Asal-usul Reog Kendang Tulungagung dari Legenda Dewi Kilisuci, Joko Lodra dan Singa Lodra

Asal-usul Reog Kendang Tulungagung dari Legenda Dewi Kilisuci, Mahesasura dan Jatasura
Asal-usul Reog Kendang Tulungagung dari Legenda Dewi Kilisuci, Mahesasura dan Jatasura

Apa kabar kawan pembaca blog The Jombang Taste? Tahukah Anda bahwa selain kesenian reog Ponorogo, budaya Nusantara juga memiliki reog Tulungagung. Kesenian reyog yang sudah terkenal adalah reyog Ponorogo. Sebenarnya di samping reyog Ponorogo ada juga reyog Tulungagung. Reyog Tulungagung mempunyai corak tersendiri yang berbeda dengan reyog Ponorogo. Menurut kisah legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut oleh penduduk Tulungagung, reyognya mempunyai cerita tersendiri. Cerita itu hidup dari tahun ke tahun, sehingga menjadi milik rakyat Tulungagung turun temurun.

Pada waktu kerajaan Kahuripan diperintah oleh Raja Airlangga, senapatinya adalah seorang yang sakti bernama Butalocaya. Senapati Panglima Butalocaya mempunyi dua orang putra, yaitu Joko Lodra dan Singa Lodra namanya. Senapati itu mendidik putranya dengan peraturan yang keras. la berpengharapan agar kedua putranya menjadi pernimpin di kemudian harinya. Harapannya terwujud karena kelak kedua anaknya menjadi bagian penting dalam salah satu cerita rakyat Tulungagung.

Pada suatu hari kedua putra tersebut dipanggil menghadap. Jaka Lodra memakai ikat kepala yang menyerupai tanduk kerbau. Melihat tingkah laku putranya, Butalocaya menjadi marah. Maka seketika itu juga kedua putranya dikutuk menjadi manusia yang berkepala kerbau dan seorang lagi menjadi manusia yang berkepala harimau. Jaka Lodra berkepala kerbau sedang Singa Lodra berkepala harimau.

Kisah legenda rakyat Tulungagung menyebutkan bahwa selama berhari-hari dan berbulan-bulan kedua putranya itu tidak berani keluar rumahnya. Ia malu dan takut perangai orang tuanya yang kejam itu diketahui orang lain. Keduanya kemudian berniat untuk meninggalkan Kahuripan. Mereka menuju hutan sebelah barat kerajaan Doho di Kediri. Maksud kedua putra itu mendapat restu ayahnya. Ayahnya berwasiat agar kelak keduanya akan menjadi pemimpin.

Maka berangkatlah Jaka Lodra dan Singa Lodra menurutkan keinginan hatinya. Jaka Lodra kemudian mengganti namanya menjadi Mahesasura, sedang Singa Lodra mengganti namanya menjadi Jatasura. Pengembaraan itu telah dilakukan keduanya selama bertahun-tahun sehingga mereka telah dilupakan orang di Kahuripan. Keduanya mencari tempat yang sesuai untuk memimpin sebuah kerajaan.

Sesuai dengan wasiat ayahnya dahulu, Mahesasura dapat menjadi raja sedang Jatasura menjadi senapatinya. Kerajaannya diberi nama Kerajaan Bandar Angin. Untuk menyembunyikan bentuk kepala kedua pemimpin itu didirikanlah sebuah panggung yang tinggi yang diberi nama Atas Angin.

Asal-usul Reog Kendang Tulungagung dari Legenda Dewi Kilisuci, Joko Lodra dan Singa Lodra
Asal-usul Reog Kendang Tulungagung dari Legenda Dewi Kilisuci, Joko Lodra dan Singa Lodra

Mahesasura Melawan Jatasura

Cerita rakyat Jawa Timur menyebutkan bahwa pada saat itu kerajaan Doho di Kediri diperintah oleh seorang ratu yang cantik parasnya yang bernama Dewi Kilisuci. Mendengar kecantikan Dewi Kilisuci, Mahesasura mengutus senapatinya ke Doho meminang Dewi Kilisuci. Setelah melihat kecantikan Dewi Kilisuci, Jatasura ingin juga mempersunting ratu yang cantik itu. Karena itu terjadilah perang tanding antara kakak-beradik itu, antara raja dan senapatinya. Jatasura di pihak yang menang sedang Mahesasura mati terbunuh.

