Di tengah hiruk-pikuk kehidupan pedesaan dan kota kecil di Jawa Timur, sebuah fenomena budaya telah menjadi pusat perdebatan nasional: sound horeg. Istilah “horeg” yang berasal dari bahasa Jawa, artinya “keras”, merujuk pada sistem audio raksasa yang memproduksi dentuman suara hingga mencapai level yang bisa menggetarkan dinding rumah kilometer jauhnya. Fenomena ini bukan sekadar hiburan malam, melainkan sebuah parade jalanan yang melibatkan musik dangdut koplo, remiks elektronik, dan tarian massal yang penuh semangat. Sound horeg sering digelar dalam acara pernikahan, haul, atau sekadar karnaval desa, menarik ribuan warga untuk bergabung dalam euforia kolektif.
Namun, di balik kegembiraan itu, sound horeg memicu kontroversi yang mendalam. Di satu sisi, ia dipuji sebagai bentuk seni musik yang autentik, mencerminkan kreativitas masyarakat akar rumput dalam mengadaptasi teknologi modern ke tradisi lokal. Di sisi lain, ia dikecam sebagai sumber polusi suara, gangguan kesehatan, dan bahkan pelanggaran norma moral. Puncak kontroversi terjadi pada Juli 2025, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap sound horeg jika menimbulkan mudharat. Tak lama kemudian, insiden viral di Jombang pada 13 September 2025—di mana mobil pemadam kebakaran terhalang arak-arakan sound horeg—membuat perdebatan semakin memanas. Apakah sound horeg layak disebut seni musik? Apakah penari-penarinya pantas bergelar seniman? Dan mengapa komunitas ini tampak enggan mengalah demi kepentingan umum?
Artikel ini akan mengupas kontroversi tersebut secara mendalam, dengan fokus pada dimensi seni, status seniman, insiden Jombang, serta latar belakang fatwa MUI. Melalui lensa budaya, sosial, dan agama, kita akan melihat bagaimana sound horeg menjadi cermin kompleksitas Indonesia kontemporer: interaksi antara lokal dan global, hiburan dan regulasi, serta kebebasan ekspresi versus tanggung jawab kolektif. Pembahasan ini bertujuan memberikan perspektif seimbang, tanpa menghakimi, agar pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri.
Sejarah dan Esensi Sound Horeg sebagai Fenomena Budaya
Sound horeg bukanlah inovasi baru, melainkan evolusi dari tradisi musik rakyat Jawa Timur yang telah ada sejak era 1980-an. Awalnya, ia lahir dari komunitas dangdut koplo—sebuah subgenre dangdut yang cepat dan energik, sering dimainkan dengan alat musik tradisional seperti kendang dan suling, dikombinasikan dengan gitar listrik. Pengusaha sound system lokal mulai mengembangkan peralatan audio impor murah dari China, yang mampu menghasilkan bass mendalam dan treble menusuk. Pada 2010-an, dengan maraknya media sosial, sound horeg menyebar luas melalui video viral di TikTok dan YouTube, menarik generasi muda yang haus akan hiburan murah dan inklusif.
Esensinya, sound horeg adalah lebih dari sekadar musik keras. Ia melibatkan parade mobil pick-up yang dimodifikasi menjadi panggung bergerak, lengkap dengan lampu LED, speaker raksasa, dan generator diesel. Lagu-lagu seperti “Layang Kangen” atau remiks “Anak Kuntilanak Cinta Dangdut” diputar dengan volume hingga 140 desibel—melebihi batas aman WHO untuk paparan suara (85 desibel). Parade ini sering berlangsung berjam-jam, memenuhi jalan desa dengan ribuan peserta yang menari di depan truk. Bagi pendukungnya, ini adalah “gema budaya akar rumput”, sebuah cara masyarakat kelas bawah untuk merayakan identitas lokal di tengah tekanan ekonomi. Seperti yang diungkapkan dalam analisis budaya, sound horeg mencerminkan “adaptasi teknologi akar rumput” yang menyatukan elemen tradisional seperti gamelan dengan beat EDM modern.
Kontroversi muncul karena dampaknya yang luas. Di satu sisi, ia menjadi sumber ekonomi: pengusaha sound system bisa meraup Rp50-100 juta per acara, sementara penari dan musisi lokal mendapat upah. Di sisi lain, keluhan warga tentang insomnia, gangguan pendengaran, dan bahkan kerusakan infrastruktur (getaran speaker merusak rumah) membanjiri media. Pada 2024, kasus di Lumajang menunjukkan peningkatan pasien THT akibat paparan suara berulang. Fenomena ini juga menyoroti ketegangan kelas: elite urban menyebutnya “kampungan”, sementara warga desa melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni budaya kota.
