Pendahuluan: Tradisi Jawa dan Sedekah Bumi
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya yang mendalam, salah satunya tercermin dalam tradisi-tradisi yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satu tradisi yang menonjol adalah Sedekah Bumi, sebuah ritual yang dilakukan sebagai wujud syukur atas karunia alam sekaligus permohonan perlindungan dari bencana. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan hubungan spiritual masyarakat Jawa dengan Tuhan, tetapi juga harmoni mereka dengan alam. Di Jombang, Jawa Timur, tradisi ini dikenal sebagai Ritus Ceblok Sawah atau Wiwit Sawah, sebuah praktik sedekah awal tahun yang hingga kini masih sering dilakukan oleh masyarakat setempat.
Sedekah Bumi biasanya digelar pada awal tahun menurut penanggalan Jawa, khususnya pada bulan Sura atau Muharram, yang dianggap sebagai waktu penting untuk memohon keselamatan dan keberkahan. Dalam pelaksanaannya, masyarakat berkumpul di tempat-tempat tertentu seperti sawah, balai desa, atau lokasi yang dianggap sakral untuk menyajikan sesajen. Sesajen ini biasanya terdiri dari hasil bumi seperti nasi, ubi, sayuran, buah-buahan, dan kadang-kadang bubur sura—bubur khas yang dimasak dalam kendi tanah liat sebagai simbol kesucian dan kesederhanaan. Ritual ini menjadi wujud nyata dari keyakinan bahwa menjaga hubungan baik dengan alam akan membawa keberkahan dan menolak bala.
Tradisi seperti ini bukanlah sekadar seremoni, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis yang mendalam. Masyarakat Jawa percaya bahwa alam memiliki roh yang harus dihormati, dan melalui ritual ini, mereka menunjukkan rasa syukur sekaligus memohon agar terhindar dari malapetaka seperti banjir, kekeringan, atau gagal panen. Di Jombang, Ritus Ceblok Sawah atau Wiwit Sawah menjadi salah satu bentuk lokal dari tradisi ini, yang dijalankan oleh masyarakat agraris dengan penuh kesadaran akan ketergantungan mereka pada alam.
Tradisi Khusus di Jombang: Ritus Ceblok Sawah atau Wiwit Sawah
Di Jombang, tradisi Ritus Ceblok Sawah atau Wiwit Sawah merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat petani. Nama “ceblok” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “melempar” atau “menyebar,” yang kemungkinan merujuk pada praktik menyebarkan sesajen di sawah sebagai bentuk sedekah kepada bumi. Sementara itu, “wiwit” berarti “mulai,” yang dapat diartikan sebagai simbol dimulainya musim tanam atau sebagai tanda syukur di awal tahun. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang musim tanam atau pada awal tahun Jawa untuk memohon kelancaran panen dan perlindungan dari bencana alam.
Pelaksanaan Ritus Ceblok Sawah di Jombang memiliki ciri khas tersendiri. Masyarakat setempat biasanya mengadakan prosesi sederhana yang melibatkan para petani dan tokoh adat. Sesajen yang disiapkan mencakup tumpeng—nasi yang dibentuk kerucut—serta berbagai hasil bumi seperti jagung, ketela, dan pisang. Sesajen ini kemudian dibawa ke sawah dalam sebuah arak-arakan kecil, dipimpin oleh sesepuh desa yang membacakan doa-doa untuk memohon keberkahan. Setelah didoakan, sesajen tersebut disebar di sudut-sudut sawah atau diletakkan di tempat tertentu sebagai wujud pengabdian kepada alam.
Ritual ini tidak hanya bersifat individu, tetapi juga komunal. Setelah sesajen disebar, masyarakat sering kali mengadakan makan bersama di lokasi yang sama, menggunakan hasil bumi yang telah disediakan. Kegiatan ini menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga sekaligus menegaskan pentingnya gotong royong dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tradisi ini masih sering dilakukan hingga kini, terutama di desa-desa di Jombang yang masih mempertahankan pola hidup agraris.
Meskipun modernisasi telah memengaruhi banyak aspek kehidupan, Ritus Ceblok Sawah tetap bertahan sebagai warisan budaya yang relevan. Para petani di Jombang memandang tradisi ini sebagai cara untuk menjaga hubungan spiritual dengan alam dan leluhur mereka. Dalam konteks lokal, ritual ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan, yang merupakan kunci utama bagi keberlangsungan hidup mereka.
Harmoni antara Manusia dan Alam dalam Budaya Jawa
Salah satu nilai utama yang tercermin dalam Ritus Ceblok Sawah adalah konsep harmoni antara manusia dan alam. Bagi masyarakat Jawa, alam bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi entitas yang hidup dan memiliki roh. Keyakinan ini mendorong mereka untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan alam melalui ritual-ritual seperti Sedekah Bumi dan Ritus Ceblok Sawah.
