Asal-usul Desa Grobogan

Desa Grobogan adalah salah satu desa tertua di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini memiliki sejarah yang panjang dan menarik, yang berkaitan dengan asal-usul nama Grobogan itu sendiri. Menurut legenda, nama Grobogan berasal dari kata “grobo” yang berarti “gugur” atau “mati”, dan “gan” yang berarti “banyak”. Kata ini menggambarkan peristiwa tragis yang terjadi di desa ini pada masa lampau.

Menurut cerita rakyat, pada zaman dahulu kala, ada seorang raja bernama Prabu Brawijaya yang memerintah Kerajaan Majapahit. Raja ini memiliki lima putra, yaitu Suryawisesa, Kertawisesa, Rajawisesa, Bhre Wirabhumi, dan Bhre Kertabhumi. Suatu hari, raja ingin mengetahui siapa di antara putranya yang paling pantas meneruskan tahtanya. Maka ia memerintahkan mereka untuk berkelana ke seluruh penjuru negeri dan membawa pulang bukti keberhasilan mereka.

Keempat putra tertua raja berangkat dengan membawa pasukan dan perlengkapan yang mewah. Mereka berusaha mencari kemasyhuran dan kekayaan di daerah-daerah yang mereka kunjungi. Namun, putra bungsu raja, Bhre Kertabhumi, berangkat dengan hanya membawa seekor kuda dan sebilah keris. Ia lebih tertarik untuk mencari ilmu dan kebenaran di tempat-tempat yang sunyi dan terpencil.

Dalam perjalanannya, Bhre Kertabhumi sampai di sebuah desa yang damai dan makmur. Ia terpesona dengan keindahan alam dan keramahan penduduk desa tersebut. Ia pun memutuskan untuk tinggal di sana untuk beberapa waktu. Ia bersahabat dengan seorang pemuda desa bernama Joko Tarub, yang juga ahli dalam ilmu silat. Mereka sering berlatih bersama dan saling mengajarkan ilmu yang mereka miliki.

Suatu hari, Bhre Kertabhumi mendengar suara gemuruh dari arah hutan. Ia penasaran dan mengikuti suara tersebut. Di tengah hutan, ia melihat sebuah telaga yang airnya jernih dan tenang. Di pinggir telaga, ia melihat tujuh orang bidadari sedang mandi dan bergembira. Salah satu di antara mereka adalah Dewi Nawang Wulan, putri Dewa Indra, yang sangat cantik dan jelita.

Bhre Kertabhumi terpesona dengan kecantikan Dewi Nawang Wulan. Ia pun menyelinap mendekati pakaian bidadari-bidadari tersebut yang terletak di tepi telaga. Ia mengambil selendang Dewi Nawang Wulan dan menyembunyikannya di balik pakaiannya. Kemudian ia kembali ke tempat semula dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.

Setelah selesai mandi, bidadari-bidadari tersebut segera mengenakan pakaian mereka dan bersiap-siap untuk kembali ke kayangan. Namun, Dewi Nawang Wulan terkejut ketika ia tidak menemukan selendangnya di tempatnya. Tanpa selendang itu, ia tidak bisa terbang kembali ke kayangan. Ia pun menangis dan meminta bantuan kepada teman-temannya.

Namun, teman-temannya tidak bisa menolongnya. Mereka harus segera kembali ke kayangan sebelum matahari terbenam, atau mereka akan terjebak di dunia manusia selamanya. Mereka pun meninggalkan Dewi Nawang Wulan sendirian di tepi telaga dengan sedih.

Bhre Kertabhumi yang melihat keadaan itu merasa kasihan kepada Dewi Nawang Wulan. Ia pun mendekatinya dan menawarkan diri untuk membantunya mencari selendangnya. Dewi Nawang Wulan menerima tawaran itu dengan harap-harap cemas. Mereka pun berkeliling hutan untuk mencari selendang yang hilang, tetapi tidak berhasil menemukannya.

Bhre Kertabhumi kemudian mengajak Dewi Nawang Wulan untuk tinggal di desa bersamanya, sampai ia menemukan selendangnya. Dewi Nawang Wulan tidak punya pilihan lain selain mengikuti Bhre Kertabhumi. Ia pun ikut dengannya ke desa dan tinggal di rumah Joko Tarub, sahabat Bhre Kertabhumi.

Di desa itu, Dewi Nawang Wulan diperlakukan dengan baik oleh penduduk desa. Ia juga belajar banyak tentang kehidupan manusia dan adat istiadat desa. Ia mulai menyukai kehidupan di desa itu dan lupa akan asal-usulnya sebagai bidadari. Ia juga semakin dekat dengan Bhre Kertabhumi, yang selalu baik dan perhatian kepadanya.

Lama-kelamaan, Dewi Nawang Wulan jatuh cinta kepada Bhre Kertabhumi. Ia pun menikah dengannya dan hidup bahagia di desa itu. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan dan cerdas, yang mereka beri nama Raden Bondan Kejawan.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Prabu Brawijaya mengirim utusan ke seluruh penjuru negeri untuk mengumpulkan putra-putranya kembali ke istana. Ia ingin menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya sebagai raja Majapahit.

Bhre Kertabhumi pun menerima surat panggilan dari ayahnya. Ia merasa bimbang antara kewajiban sebagai putra raja dan cinta sebagai suami dan ayah. Ia pun meminta pendapat kepada Dewi Nawang Wulan.

Dewi Nawang Wulan mengerti perasaan suaminya. Ia pun memberikan restu kepada suaminya untuk pergi ke istana dan mengabdi kepada ayahnya. Ia berjanji akan setia menunggu suaminya kembali ke desa.

Bhre Kertabhumi pun berpamitan kepada Dewi Nawang Wulan dan Raden Bondan Kejawan. Ia juga berpamitan kepada Joko Tarub dan penduduk desa lainnya. Ia pun berangkat menuju istana Majapahit dengan membawa kuda dan kerisnya.

Sebelum berangkat, ia memberikan selendang Dewi Nawang Wulan yang ia sembunyikan selama ini kepada Joko Tarub. Ia meminta Joko Tarub untuk menjaga selendang itu dengan baik dan memberikannya kembali kepada Dewi Nawang Wulan jika ia tidak kembali dalam waktu satu tahun.

Joko Tarub menerima selendang itu dengan hormat. Ia berjanji akan menjaga selendang itu dengan baik dan mengembalikannya kepada Dewi Nawang Wulan sesuai dengan permintaan Bhre Kertabhumi.

Setelah Bhre Kertabhumi pergi, Dewi Nawang Wulan merasa sedih dan kesepian. Ia hanya bisa menghibur dirinya dengan merawat anaknya dan membantu penduduk desa. Ia selalu berdoa agar suaminya segera kembali dengan selamat.

Namun, setelah satu tahun berlalu, Bhre Kertabhumi belum juga kembali ke desa. Dewi Nawang Wulan mulai khawatir akan keselamatan suaminya. Ia pun mendatangi Joko Tarub dan meminta selendangnya kembali.

Joko Tarub merasa bingung. Ia ingat akan janjinya kepada Bhre Kertabhumi, tetapi ia juga tidak tega melihat kesedihan Dewi Nawang Wulan. Akhirnya, ia memutuskan untuk memberikan selendang itu kepada Dewi Nawang Wulan dengan hati-hati.

Dewi Nawang Wulan sangat senang ketika menerima selendangnya kembali. Ia merasa ada harapan untuk bertemu dengan suaminya lagi. Ia pun segera mengenakan selendang itu dan berdoa kepada Dewa Indra agar membawanya kembali ke kayangan.

Tiba-tiba, tubuh Dewi Nawang Wulan terangkat ke udara oleh angin yang kencang. Ia terbang menuju langit dengan cepat, meninggalkan anaknya yang menang


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *