi yang tepat.

Workshop menjadi alat efektif lainnya. Pada Februari 2023, Kadisdikbud Jombang, Senen S.Sos M.Si, membuka workshop macapat di Pendopo Desa Bakalanrayung, Kecamatan Kudu. Bertahan dua hari dengan 70 guru SD dari Ploso, Kabuh, Kudu, dan Ngusikan, acara ini fokus pada titi laras (aturan irama), modulasi suara dengan gamelan, teknik cengkok, artikulasi, intonasi, dan panggung. Resource person seperti Hartono dan Nasrullah (Cak Nas) dari Kabid Kebudayaan membimbing peserta, yang kemudian diintegrasikan ke Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tujuan utama: membekali guru untuk mengajar siswa, sehingga macapat menjadi ikon Jombang selaras dengan pengembangan wisata seperti Sendang Made.

Usaha serupa terlihat di tingkat desa, di mana sanggar seni seperti Melati Rinonce mengadakan kelas mingguan. Di sekolah, ekstrakurikuler macapat kini wajib di 30 SD negeri, dengan kurikulum yang mencakup 12 pupuh dasar. Dampaknya nyata: partisipasi siswa naik 40% sejak 2022, menurut laporan Disdikbud. Tantangan tetap ada, seperti kurangnya alat gamelan, tapi inisiatif ini membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci regenerasi. Melalui workshop dan lomba, tembang macapat bukan lagi “seni orang tua”, tapi alat pendidikan yang relevan untuk membangun karakter Jawa modern.

Peran Seniman Lokal dalam Pelestarian

Seniman lokal menjadi tulang punggung pelestarian tembang macapat di Jombang, dengan dedikasi yang melampaui zaman. Kasminah, lahir 1957 di Jombang, adalah contoh ikonik. Mulai bernyanyi sejak 1982 sebagai sinden, ia belajar otodidak dari keluarga artistik dan terus aktif meski usia lanjut. Kontribusinya meliputi penampilan rutin dan pengajaran di Panti Werdha setiap Selasa—meski sempat terhenti akibat pandemi COVID-19. Metode ajarnya sederhana: menanamkan ketulusan, bukan paksaan akademik. Seorang muridnya, yang awalnya ikut untuk tugas kuliah, kini tampil internasional berkat bimbingan Kasminah. Ia pernah meraih penghargaan atas diksinya yang jernih dan cengkok unik, meski menekankan bahwa seni ini bukan untuk materi.

Mbah Badri dari Rejosopinggir juga patut disebut. Sebagai tokoh kentrung sejak 1950-an, ia membina Kesenian Kentrung Jati Menok, yang menggabungkan macapat dengan dialog humor. Pada Oktober 2019, kelompoknya tampil di pagelaran rutin Disdikbud, membawa anak-anak MI Muhammadiyah Rejosopinggir untuk tari kentrung. Badri percaya, kentrung adalah cara santai menyampaikan moral Jawa, dan upayanya menjaga tradisi ini dari kepunahan.

Kelompok macapat seperti Panjilaras Mojoagung, Ngesti Budoyo Sumobito, dan Sasana Gebyar Seni turut berperan. Mereka tampil bulanan di acara Disdikbud, melatih pemuda desa, dan berkolaborasi dengan pesantren. Tantangan bagi seniman ini adalah minat rendah generasi Z, yang lebih suka K-pop, serta kebutuhan literasi Jawa mendalam. Namun, dengan ketekunan, mereka berhasil menciptakan penerus. Pada 2024, Kasminah melatih 50 pemuda untuk Jombang Fest, membuktikan peran seniman sebagai jembatan generasi.

Festival dan Acara Rutin untuk Revitalisasi

Festival dan acara rutin menjadi panggung vital untuk menghidupkan tembang macapat. Pagelaran Rutin Macapat Malam Sabtu Pahingan, diadakan Disdikbud setiap bulan, adalah contoh utama. Sejak 2019, acara ini menyediakan ruang bagi seniman untuk berkarya, melibatkan kelompok seperti Macapat Panjilaras dan Ngesti Budoyo. Pada 18 Oktober 2019, pentas diwarnai kentrung Mbah Badri dan tari anak-anak, menarik ratusan penonton. Tujuannya: aktualisasi seni dan apresiasi masyarakat, yang berdampak pada peningkatan partisipasi komunitas.

Jombang Fest 2024, digelar 14-23 Oktober di Alun-Alun Jombang, menjadi puncak revitalisasi. Memperingati Hari Jadi ke-114 dan Hari Santri Nasional, festival ini menampilkan pentas wayang kulit dan karnaval budaya, dengan elemen macapat terintegrasi dalam seminar “Jejak Bung Karno di Jombang”. Diorganisir Pemkab Jombang di bawah Pj Bupati Teguh Narutomo, acara ini hadirkan 114 anak yatim dan investor, mempromosikan kearifan lokal secara global. Meski tak eksklusif macapat, festival ini memperkuat identitas budaya, dengan workshop seni tradisional yang melibatkan 10.000 pengunjung.

Acara lain seperti Cangkruk’an Punokawan pada Agustus (tahun tak disebut), bertema pelestarian kesenian, mengumpulkan MGMP Bahasa Jawa untuk dialog aspirasi. Meski fokus luas, ia mendorong integrasi macapat di sekolah, menjadikan pendidikan sebagai frontline pelestarian. Acara-acara ini tidak hanya hiburan, tapi juga regenerasi, dengan rekaman digital untuk arsip 2025.

Peran Pemerintah dan Komunitas

Pemerintah Kabupaten Jombang, melalui Disdikbud, memainkan peran sentral dengan anggaran tahunan Rp 500 juta untuk kebudayaan. Program seperti P5 dan desa tematik 2025 mengintegrasikan macapat ke pembangunan, sementara komunitas sanggar mendukung dengan pelatihan gratis. Kolaborasi ini holistik, dari sekolah hingga festival, memastikan keberlanjutan.

Tantangan dan Prospek Masa Depan

Tantangan utama adalah digitalisasi yang menggeser minat, ditambah kurangnya fasilitas. Prospek cerah dengan inisiatif HKI nasional dan tur virtual, potensial jadi ikon pariwisata 2030.

Kesimpulan

Usaha pelestarian tembang macapat di Jombang adalah kisah ketangguhan kolektif. Dari workshop guru hingga pentas festival, seni ini tetap relevan sebagai jiwanya Jawa. Mari dukung agar pesona macapat abadi.

Tinggalkan Balasan