Idul Fitri Tanpa Ayah

Di suatu desa kecil hiduplah seorang anak yatim piatu bernama Bima. Ia tinggal bersama neneknya yang sudah renta dan lemah. Meskipun kehidupan mereka serba kekurangan, Bima selalu berusaha untuk tetap bersyukur dan menjalani hidup dengan penuh semangat seperti halnya anak-anak lain di desa itu.

Tahun ini, Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Bima merasa sangat senang karena bisa merayakan hari yang penuh sukacita tersebut. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, ia sudah tidak sabar untuk segera mengenakan baju baru dan menerima angpau dari warga desa.

Namun, kebahagiaan Bima ternyata tidak sempurna. Terbayang dengan jelas di benaknya wajah ayah yang telah tiada. Ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih sangat kecil. Bima sangat merindukan kebersamaan bersama ayahnya sebelum ia pergi.

Malam menjelang Idul Fitri, Bima melihat layangan putus di langit. Ia merasa sangat sedih, mengingat betapa dulu ayahnya selalu menyiapkan layangan yang indah setiap kali akan merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Bengong, Bima meneteskan air mata saat mengenang betapa ayahnya selalu memberikan perhatian yang sangat besar kepadanya.

Keesokan harinya, Bima melewati hari raya dengan hati yang gundah. Setiap kali ia melihat anak-anak bermain dengan ayah mereka, perasaan rindunya semakin menjadi-jadi. Ia merasa kehilangan sosok yang sangat ia cintai sepanjang hidupnya.

Namun, setelah menyaksikan kebahagiaan anak-anak lain, Bima sadar bahwa ia tidak boleh larut dalam kesedihan yang begitu dalam. Dengan menguatkan hati, Bima memberanikan diri untuk tetap ikut serta merayakan hari raya bersama teman-temannya.

Ia berusaha untuk mengenang ayahnya dengan kebahagiaan, karena Bima percaya bahwa ayahnya pasti senang melihat anaknya bahagia. Seiring berjalannya waktu, Bima mulai merasa lebih baik dan menikmati Idul Fitri bersama teman-temannya.

Di sela permainan, Bima menemukan layangan yang tadi sempat putus. Pikirannya langsung kembali pada ayahnya. Dengan tenang, ia mulai menerbangkan layangan itu, sambil berbisik : “Selamat Idul Fitri, Ayah. Aku yakin Ayah selalu di sisi ku.”

Mata Bima kembali berkaca-kaca, namun kali ini ia tersenyum. Senyuman yang penuh kebahagiaan karena ia yakin, ayahnya telah mendengar ucapan selamat itu. Meski ayah tidak ada disampingnya, Bima merasa dekat dengan ayah yang selalu berada di hatinya.

Di Idul Fitri ini, Bima menemukan keberanian dan kebahagiaan, meski harus merayakan hari raya tanpa kehadiran ayahnya secara fisik. Bima pun bertekad untuk menjaga kenangan indah tentang Ayah dan selalu menghargai kasih sayang yang tak terbatas dari neneknya.

Sejak saat itu, Bima memandang hidup dengan lebih tegar dan penuh semangat seolah ayahnya selalu hadir di sampingnya. Dan setiap tahunnya, saat tiba Idul Fitri, Bima akan menerbangkan layangan sebagai simbol cinta dan rindunya kepada ayah yang telah tiada.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *