Di tengah pesatnya perkembangan zaman, kita sering melupakan kekayaan budaya yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Salah satu warisan budaya yang patut dikenang adalah kesenian Ludruk, khususnya di Jombang, Jawa Timur. Pada masa kejayaannya, yang sering disebut “tempo dulu,” Ludruk bukan sekadar hiburan, melainkan perekat sosial yang menghidupkan suasana dalam berbagai acara hajatan warga, seperti pernikahan dan sunatan. Artikel ini akan membawa Anda kembali ke masa ketika Ludruk menjadi bintang dalam perayaan masyarakat Jombang, menelusuri sejarah, peran, dan makna budayanya.
Pendahuluan: Suasana Hidup Ludruk di Jombang
Bayangkan sebuah malam di Jombang pada dekade 1980-an atau 1990-an. Cahaya lampu minyak tanah atau lampu petromaks menerangi panggung sederhana yang didirikan di tengah lapangan desa. Suara gamelan mengalun merdu, bercampur dengan tawa riang penonton yang duduk bersila di atas tikar pandan. Di atas panggung, para aktor Ludruk, mengenakan kostum warna-warni, memainkan adegan yang mengundang gelak tawa sekaligus renungan. Ini adalah pemandangan khas saat Ludruk tampil dalam acara hajatan, baik itu pernikahan yang meriah maupun sunatan yang penuh makna.
Ludruk pada masa itu lebih dari sekadar pertunjukan seni. Ia adalah cerminan kehidupan masyarakat Jombang, sebuah tradisi yang membawa kegembiraan, menyatukan warga, dan menjadi kebanggaan lokal. Dalam setiap acara, kehadiran Ludruk selalu dinanti, menjadikannya bagian integral dari perayaan. Namun, seiring waktu, popularitasnya mulai memudar akibat masuknya hiburan modern. Meski begitu, kenangan akan kejayaannya tetap terpatri dalam ingatan mereka yang pernah menyaksikannya.
Sejarah Ludruk di Jombang: Dari Jalanan ke Panggung Besar
Ludruk, sebagai bentuk teater tradisional Jawa Timur, memiliki akar yang dalam di Jombang. Sejarahnya dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20, ketika seorang petani bernama Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, mulai memperkenalkan kesenian ini. Sekitar tahun 1907, Pak Santik tampil sebagai pengamen keliling, membawakan syair-syair sederhana dengan iringan musik tradisional. Wajahnya dicoret-coret untuk menambah kesan lucu, sebuah gaya yang dikenal sebagai “Wong Lorek” atau “Lerok,” yang menjadi cikal bakal Ludruk.
Awalnya, Ludruk adalah pertunjukan jalanan yang sederhana, dilakukan oleh Pak Santik bersama teman-temannya seperti Pak Pono dan Pak Amir. Mereka berkeliling desa, menghibur warga dengan tarian, lawakan, dan cerita-cerita ringan. Seiring waktu, kesenian ini berkembang menjadi teater yang lebih terstruktur. Pada tahun 1930-an, Ludruk mulai mengangkat tema-tema yang lebih kompleks, seperti kehidupan sehari-hari, perjuangan melawan penjajahan, atau kisah inspiratif dengan pesan moral.
Di Jombang, Ludruk menemukan tempatnya di hati masyarakat. Banyak kelompok Ludruk bermunculan, salah satunya Ludruk Budi Wijaya, yang didirikan pada tahun 1985 di Dusun Simowau, Desa Ketapang Kuning, Kecamatan Ngusikan. Di bawah pimpinan Pak Sahid, kelompok ini meraih popularitas pada tahun 1990-an hingga awal 2000-an, bahkan sering diundang tampil di berbagai kota di Jawa Timur. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana Ludruk bertransformasi dari hiburan rakyat menjadi kesenian yang diakui secara luas.
Peran Ludruk dalam Acara Hajatan: Hiburan yang Dinanti
Salah satu ciri khas kejayaan Ludruk di Jombang adalah perannya dalam acara hajatan warga, terutama pernikahan dan sunatan. Pada masa itu, mengundang kelompok Ludruk untuk tampil dianggap sebagai simbol status dan kebanggaan keluarga. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur tamu, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi yang mempererat hubungan antarwarga desa.
Dalam acara pernikahan, Ludruk sering menjadi hiburan utama setelah prosesi adat selesai. Cerita yang dibawakan biasanya ringan, penuh humor, dan relevan dengan kehidupan masyarakat Jombang, seperti kisah petani, pedagang, atau konflik rumah tangga yang diselesaikan dengan jenaka. Sementara itu, dalam sunatan, Ludruk berfungsi sebagai pengalih perhatian bagi anak yang disunat, sekaligus menciptakan suasana gembira bagi keluarga dan tamu.
Keunikan Ludruk terletak pada kemampuannya menarik perhatian semua kalangan, dari anak-anak hingga orang tua. Seorang warga lanjut usia pernah berkata, “Dulu, kalau ada hajatan tanpa Ludruk, rasanya kurang lengkap. Semua orang datang, duduk bersama, tertawa bersama. Itu momen yang tak terlupakan.” Popularitasnya juga terlihat dari frekuensi undangan; kelompok-kelompok seperti Ludruk Budi Wijaya bisa tampil hampir setiap minggu di berbagai desa.
