Festival Tongklek di Tuban: Merayakan Tradisi dan Budaya di Bulan Ramadan 2025

Di tengah kesucian bulan Ramadan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, kembali menjadi sorotan berkat maraknya Festival Tongklek pada tahun 2025. Festival ini bukan sekadar perayaan biasa, melainkan wujud nyata dari kekayaan budaya lokal yang terus dijaga dan dikembangkan. Dengan mengusung seni tradisional Tongklek, festival ini menjadi magnet bagi masyarakat Tuban dan sekitarnya, bahkan menarik perhatian dari luar daerah seperti Lamongan, Bojonegoro, hingga Rembang. Pada Ramadan 2025, Festival Tongklek digelar dengan skala yang lebih besar, menghadirkan berbagai aktivitas menarik yang memperkuat identitas budaya Jawa Timur. Artikel ini akan mengulas secara mendalam sejarah festival, evolusinya, dampaknya terhadap masyarakat, serta apa yang membuat perayaan ini begitu istimewa.

Sejarah dan Asal-usul Tongklek

Tongklek adalah kesenian musik tradisional yang lahir dan berkembang di Tuban, Jawa Timur. Nama “Tongklek” sendiri berasal dari bunyi khas yang dihasilkan oleh alat musik utamanya, yaitu kentongan—alat sederhana yang terbuat dari bambu atau kayu. Ketika dipukul, kentongan menghasilkan suara “tong” dan “klek,” yang menjadi ciri khas kesenian ini. Awalnya, Tongklek dimainkan oleh warga desa untuk membangunkan umat Islam saat sahur di bulan Ramadan. Tradisi ini diyakini memiliki akar sejarah yang kuat, bahkan dikaitkan dengan peran Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.

Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat Tuban, Tongklek pertama kali muncul sebagai bentuk dakwah yang kreatif. Para wali menggunakan irama sederhana dari kentongan untuk menarik perhatian warga, sekaligus menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Seiring waktu, kesenian ini tidak lagi terbatas pada fungsi religi, tetapi berkembang menjadi hiburan rakyat yang sering ditampilkan dalam berbagai acara adat. Pada masa lalu, kelompok-kelompok Tongklek berkeliling kampung, memainkan irama-irama yang ceria sambil bernyanyi, menciptakan suasana keakraban di antara warga.

Pada dekade 1970-an, Tongklek mulai mendapatkan tempat istimewa di hati masyarakat Tuban. Pemerintah daerah, bersama tokoh budaya setempat, melihat potensi kesenian ini sebagai warisan yang patut dilestarikan. Inisiatif untuk menggelar Festival Tongklek pertama kali muncul pada periode ini, dengan tujuan memperkenalkan kembali kesenian tersebut kepada generasi muda. Sejak saat itu, festival ini menjadi agenda tahunan yang tidak hanya melibatkan komunitas lokal, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan kebanggaan budaya.

Evolusi Festival Tongklek

Festival Tongklek telah mengalami perjalanan panjang sejak pertama kali diadakan. Pada awalnya, acara ini bersifat sederhana, hanya melibatkan beberapa kelompok Tongklek dari desa-desa di sekitar Tuban. Pertunjukan biasanya digelar di lapangan desa atau balai kecamatan, dengan penonton yang mayoritas adalah warga lokal. Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya, festival ini mulai diperluas cakupannya.

Pada tahun 2000-an, Festival Tongklek mulai menarik perhatian dari daerah tetangga seperti Lamongan dan Bojonegoro. Kelompok-kelompok Tongklek dari luar Tuban diundang untuk tampil, menjadikan festival ini sebagai ajang pertukaran budaya antarwilayah. Pemerintah Kabupaten Tuban juga mulai memberikan dukungan lebih besar, termasuk anggaran dan promosi, sehingga festival ini semakin dikenal luas. Pada tahun 2023, misalnya, festival ini mencatat partisipasi lebih dari 40 kelompok, dengan penonton yang mencapai ribuan orang.

Memasuki Ramadan 2025, Festival Tongklek mencapai puncak kejayaannya. Berdasarkan informasi dari panitia lokal, acara ini digelar pada 21 Maret 2025, bertepatan dengan minggu kedua Ramadan. Skala festival tahun ini jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan lebih dari 50 kelompok peserta dari berbagai daerah di Jawa Timur dan bahkan beberapa dari Jawa Tengah. Selain pertunjukan musik Tongklek, festival ini juga menampilkan pawai budaya, bazar kuliner, dan lomba-lomba yang melibatkan masyarakat secara langsung. Perkembangan ini menunjukkan bahwa Tongklek tidak lagi sekadar kesenian lokal, tetapi telah menjadi simbol identitas budaya regional yang terus berevolusi.

Faktor pendukung perkembangan festival ini antara lain adalah dukungan teknologi dan media sosial. Pada tahun 2025, promosi festival dilakukan secara masif melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan X, menjangkau audiens yang lebih luas. Video pertunjukan Tongklek dari tahun-tahun sebelumnya juga menjadi viral, meningkatkan minat generasi muda untuk ikut serta. Dengan demikian, Festival Tongklek tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya.

Dampak Budaya dan Sosial

Festival Tongklek memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan budaya dan sosial masyarakat Tuban. Salah satu dampak terbesar adalah pelestarian kesenian tradisional. Di era modern yang didominasi oleh budaya pop global, banyak seni lokal yang terancam punah. Festival Tongklek menjadi wadah penting untuk memastikan bahwa generasi muda tetap mengenal dan menghargai warisan leluhur mereka. Anak-anak dan remaja diajak untuk belajar memainkan kentongan, menyanyi, dan menari dalam irama Tongklek, sehingga kesenian ini terus hidup.

