Mengenang Kesenian Ludruk Karya Budaya, Cak Supali, dan Cak Trubus

Ludruk adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Jawa Timur, Indonesia. Kesenian ini menggabungkan unsur drama, musik, tari, dan humor untuk menghibur sekaligus menyampaikan pesan moral atau kritik sosial kepada masyarakat. Di antara berbagai kelompok kesenian ludruk yang pernah ada, Ludruk Karya Budaya dari Mojokerto menonjol sebagai salah satu yang paling terkenal dan berpengaruh. Kelompok ini tidak hanya berhasil melestarikan budaya lokal, tetapi juga mencapai puncak kejayaan pada masanya.

Namun, di era modern, Ludruk Karya Budaya menghadapi tantangan besar akibat persaingan dengan hiburan kontemporer. Artikel ini akan mengulas secara mendalam sejarah Ludruk Karya Budaya, kesuksesannya dalam pementasan, cerita lakon yang terkenal, profil dua tokoh penting yaitu Cak Supali dan Cak Trubus, serta kemunduran yang dialami ludruk akibat perkembangan zaman.


Sejarah Ludruk Karya Budaya

Ludruk Karya Budaya didirikan pada tanggal 29 Mei 1969 di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Pendirian kelompok ini diprakarsai oleh seorang anggota Polisi Polsek Jetis bernama Cak Bantu, sebagai respons terhadap kerinduan masyarakat setempat akan pertunjukan ludruk. Sebelumnya, kesenian ludruk mengalami masa vakum selama dua tahun pasca peristiwa G30S/PKI pada 1965. Pada masa itu, ludruk dicurigai memiliki kaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga banyak kelompok ludruk dibubarkan oleh pemerintah.

Kebangkitan ludruk dimulai pada tahun 1967 di bawah pengawasan ketat militer. Ludruk Karya Budaya lahir dalam periode ini, menjadi simbol harapan baru bagi kesenian tradisional di Mojokerto. Awalnya, kelompok ini tampil di desa-desa sekitar Mojokerto, membawakan cerita-cerita yang dekat dengan kehidupan rakyat, seperti kisah cinta, perjuangan hidup, dan humor sehari-hari. Dukungan dari pemerintah Orde Baru memungkinkan Ludruk Karya Budaya berkembang pesat. Pada masa itu, ludruk tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat propaganda untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan sesuai kebijakan pemerintah.

Pada tahun 1979, Ludruk Karya Budaya mulai memperluas jangkauan pementasannya ke luar Mojokerto, seperti ke Jombang. Perjalanan panjang kelompok ini menunjukkan dedikasi mereka dalam menjaga tradisi ludruk, sekaligus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Dari panggung sederhana di pedesaan hingga menjadi kelompok ternama, Ludruk Karya Budaya mencatatkan sejarah penting dalam perkembangan seni pertunjukan Jawa Timur.


Kesuksesan dalam Pementasan

Masa kejayaan Ludruk Karya Budaya terjadi pada periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Kelompok ini dikenal karena kemampuannya memadukan humor khas ludruk dengan kritik sosial yang tajam namun disampaikan secara halus. Pertunjukan mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak penonton merenungkan isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan dampak modernisasi terhadap masyarakat.

Ludruk Karya Budaya sering tampil dalam berbagai acara, mulai dari perayaan Hari Kemerdekaan, hajatan warga, hingga festival kesenian yang diselenggarakan pemerintah daerah. Mereka juga menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan zaman. Pada era 1980-an, kelompok ini berkolaborasi dengan stasiun radio lokal untuk merekam pertunjukan mereka, yang kemudian dijual dalam bentuk kaset lawak. Langkah ini memperluas jangkauan audiens mereka hingga ke luar Mojokerto, menjadikan ludruk lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.

Selain itu, Ludruk Karya Budaya turut berkontribusi dalam dunia periklanan. Beberapa perusahaan lokal, khususnya produsen jamu atau obat tradisional, memanfaatkan pertunjukan ludruk untuk mempromosikan produk mereka. Para seniman dengan cerdas menyisipkan iklan ke dalam dialog atau adegan komedi, sehingga pesan komersial tersampaikan tanpa mengganggu alur cerita. Inovasi ini membuktikan bahwa ludruk mampu beradaptasi dengan kebutuhan ekonomi dan hiburan modern, sekaligus tetap mempertahankan identitasnya sebagai seni tradisional.