Selain pernikahan dan sunatan, Ludruk juga sering dihadirkan dalam festival desa atau peringatan hari besar nasional. Pertunjukan ini menjadi cara bagi masyarakat untuk merayakan identitas lokal mereka, sekaligus menikmati hiburan yang murah meriah namun bermakna.
Signifikansi Budaya: Lebih dari Sekadar Hiburan
Ludruk bukan hanya hiburan semata, tetapi juga cerminan budaya dan kehidupan masyarakat Jombang. Cerita-cerita yang dibawakan sering kali mengandung pesan moral, kritik sosial, atau bahkan propaganda pada masa tertentu. Misalnya, selama penjajahan, Ludruk menjadi alat perjuangan rakyat untuk menyampaikan semangat kebangsaan secara halus namun efektif.
Kesenian ini juga memainkan peran penting dalam melestarikan bahasa dan tradisi Jawa. Dialog dalam Ludruk biasanya menggunakan bahasa Jawa dengan logat Jombang atau Surabaya, yang mudah dipahami oleh warga lokal. Ini membantu menjaga kelestarian bahasa daerah di tengah pengaruh budaya luar yang semakin kuat.
Bagi pelaku seni, Ludruk adalah wadah untuk mengekspresikan bakat dan kreativitas. Banyak aktor Ludruk berasal dari kalangan biasa—petani, buruh, atau pedagang—yang kemudian menjadi terkenal di komunitas mereka. Hal ini menciptakan rasa bangga dan identitas budaya yang kuat. Ludruk juga memperkuat ikatan komunitas, karena persiapan pertunjukan sering melibatkan kerja sama warga, mulai dari membuat panggung hingga menyiapkan kostum.
Detail Pertunjukan: Keajaiban Musik, Kostum, dan Cerita
Sebuah pertunjukan Ludruk biasanya dimulai dengan Tari Remo, tarian pembuka yang enerjik dan penuh semangat, melambangkan sambutan kepada penonton. Setelah itu, cerita utama dimulai, diselingi dengan lawakan dan iringan musik gamelan. Kostum yang digunakan sangat mencolok, dengan warna-warna cerah yang mencerminkan karakter seperti petani, bangsawan, atau tokoh lucu.
Bahasa yang digunakan dalam Ludruk lugas dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, sering kali disisipi humor yang spontan. Interaksi antara aktor dan penonton juga menjadi daya tarik tersendiri, menciptakan suasana akrab. Musik gamelan, dengan irama khasnya, menambah nuansa tradisional dan membawa penonton masuk ke dalam cerita.
Persiapan pertunjukan juga melibatkan kerja keras. Para aktor berlatih berhari-hari, kostum dibuat dengan tangan, dan alat musik disiapkan dengan cermat. Semua elemen ini—tarian, drama, komedi, dan musik—berpadu menciptakan pengalaman yang memikat, membuat Ludruk begitu dicintai pada masanya.
Penurunan Popularitas: Tantangan Zaman Modern
Sayangnya, kejayaan Ludruk tidak bertahan selamanya. Dengan masuknya televisi, film, dan kemudian internet, perhatian masyarakat beralih ke hiburan modern. Generasi muda mulai kehilangan minat pada kesenian tradisional, sementara dukungan dari pemerintah dan komunitas lokal juga berkurang. Akibatnya, Ludruk yang dulu merajai hajatan kini hanya tinggal kenangan.
Namun, beberapa kelompok seperti Ludruk Budi Wijaya masih berupaya melestarikannya, misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk menarik perhatian generasi baru. Meski tantangannya besar, semangat untuk menjaga warisan ini tetap ada.
Kesimpulan: Warisan yang Harus Dijaga
Ludruk adalah bukti nyata kekayaan budaya Jombang. Pada masa kejayaannya, kesenian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan menyatukan masyarakat. Kehadirannya dalam acara hajatan menunjukkan betapa Ludruk menjadi bagian dari kehidupan warga, menciptakan momen kebersamaan yang tak ternilai.
Kini, meski popularitasnya telah meredup, Ludruk tetap menjadi simbol identitas budaya yang perlu dilestarikan. Upaya untuk menghidupkan kembali kesenian ini harus terus dilakukan, agar generasi mendatang dapat mengenal dan mencintai warisan leluhur mereka. Ludruk bukan hanya cerita dari masa lalu, tetapi juga harapan untuk masa depan budaya Indonesia.
Referensi:
- “Kombinasi Tari Remo dan Ludruk; Kesenian Guyonan Asal Jawa Timur” – Indonesia Kaya
- “Sejarah dan Asal Ludruk, Kesenian yang Jadi Media Perjuangan Melawan Penjajah” – Kompas.com
- “Secuil Kisah Perjalanan Kesenian Ludruk Budi Wijaya Jombang” – Suara Indonesia