Kesenian Tradisional Jidor Sentulan dari Jombang

Di tengah pesatnya perkembangan zaman dan modernitas, ada sebuah kesenian tradisional yang tetap bertahan dan hidup di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kesenian ini dikenal dengan nama Jidor Sentulan, sebuah seni pertunjukan yang tidak hanya memukau mata dan hati penonton, tetapi juga menyimpan nilai sejarah, budaya, dan spiritual yang mendalam. Jidor Sentulan pertama kali muncul sekitar tahun 1830-1840, dibawa oleh salah satu prajurit Pangeran Diponegoro yang memilih menetap di Dusun Sentulan, Desa Bongkot, Jombang, setelah Perang Jawa berakhir. Keunikan kesenian ini terletak pada penampilan prosesinya yang memadukan unsur-unsur Islam dan dinamisme, diiringi dengan aroma khas kemenyan yang menciptakan suasana magis dan sakral.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang asal-usul, perkembangan, keunikan, serta peran Jidor Sentulan dalam masyarakat Jombang. Selain itu, kita juga akan membahas tantangan yang dihadapi dalam pelestariannya serta pentingnya menjaga warisan budaya ini agar tetap hidup di tengah arus globalisasi.


Latar Belakang Sejarah Jidor Sentulan

Untuk memahami Jidor Sentulan, kita perlu kembali ke masa awal abad ke-19, saat Pulau Jawa dilanda gejolak besar akibat kolonialisme Belanda. Salah satu peristiwa bersejarah yang menjadi latar belakang kemunculan kesenian ini adalah Perang Jawa (1825-1830), yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta yang menentang keras eksploitasi Belanda dan campur tangan mereka dalam urusan keraton.

Perang Diponegoro merupakan salah satu perlawanan terbesar terhadap pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Meskipun akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makassar pada tahun 1830, perjuangannya meninggalkan dampak yang signifikan bagi masyarakat Jawa. Setelah perang usai, banyak prajurit dan pengikutnya yang tersebar ke berbagai wilayah di Jawa, membawa serta tradisi, budaya, dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.

Salah satu prajurit tersebut menetap di Dusun Sentulan, Desa Bongkot, Jombang. Di tempat inilah Jidor Sentulan mulai berkembang. Prajurit tersebut, yang konon bernama Mbah Suhadak, memperkenalkan kesenian ini sebagai bentuk hiburan sekaligus media dakwah Islam. Dengan memadukan unsur-unsur Islam dan kepercayaan lokal (dinamisme) yang masih kuat di masyarakat saat itu, Jidor Sentulan menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan ajaran agama secara halus dan mudah diterima.


Asal Usul dan Perkembangan

Jidor Sentulan pertama kali dikenal sebagai “Losorirowo Group”, merujuk pada Dusun Losari yang menjadi tempat awal mula kesenian ini diperkenalkan. Namun, seiring waktu, nama tersebut berganti menjadi Jidor Sentulan, sesuai dengan dusun tempat Mbah Suhadak menetap dan mengembangkan kesenian ini. Nama “Jidor” sendiri merujuk pada alat musik utama yang digunakan dalam pertunjukan, yaitu sebuah gendang besar yang menghasilkan suara khas dan menggema.

Pada awalnya, Jidor Sentulan memiliki fungsi ganda: sebagai hiburan rakyat dan sebagai sarana dakwah. Masyarakat Sentulan pada masa itu masih banyak yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, sehingga Mbah Suhadak menggunakan kesenian ini untuk memperkenalkan ajaran Islam dengan pendekatan yang tidak memaksa. Prosesi Jidor Sentulan, dengan musik, tarian, dan drama rakyatnya, menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi lama dengan nilai-nilai baru.

Seiring berjalannya waktu, Jidor Sentulan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jombang. Kesenian ini diwariskan dari generasi ke generasi, dan hingga kini tetap digemari, baik oleh kalangan tua maupun muda. Evolusi Jidor Sentulan juga terlihat dari penyesuaiannya dengan zaman, meskipun esensi tradisionalnya tetap dipertahankan.


Keunikan Prosesi Jidor Sentulan

Salah satu daya tarik utama Jidor Sentulan adalah prosesi penampilannya yang kaya akan simbolisme dan keunikan. Pertunjukan ini biasanya dimulai dengan ritual pembukaan yang memadukan unsur-unsur Islam dan dinamisme. Aroma kemenyan yang dibakar menjadi elemen khas yang langsung tercium oleh penonton, menciptakan suasana mistis yang khas dalam tradisi Jawa. Kemenyan, yang dalam budaya lokal sering dikaitkan dengan penghormatan kepada leluhur atau komunikasi dengan alam gaib, menjadi simbol transisi dari kepercayaan lama ke ajaran Islam.

Elemen-elemen Pertunjukan

  1. Drama Rakyat
    Bagian utama dari Jidor Sentulan adalah drama rakyat yang mengisahkan berbagai tema, mulai dari kehidupan sehari-hari, perjuangan, hingga nilai-nilai moral. Cerita-cerita ini sering diambil dari legenda lokal atau kisah-kisah yang relevan dengan masyarakat Jombang. Penyampaiannya dilakukan dengan gaya yang menghibur, diselingi humor dan sindiran sosial yang cerdas, sehingga pesan moral dapat tersampaikan tanpa terasa menggurui.
  2. Musik dan Tarian
    Musik dalam Jidor Sentulan dihasilkan dari perpaduan alat musik tradisional seperti jidor (gendang besar), rebana, dan kendang batang. Irama yang tercipta bersifat ritmis dan memukau, sering kali diiringi dengan lantunan sholawat yang menambah nuansa religius. Tarian yang ditampilkan juga sarat makna, dengan gerakan yang mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
  3. Karakter Simbolis
    Dalam pertunjukan, terdapat karakter-karakter simbolis yang memperkaya visual dan makna. Salah satunya adalah kumbang semendung, yang diperankan oleh dua orang—satu memegang kepala dan satu lagi memegang ekor. Ada pula karakter seperti kera (melambangkan kecerdikan) dan harimau (melambangkan kekuatan), yang menambah daya tarik dan dimensi simbolis dalam prosesi.

Perpaduan Islam dan Dinamisme

Keunikan terbesar Jidor Sentulan terletak pada perpaduan antara Islam dan dinamisme yang terlihat jelas dalam setiap elemennya. Ritual pembukaan, misalnya, melibatkan pembacaan doa Islam yang dipadukan dengan pembakaran kemenyan—sebuah praktik yang berakar pada tradisi Jawa pra-Islam. Pesan moral dalam drama juga kerap mencerminkan ajaran Islam, seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, namun disampaikan dalam konteks budaya lokal yang relatable.

Kostum dan properti yang digunakan pun mencerminkan perpaduan ini. Para penari mengenakan pakaian tradisional Jawa yang kaya simbolisme, sering kali dihiasi dengan aksesoris seperti sorban atau kaligrafi Arab yang menunjukkan pengaruh Islam. Dengan cara ini, Jidor Sentulan tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga wujud harmoni antara dua tradisi yang hidup berdampingan.


Peran Jidor Sentulan dalam Masyarakat

Jidor Sentulan bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jombang. Kesenian ini sering ditampilkan dalam acara-acara adat, seperti pernikahan, khitanan, dan perayaan hari besar keagamaan. Dalam konteks ini, Jidor Sentulan menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarwarga sekaligus melestarikan tradisi leluhur.

Selain itu, Jidor Sentulan juga menjadi bagian dari identitas lokal Jombang. Di tengah gempuran budaya populer dan globalisasi, kesenian ini tetap bertahan dan bahkan semakin diminati oleh generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa Jidor Sentulan bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga budaya hidup yang terus relevan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jidor Sentulan mulai dikenal di luar Jombang berkat upaya promosi oleh para seniman, peneliti, dan pegiat budaya. Pertunjukan ini bahkan telah dipentaskan di tingkat nasional, menjadikannya salah satu representasi kekayaan budaya Jawa Timur yang patut dibanggakan.


Tantangan dan Upaya Pelestarian

Meskipun Jidor Sentulan tetap lestari hingga kini, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestariannya. Salah satunya adalah minimnya regenerasi pelaku seni. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada budaya populer seperti musik modern atau media digital, sehingga minat untuk mempelajari kesenian tradisional seperti Jidor Sentulan semakin menurun.

Selain itu, kurangnya dukungan infrastruktur dan pendanaan juga menjadi kendala. Meskipun ada upaya promosi, masih diperlukan langkah konkret seperti penyediaan tempat latihan, pelatihan bagi generasi muda, dan penyelenggaraan festival kesenian secara rutin untuk menjaga keberlangsungan Jidor Sentulan.

Namun, di tengah tantangan tersebut, semangat para pelaku seni dan masyarakat Jombang menjadi harapan besar. Mereka terus mengajarkan Jidor Sentulan kepada anak-anak dan remaja, serta menggelar pertunjukan secara berkala. Dokumentasi dan penelitian tentang kesenian ini juga turut membantu, karena memungkinkan Jidor Sentulan dikenal lebih luas dan dihargai oleh generasi mendatang.


Kesimpulan

Jidor Sentulan adalah warisan budaya yang luar biasa dari Jombang, sebuah kesenian yang lahir dari perjalanan sejarah panjang dan perpaduan unik antara Islam dan dinamisme. Dibawa oleh salah satu prajurit Pangeran Diponegoro pada abad ke-19, kesenian ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Jombang. Prosesinya yang memukau, aroma kemenyan yang khas, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadikan Jidor Sentulan lebih dari sekadar hiburan—ia adalah cerminan sejarah, budaya, dan spiritualitas.

Di era modern ini, menjaga kelestarian Jidor Sentulan adalah tanggung jawab bersama. Dengan dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, kesenian ini dapat terus hidup dan menjadi bukti kekayaan budaya Indonesia yang patut dijaga dan dilestarikan untuk masa depan.

Tinggalkan Balasan