Keberhasilan Ludruk Karya Budaya juga tercermin dari antusiasme penonton. Setiap pementasan biasanya dipadati oleh masyarakat dari berbagai kalangan—petani, pedagang, hingga pegawai kantoran. Mereka datang untuk menikmati tawa sekaligus melihat cerminan kehidupan mereka di panggung. Seorang penonton setia pernah berkomentar, “Melihat Ludruk Karya Budaya itu seperti melihat kehidupan kita sendiri, lucu tapi ada benarnya.” Kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat menjadi kunci daya tarik kelompok ini.


Cerita Lakon yang Terkenal

Salah satu kekuatan utama Ludruk Karya Budaya adalah cerita-cerita lakon yang mereka bawakan. Di antara banyak lakon yang pernah dipentaskan, “Suminten Edan” menjadi yang paling terkenal dan melegenda. Lakon ini berkisah tentang seorang wanita bernama Suminten yang mengalami kegilaan akibat tekanan batin yang berat. Cerita ini tidak hanya menghibur dengan adegan komedi, tetapi juga menyampaikan pesan moral tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan harmoni sosial.

Keberhasilan “Suminten Edan” terletak pada pengemasan cerita yang apik. Para pemain menggunakan dialog penuh lelucon lokal, gerakan slapstick yang mengundang tawa, dan musik gamelan yang menambah nuansa dramatis. Penonton sering terpingkal-pingkal melihat tingkah Suminten, namun di akhir cerita, mereka diajak untuk merenungkan makna yang lebih dalam. Lakon ini menjadi salah satu karya yang paling dikenang dari Ludruk Karya Budaya.

Selain “Suminten Edan,” kelompok ini juga terkenal dengan lakon-lakon yang mengangkat cerita rakyat dan legenda lokal. Salah satunya adalah “Cak Sakera,” yang menceritakan perjuangan seorang pahlawan dari Madura melawan penjajah Belanda. Lakon ini penuh dengan aksi heroik yang dikemas dalam humor khas ludruk, seperti sindiran terhadap kelemahan musuh. Ada pula “Sarip Tambak Yoso,” kisah seorang pejuang dari Gresik yang menginspirasi semangat perlawanan rakyat. Cerita-cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan rasa kebanggaan akan sejarah dan identitas lokal.

Ciri khas pementasan Ludruk Karya Budaya adalah dialog spontan dan interaksi langsung dengan penonton. Para pemain sering melakukan improvisasi berdasarkan reaksi audiens, membuat setiap pertunjukan terasa hidup dan unik. Inilah yang membedakan ludruk dari teater modern—kedekatannya dengan penonton menciptakan pengalaman yang sulit dilupakan.


Profil Cak Supali

Cak Supali, dengan nama asli Bambang Supali, adalah salah satu tokoh kunci dalam sejarah Ludruk Karya Budaya. Lahir di Surabaya pada 21 Mei 1962, ia memulai kariernya di dunia ludruk pada tahun 1972. Awalnya, ia bergabung dengan kelompok komedi keliling yang menjajakan obat, tetapi bakat melawaknya segera menonjol. Pada tahun 1996, ia bergabung dengan Ludruk Karya Budaya di Mojokerto, yang saat itu dipimpin oleh Cak Edy Karya.

Cak Supali dikenal sebagai pelawak ulung dengan kemampuan timing yang tepat dan improvisasi yang cerdas. Ia sering menirukan suara hewan atau karakter lucu, yang menjadi sorotan dalam setiap pementasan. Selain di ludruk, ia juga aktif di dunia musik, khususnya campursari, dan mendirikan HSP Production pada tahun 2005 untuk mendukung kegiatannya di bidang hiburan.

Kontribusi Cak Supali bagi Ludruk Karya Budaya sangat besar. Ia berhasil menarik penonton dan meningkatkan popularitas kelompok ini dengan penampilannya yang menghibur. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial dan budaya, termasuk menjadi pengurus Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. Cak Supali meninggal dunia pada tahun 2010, tetapi warisannya sebagai salah satu pelawak ludruk terbaik tetap dikenang hingga kini.


Profil Cak Trubus

Cak Trubus adalah tokoh lain yang berperan penting dalam Ludruk Karya Budaya. Ia bergabung dengan kelompok ini pada awal 1980-an dan segera menjadi magnet utama dalam setiap pementasan. Cak Trubus dikenal dengan gaya humor khasnya yang sering kali menyampaikan kritik sosial melalui lelucon cerdas.

Selain sebagai pelawak, Cak Trubus juga mahir memerankan berbagai karakter, dari yang lucu hingga serius. Ia sering menjadi penutup cerita dengan dialog penuh makna, memberikan sentuhan emosional pada pertunjukan yang didominasi komedi. Kontribusinya membantu Ludruk Karya Budaya menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan, termasuk generasi muda yang mulai beralih ke hiburan modern pada masa itu.