Dalam konteks seni musik, sound horeg menantang definisi konvensional. Apakah seni harus halus dan terstruktur, atau bolehkah ia kasar dan spontan? Seperti jazz di Amerika atau punk di Inggris, sound horeg lahir dari marginalitas, menjadi suara bagi yang tak terdengar. Namun, pertanyaan mendasar tetap: apakah dentuman itu mengandung unsur seni yang layak diakui?
Unsur Seni dalam Sound Horeg: Kreativitas di Tengah Dentuman
Apakah sound horeg memiliki unsur seni? Jawaban ini tergantung pada lensa yang digunakan. Dari perspektif estetika musik, ya—ia kaya akan elemen kreatif yang membuatnya lebih dari sekadar kebisingan. Pertama, komposisi musiknya. DJ sound horeg sering meremiks lagu tradisional Jawa dengan beat house atau techno, menciptakan hybrid yang unik. Misalnya, lagu “Gemu Fa Mi Re” yang diadaptasi menjadi versi elektronik, memadukan irama pentatonik Jawa dengan drop bass modern. Ini bukan sekadar copy-paste; melibatkan improvisasi live, di mana DJ menyesuaikan tempo berdasarkan respons penonton, mirip dengan jam session jazz.
Kedua, aspek visual dan performatif. Parade sound horeg adalah seni instalasi bergerak: truk-truk dihias dengan neon dan proyeksi laser, menciptakan spectacle yang menyerupai festival Burning Man versi desa. Tarian massalnya—dikenal sebagai “joget horeg”—melibatkan gerakan kolektif yang spontan, di mana ribuan orang bergerak sinkron mengikuti ritme. Ini mencerminkan konsep “body politics” dalam antropologi, di mana tubuh menjadi medium ekspresi sosial. Beberapa analis budaya menyebutnya sebagai “musik yang memantulkan luka sosial-ekonomi“, di mana dentuman keras menjadi katarsis bagi pekerja migran yang lelah setelah hari panjang di pabrik.
Namun, kritik datang dari sudut norma estetika. Suara yang terlalu dominan—sering melebihi 120 desibel—dapat dianggap sebagai agresi sensorik, bukan harmoni. Lirik lagu yang vulgar atau sugestif, seperti dalam “Anak Kuntilanak Cinta Dangdut”, menimbulkan tuduhan pornografi lirik. Selain itu, kurangnya regulasi membuatnya rentan terhadap eksploitasi: perempuan penari sering diobjektifikasi, dengan kostum minim yang memicu perdebatan gender. Meski begitu, pendukung berargumen bahwa ini adalah evolusi seni rakyat, serupa dengan wayang kulit yang dulu juga dikecam sebagai “hiburan rendah”.
Dalam konteks global, sound horeg mirip dengan “freak folk” atau “no wave” yang lahir dari subkultur underground. Ia menantang elitisme seni: mengapa orkestra klasik dianggap tinggi, sementara dentuman desa dianggap rendah? Unsur seninya ada dalam autentisitasnya—bukan perfeksi, tapi passion. Tanpa itu, sound horeg hanyalah kebisingan; dengan itu, ia menjadi simfoni rakyat.

Apakah Penari Sound Horeg Layak Disebut Seniman?
Pertanyaan ini menyentuh inti kontroversi: status penari sound horeg sebagai seniman. Bagi sebagian, ya—mereka adalah pelaku seni performa yang berani mengekspresikan diri di ruang publik. Penari, sering perempuan muda dari desa, melatih gerakan mereka berbulan-bulan: putaran pinggul yang sinkron dengan bass, tangan yang melambai seperti ombak, dan ekspresi wajah yang penuh emosi. Ini memerlukan disiplin fisik dan kreativitas, mirip dancer kontemporer. Dalam parade, mereka menjadi pusat, memimpin massa dalam koreografi improvisasi yang mencerminkan dinamika sosial desa.
Namun, label “seniman” kontroversial karena konotasi moral. Kritikus menyebut tarian mereka “joget liar” atau “mesum”, terutama dengan kostum ketat dan gerakan sensual yang dianggap melanggar aurat. Fatwa MUI, misalnya, menyiratkan bahwa jika disertai “maksiat”, maka haram. Ini menciptakan stigma: penari bukan seniman, tapi “penghibur murahan”. Realitasnya lebih nuansa. Banyak penari berasal dari keluarga miskin, melihat profesi ini sebagai jalan keluar ekonomi—Rp200.000-500.000 per acara. Mereka bukan hanya menari untuk uang, tapi untuk membangun komunitas, di mana tarian menjadi bahasa solidaritas.
Dari teori seni, penari horeg layak disebut seniman jika kita gunakan definisi John Dewey: seni sebagai pengalaman yang bermakna. Tarian mereka menciptakan ikatan emosional, melepaskan ketegangan sosial pasca-pandemi. Namun, tanpa pendidikan formal atau pengakuan institusi seperti sanggar tari, status mereka terpinggirkan. Beberapa inisiatif, seperti deklarasi “Sound Karnaval Indonesia” pada Juli 2025, berusaha merebranding untuk menekankan aspek seni. Pada akhirnya, layak atau tidak tergantung perspektif: bagi yang menghargai folk art, ya; bagi puritan, tidak. Yang jelas, mereka adalah agen perubahan budaya, meski sering dikorbankan dalam narasi kontroversi.