Dalam tradisi Jawa, harmoni dengan alam diwujudkan melalui sikap hormat dan rasa syukur. Misalnya, dalam Ritus Ceblok Sawah, petani tidak hanya mengambil hasil bumi untuk kebutuhan mereka sendiri, tetapi juga “mengembalikan” sebagian darinya kepada alam melalui sesajen. Tindakan ini mencerminkan kesadaran bahwa manusia harus hidup selaras dengan lingkungan, tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan, dan selalu menjaga keseimbangan ekosistem.
Filosofi ini juga memiliki dimensi praktis. Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Jawa secara tidak langsung diajarkan untuk menghargai siklus alam—musim tanam, panen, dan istirahat tanah. Tradisi ini mengingatkan mereka bahwa ketidakseimbangan, seperti eksploitasi berlebihan atau pengabaian terhadap lingkungan, dapat mengundang bencana. Dalam konteks modern, nilai ini sangat relevan mengingat tantangan lingkungan seperti perubahan iklim dan degradasi lahan yang semakin nyata.
Harmoni dengan alam juga diperkuat oleh keyakinan bahwa roh-roh penjaga alam—seperti dewi Sri, yang dianggap sebagai pelindung padi—memainkan peran penting dalam kehidupan mereka. Dengan mengadakan ritual seperti Ritus Ceblok Sawah, masyarakat Jawa berusaha menjaga hubungan baik dengan roh-roh ini agar sawah mereka tetap subur dan terhindar dari bahaya. Nilai ini menjadikan tradisi ini tidak hanya sebagai praktik spiritual, tetapi juga sebagai bentuk kearifan lokal yang mendukung keberlanjutan lingkungan.
Peran Ritual dalam Tolak Bala dan Mencegah Bencana
Ritus Ceblok Sawah memiliki tujuan utama sebagai sarana tolak bala, yaitu upaya untuk menolak atau mencegah datangnya bencana dan malapetaka. Dalam budaya Jawa, bencana tidak hanya dipandang sebagai fenomena fisik seperti banjir atau kekeringan, tetapi juga sebagai akibat dari ketidakseimbangan spiritual. Oleh karena itu, ritual ini dilakukan untuk memohon perlindungan dari Tuhan sekaligus menenangkan roh-roh alam yang mungkin terganggu.
Pelaksanaan Ritus Ceblok Sawah biasanya melibatkan doa-doa khusus yang dipimpin oleh tokoh adat atau sesepuh desa. Doa ini berisi permohonan agar sawah dan desa terhindar dari bahaya seperti hama, penyakit tanaman, atau bencana alam. Sesajen yang disebar di sawah juga dianggap sebagai simbol “persembahan” untuk menjaga harmoni dengan alam, sehingga alam tidak “marah” dan mengirimkan bala.
Selain aspek spiritual, ritual ini juga memiliki fungsi sosial yang signifikan. Dengan melibatkan seluruh warga dalam persiapan dan pelaksanaan, Ritus Ceblok Sawah memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas. Kebersamaan ini sendiri menjadi bentuk “tolak bala” terhadap konflik atau perpecahan dalam komunitas, yang dalam pandangan Jawa juga dapat mengundang malapetaka.
Tradisi ini masih relevan hingga kini karena masyarakat Jawa, khususnya di Jombang, tetap memercayai bahwa menjaga harmoni spiritual dan sosial adalah kunci untuk menghindari bencana. Bahkan di era modern, ketika teknologi pertanian semakin maju, banyak petani yang tetap melaksanakan ritual ini sebagai bentuk penghormatan kepada tradisi leluhur dan keyakinan mereka akan kekuatan alam.
Kesimpulan: Relevansi Tradisi di Masa Kini
Ritus Ceblok Sawah atau Wiwit Sawah di Jombang adalah bukti nyata dari kekayaan budaya Jawa yang terus hidup di tengah perubahan zaman. Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari identitas masyarakat Jombang, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan modern. Dengan menjaga harmoni antara manusia dan alam, ritual ini mengajarkan pentingnya rasa syukur, penghormatan terhadap lingkungan, dan kebersamaan dalam komunitas.
Di tengah ancaman lingkungan seperti perubahan iklim dan kerusakan ekosistem, pesan dari Ritus Ceblok Sawah menjadi semakin penting. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa keberlanjutan hidup tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada sikap kita terhadap alam. Selain itu, dengan melestarikan ritual ini, masyarakat Jawa menjaga warisan budaya yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama berabad-abad.
Hingga kini, Ritus Ceblok Sawah masih sering dilakukan di Jombang, terutama di kalangan petani yang tetap setia pada tradisi leluhur. Ritual ini bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga wujud nyata dari kearifan lokal yang terus relevan dalam menjaga keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa terus menunjukkan bahwa harmoni dengan alam adalah kunci untuk hidup sejahtera dan terhindar dari bencana.