Setelah kemenangan Jatasura, ternyata Dewi Kilisuci mengingkari janjinya. Jatasura marah dan mengirim prajuritnya untuk menggempur kerajaan Doho. Jatasura beserta perajuritnya menang. Semua prajurit Kediri ditawan dalam sebuah pagar bambu. Sampai sekarang di Kediri ada tempat yang bernama Setana Betek. Betek artinya bambu. Sedang para punggawa kerajaan ditempatkan dalam sebuah istana yang berpagar tembok. Sampai sekarang ada tempat yang bernama Setana Gedong. Demikian cerita rakyat Tulungagung berlangsung di Provinsi Jawa Timur.

Karena kekalahan Dewi Kilisuci, atas saran senapatinya yang bernama Pujanggaleng, Dewi Kilisuci mengajukan beberapa syarat lagi kepada Jatasura. Adapun syarat itu adalah sebagai berikut: Pertama, Jatasura harus membuat sumur besar di puncak gunung kelud. Kedua, prajurit yang ditawan harus dibebaskan dan boleh menyaksikan acara perkawinan di dekat sumur besar itu. Ketiga, menyerahkan ayam tukung, yaitu ayam yang tidak berekor dan memiliki badan sebesar bedhuk miring sedangkan kepalanya sebesar buah pinang dan matanya sebesar gubug penceng. Keempat, diiringi musik yang penabuhnya Dewa berwatak sembilan.

Permintaan itu terasa amat berat bagi Jatasura, akan tetapi Jatasura tetap mengusahakannya. Dengan dibantu oleh bala tentaranya dari bangsa jin, dedemit dan lelembut lainnya, Jatasura berhasil mengabulkan permintaan Dewi Kilisuci. Lalu pada suatu waktu yang sudah ditentukan, ramailah di puncak gunung Kelud dilaksanakan pesta pernikahan Jatasura dan Dewi Kilisuci. Para prajurit kedua belah pihak memenuhi tempat yang akan ditempati pesta perkawinan kedua pimpinannya itu.

Sewaktu ramai-ramainya pesta perkawinan, terdengarlah sebuah jeritan yang keras. Sebuah benda yang serupa dengan ratu Dewi Kilisuci terjun ke dalam sumur besar itu. Dengan tiada membuang waktu lagi Jatasura ikut terjun ke dalam sumur itu untuk menolongnya. Jatasura terlanjur cinta kepada Dewi Kilisuci sehingga ia tidak rela wanita cantik itu mati. Namun apa daya cinta telah membutakan mata Jatasura sehingga ia tidak sadar telah diperdaya oleh Dewi Kilisuci dan anak buahnya.

Setelah Jatasura masuk ke dalam sumur itu, maka ramailah sorak-sorai perajurit Kediri. Mereka beramai-ramai mengambil batu di sekitar sumur itu dan melempari sumur tersebut. Tidak lama kemudian sumur itu telah tertimbun batu. Jatasura akhirnya tewan terkubur di dalam sumur tersebut. Dewi Kilisuci merasa senang karena telah berhasil menggagalkan keinginan Jatasura menikahi dirinya.

Untuk mengingat dan mengenang peristiwa yang mengharukan itu, diciptakanlah semacam tari-tarian persembahan yang sekarang dikenal dengan nama Reog Tulungagung. Sedang gamelannya terdiri dari sembilan perangkat sesuai dengan permintaan Dewi Kilisuci. Kalau reog Tulungagung berkiprah maka teringatlah kita akan kisah Jatasura dan Dewi Kilisuci dari Kabupaten Tulungagung.

Amanat cerita asal-usul reog Tulungagung ini adalah agar kita selalu berperilaku jujur dan menepati janji dalam hidup. Tindakan Dewi Kilisuci yang mencurangi Jatasura merupakan perbuatan tercela. Selain itu, pesan moral yang terkandung dalam asal-muasal reog Tulungagung adalah agar kita selalu berbakti kepada orang tua dan menjalankan nasehat beliau seperti telah dicontohkan oleh Joko Lodra dan Singa Lodra.

Meski demikian, amanat cerita rakyat dari Tulungagung ini yang perlu menjadi perhatian utama adalah jangan sampai cinta membutakan mata kita lalu saling membunuh dengan saudara kandung. Hubungan persaudaraan Mahesasura dan Jatasura akhirnya terputus, bahkan salah satu dari mereka terbunuh, hanya karena memperebutkan cinta seorang wanita. Semoga artikel kisah legenda reog Tulungagung ini bisa menambah wawasan Anda. Mari kenali ragam cerita daerah di Nusantara. Sampai jumpa dalam artikel The Jombang Taste berikutnya.

Daftar Pustaka:

Maryanto, Soemadji. 2008. Pelengkap IPS: Cerita Rakyat Untuk SD. Jakarta: Balai Pustaka.