Insiden Arak-Arakan Sound Horeg di Jombang: Mengapa Tidak Mau Mengalah?
Pada 13 September 2025, sebuah video amatir menjadi viral: mobil pemadam kebakaran (damkar) di Jombang, Jawa Timur, terhalang arak-arakan sound horeg saat menuju lokasi kebakaran di Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno. Akses jalan utama tertutup rapat oleh deretan truk sound system dan ribuan peserta yang asyik menari. Petugas damkar terpaksa memutar balik dan mencari rute alternatif melalui jalan sawah berlumpur, menunda respons darurat hingga 20 menit. Insiden ini, yang juga terjadi di Desa Ngudirejo, Kecamatan Diwek, memicu kemarahan netizen: “Hiburan lebih penting daripada nyawa?”
Mengapa komunitas sound horeg tidak mau mengalah? Jawabannya multifaset. Pertama, faktor euforia kolektif. Parade ini sering kali bagian dari acara besar seperti pernikahan atau 17 Agustus, di mana peserta tenggelam dalam ritme musik. Bagi mereka, arak-arakan adalah puncak kegembiraan tahunan—mengalah berarti merusak momentum. Kedua, kurangnya koordinasi. Panitia jarang berkoordinasi dengan aparat, melihat jalan desa sebagai “milik bersama”. Dalam budaya Jawa Timur, “guyub rukun” (keselarasan) lebih diutamakan daripada aturan formal, tapi ini berbalik menjadi ego kelompok.
Ketiga, dimensi sosial-ekonomi. Sound horeg adalah simbol status: desa yang menggelar parade besar dianggap maju. Mengalah bisa dilihat sebagai “kalah gengsi”. Beberapa saksi menyebut peserta “terlalu mabuk euforia” untuk bereaksi cepat terhadap sirene damkar. Insiden ini menyoroti kegagalan regulasi: meski Pemprov Jatim telah batasi volume suara sejak Agustus 2025, penegakan lemah di tingkat desa. Viralnya video ini mendorong polisi Jombang razia sound system ilegal, tapi juga memicu solidaritas komunitas: “Kami hibur rakyat, bukan musuh.”
Insiden Jombang bukan isolasi; serupa terjadi di Probolinggo. Ia menggambarkan konflik antara kebebasan budaya dan keselamatan publik, di mana sound horeg—sekali lagi—menjadi kambing hitam.
Latar Belakang Fatwa Haram MUI terhadap Sound Horeg
Fatwa haram MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025, dikeluarkan pada 13 Juli 2025, menjadi titik balik kontroversi sound horeg. Latar belakangnya berawal dari keresahan warga: petisi online dengan ribuan tanda tangan menyoroti gangguan tidur, stres, dan peningkatan kasus gangguan pendengaran di rumah sakit. Sidang terbuka MUI Jatim pada Juni 2025 melibatkan pakar kesehatan, budayawan, dan pengusaha sound system, menghasilkan kesimpulan: sound horeg haram jika mengandung tabdzir (pemborosan energi), idza’ (gangguan), dan maksiat (seperti joget tidak senonoh atau mabuk-mabukan).
MUI Pusat mendukung, dengan Ketua Bidang Fatwa Asrorun Ni’am menyatakan bahwa fatwa ini berdasarkan prinsip “la dharar wa la dhirar” (tidak boleh ada mudharat). Namun, fatwa bersyarat: boleh jika volume dikendalikan dan tanpa unsur negatif. Respons pemerintah: Pemprov Jatim segera buat Peraturan Gubernur pembatasan suara di bawah 55 desibel malam hari. Pengusaha sound horeg bereaksi dengan deklarasi “Sound Karnaval Indonesia” untuk membersihkan citra.
Fatwa ini mencerminkan dinamika agama dan modernitas di Indonesia: MUI berusaha menjaga harmoni sosial, tapi dikecam sebagai intervensi berlebih. Bagi kritikus, ini simbol kontrol atas budaya rakyat; bagi pendukung, langkah preventif.
Kesimpulan
Sound horeg adalah paradoks: seni yang lahir dari dentuman, kontroversi yang lahir dari kegembiraan. Ada unsur seninya dalam kreativitas remiks dan tarian kolektif; penari layak disebut seniman sebagai ekspresionis akar rumput. Insiden Jombang mengungkap egoisme budaya, sementara fatwa MUI lahir dari keprihatinan asli. Di era 2025, sound horeg mengajak kita renungkan: bagaimana menyeimbangkan hiburan dengan tanggung jawab? Mungkin, regulasi bijak—bukan larangan—adalah jalan tengah, agar gema ini tetap bergaung tanpa merusak.