Cak Trubus meninggal dunia pada tahun 2005, tetapi pengaruhnya dalam dunia ludruk tetap terasa. Gaya uniknya menginspirasi banyak seniman muda, dan ia dikenang sebagai salah satu pilar penting Ludruk Karya Budaya.


Kemunduran Pementasan Seni Ludruk

Sayangnya, kejayaan Ludruk Karya Budaya mulai meredup sejak pertengahan 1990-an. Munculnya hiburan modern menjadi penyebab utama kemunduran ini. Televisi swasta, yang marak pada awal 1990-an, menawarkan sinetron, komedi situasi, dan acara musik yang lebih mudah diakses. Kemudian, internet pada awal 2000-an mempercepat pergeseran ini dengan konten digital seperti YouTube, film streaming, dan media sosial, yang menjadi pilihan utama generasi muda. Ludruk mulai dianggap kuno dan kurang praktis dibandingkan hiburan modern.

Krisis moneter 1997 juga memberikan dampak signifikan. Banyak seniman ludruk, termasuk dari Ludruk Karya Budaya, terpaksa meninggalkan panggung untuk mencari pekerjaan lain yang lebih stabil secara finansial. Dari belasan kelompok ludruk yang pernah aktif di Mojokerto, kini hanya sedikit yang tersisa, termasuk Ludruk Karya Budaya. Namun, kelompok ini pun jarang tampil karena minimnya dukungan dan penonton.

Perubahan pola hidup masyarakat juga memperparah situasi. Jika dulu ludruk menjadi hiburan utama di desa-desa, kini warga lebih memilih menonton televisi atau bermain gadget di rumah. Tantangan regenerasi menjadi masalah lain; generasi muda enggan belajar ludruk karena dianggap tidak bergengsi dan sulit menghasilkan uang. Akibatnya, para seniman tua harus berjuang sendiri untuk menjaga kesenian ini tetap hidup.

Meski menghadapi kemunduran, Ludruk Karya Budaya belum sepenuhnya tenggelam. Dedikasi para seniman yang mencintai budaya Jawa Timur membuat kelompok ini bertahan, meski dengan skala kecil. Mereka sesekali tampil di acara budaya atau undangan khusus, menunjukkan bahwa ludruk masih memiliki penggemar setia.


Upaya Pelestarian Ludruk di Era Modern

Di tengah tantangan besar, ada upaya untuk membangkitkan kembali ludruk. Ludruk Karya Budaya dan kelompok lain mulai memanfaatkan teknologi modern, seperti mengunggah pertunjukan ke YouTube atau media sosial untuk menarik perhatian generasi milenial. Kolaborasi dengan seniman muda juga dilakukan, misalnya dengan menggabungkan elemen ludruk dengan musik pop atau drama modern, untuk menciptakan pertunjukan yang lebih segar.

Pemerintah daerah dan lembaga budaya turut berperan dalam pelestarian ludruk. Taman Budaya Jawa Timur, misalnya, sering mengadakan festival atau pementasan ludruk untuk mengenalkan kembali kesenian ini. Pada tahun 2019, sebuah pertunjukan ludruk yang digelar Taman Budaya mendapat sambutan hangat, menunjukkan potensi ludruk jika dikemas dengan baik. Workshop dan pelatihan juga mulai diadakan untuk menarik minat generasi muda.

Ludruk Karya Budaya sendiri terus berupaya menjaga eksistensinya dengan tampil di acara lokal, meski frekuensinya terbatas. Para seniman senior berbagi pengalaman dengan generasi baru, berharap ada penerus yang akan membawa ludruk kembali ke masa kejayaannya. Meski sulit, semangat pelestarian budaya tetap terjaga.


Penutup

Ludruk Karya Budaya dari Mojokerto adalah bukti kekayaan seni budaya Jawa Timur. Dari panggung sederhana di desa-desa hingga menjadi kelompok ternama di era 1980-an, mereka telah mencatat sejarah panjang dalam dunia pementasan. Kesuksesan mereka terletak pada kemampuan menghibur dan menyuarakan realitas sosial melalui cerita seperti “Suminten Edan” dan penampilan tokoh seperti Cak Supali dan Cak Trubus. Namun, tantangan modernisasi telah menempatkan ludruk di ambang kemunduran.

Meski begitu, ludruk bukan sekadar kenangan. Dengan upaya pelestarian yang terus dilakukan, ada harapan bahwa kesenian ini akan tetap hidup dan relevan. Ludruk Karya Budaya mengajarkan bahwa seni tradisional tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita membawanya ke masa depan. Mari dukung dan hargai warisan budaya ini, agar tawa, cerita, dan pesan moral ludruk terus bergema di tengah dunia modern.


Tinggalkan Balasan