Selain itu, festival ini memperkuat rasa kebersamaan di kalangan masyarakat. Ramadan, yang identik dengan silaturahmi, menjadi momen yang tepat untuk menggelar acara ini. Ribuan warga berkumpul, baik sebagai peserta maupun penonton, menciptakan suasana hangat dan penuh keakraban. Festival ini juga menjadi ajang reuni bagi perantau asal Tuban yang pulang kampung, sehingga mempererat hubungan antaranggota komunitas.

Dari sisi sosial, Festival Tongklek membawa dampak positif terhadap inklusivitas. Berbagai lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga lansia, turut serta dalam kegiatan ini. Kelompok-kelompok Tongklek sering kali terdiri dari anggota dengan latar belakang beragam, menunjukkan bahwa seni dapat menjadi pemersatu tanpa memandang status sosial atau usia. Pada tahun 2025, panitia festival bahkan mengadakan sesi khusus untuk anak-anak penyandang disabilitas, memberikan mereka kesempatan untuk tampil dan merasakan semaraknya acara.

Tidak hanya dari segi budaya dan sosial, festival ini juga memiliki dampak ekonomi yang nyata. Bazar kuliner dan kerajinan yang digelar selama festival menjadi peluang emas bagi pelaku UMKM lokal. Pedagang makanan khas Tuban, seperti nasi pecel, sate kambing, dan minuman legen, melaporkan peningkatan penjualan yang signifikan. Begitu pula dengan pengrajin lokal yang menjajakan produk seperti batik Tuban dan miniatur kentongan, yang banyak diminati oleh pengunjung sebagai suvenir. Dengan demikian, Festival Tongklek tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga mendorong roda perekonomian daerah.

Aktivitas Selama Festival Tongklek 2025

Festival Tongklek 2025 di Tuban menawarkan beragam aktivitas yang memanjakan mata, telinga, dan lidah para pengunjung. Salah satu highlight utama adalah pawai Tongklek, yang diadakan pada malam pembukaan. Ratusan peserta dari berbagai kelompok berjalan keliling kota, memainkan irama kentongan yang rancak sambil mengenakan pakaian adat Jawa. Pawai ini biasanya dimulai dari alun-alun Tuban dan berakhir di lokasi utama festival, disambut oleh sorak sorai penonton yang memadati pinggir jalan.

Kegiatan lain yang tidak kalah menarik adalah lomba Tongklek antargrup. Setiap kelompok bersaing untuk menampilkan pertunjukan terbaik, dinilai berdasarkan kreativitas aransemen musik, harmonisasi suara, dan kekompakan tim. Pada tahun 2025, lomba ini dibagi menjadi beberapa kategori, termasuk kelompok anak-anak, remaja, dan dewasa, sehingga memberikan kesempatan kepada semua kalangan untuk unjuk kebolehan. Pemenang lomba biasanya mendapatkan hadiah berupa uang tunai dan piala, yang semakin memotivasi peserta untuk berpartisipasi.
Bagi pecinta kuliner, bazar makanan dan kerajinan menjadi daya tarik tersendiri.

Puluhan stan berjejer menawarkan hidangan khas Tuban yang menggugah selera, mulai dari pecel pincuk dengan sambal tumpang hingga soto ayam khas Tuban yang kaya rempah. Minuman tradisional seperti legen dan dawet juga menjadi favorit pengunjung untuk menyegarkan tenggorokan setelah seharian berpuasa. Sementara itu, stan kerajinan menjajakan produk-produk lokal seperti anyaman bambu, batik motif pesisir, dan replika kentongan yang dibuat dengan tangan.

Selain itu, festival ini juga menghadirkan pentas seni tambahan, seperti tari tradisional dan teater rakyat, yang memperkaya pengalaman budaya para pengunjung. Pada malam terakhir, acara ditutup dengan konser Tongklek kolplay, sebuah inovasi baru di mana kelompok Tongklek terbaik berkolaborasi dengan musisi modern untuk menciptakan perpaduan unik antara tradisi dan kontemporer. Inisiatif ini berhasil menarik perhatian generasi muda, yang sebelumnya mungkin kurang tertarik pada kesenian tradisional.

Kesimpulan: Masa Depan Festival Tongklek

Festival Tongklek di Tuban pada Ramadan 2025 adalah cerminan dari semangat masyarakat Jawa Timur dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya mereka. Dari kesederhanaan kentongan yang dahulu hanya digunakan untuk membangunkan sahur, kini Tongklek telah menjadi simbol kebanggaan yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat. Dengan dampak budaya, sosial, dan ekonomi yang begitu besar, festival ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga perekat identitas lokal di tengah arus globalisasi.

Ke depannya, Festival Tongklek memiliki potensi untuk menjadi daya tarik wisata budaya berskala nasional, bahkan internasional. Dukungan dari pemerintah, komunitas, dan media massa akan sangat menentukan keberlanjutan dan pertumbuhan festival ini. Jika terus dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Festival Tongklek akan menjadi salah satu ikon budaya Indonesia yang mendunia, sekaligus membawa nama Tuban ke kancah yang lebih luas. Ramadan 2025 telah membuktikan bahwa tradisi, jika dirawat dengan cinta, dapat terus hidup dan bersinar di hati masyarakat.

Tinggalkan Balasan